[Mozaik Blog Competition] Sebermula Membaca, Kemudian Karya

April , 2006

Di UPT Perpustakaan Pusat siang itu, setelah mencatat beberapa kalimat dari buku Pak Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern (2002), saya membaca buku kumpulan cerpen Radhar Panca Dahana berjudul Masa Depan Kesunyian. Hanya satu cerpen yang sempat saya baca. Sebelum membaca cerpen yang berjudul “Menjadi Djaka”, saya membaca pengantar buku yang ditulis oleh pengarangnya sendiri. Baru membaca kalimat pertama, tiba-tiba melesat sebuah ide. Ide itu juga datang karena kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah puisi Faiz–penyair cilik favorit saya, putra dari Helvy Tiana Rosa– yang pernah saya baca di blognya. Sudah lama saya tidak menulis puisi. Alhamdullilah, melesat sebuah ide untuk dijadikan puisi. Nggak puitis sih, tapi saya besyukur bisa menulisnya:

aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari kata-kata yang berlari
dari angan dan mimpi
semesta kujaring lewat pendengaran, penglihatan, dan hati
aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari limpahan rasa
sebutir keyakinan
yang Ia tiup dan berdenyut
dalam qalbu

Puisi itu tidak selesai dalam sekali buat. Saya menambah di sana-sini disela-sela membaca buku Sastra Baru Sastra Indonesia I oleh Teeuw. Asyik juga membaca kritik sastra atas karya-karya Pramoedya( bab ini yang sempat saya baca). Buku lain yang saya baca adalah buku Taufik Ismail Dalam Konstelasi Pendidikan Sastra karya Suminto A Sayuti ( buku ini juga saya baca selektif). Puisi-puisi Taufik yang dikutip dalam buku itu, subhanallah, bagus-bagus dan menambah inspirasi.

***
Saya tidak mahir dan jarang menulis puisi. Beruntung sekali kalau saya bisa membuat puisi yang benar-benar jadi. Bahkan setelah puisi itu jadi, saya malah merasa heran, kok bisa membuat puisi seperti itu? Seperti juga puisi di atas, ada peran buku yang membangkitkan inspirasi dan memberi masukan bagi saya ketika menulis. Saya ingat, ada bebarapa puisi yang saya buat karena pada waktu itu saya sedang membaca sebuah buku. Pertama, puisi yang saya buat tatkala membaca buku Aku karya Sumandjaya (bukan karena ikut-ikutkan Rangga dan Cinta lho, yang karena membaca buku itu trus bikin puisi). Saya suka pada puisi-puisi Chairil Anwar dalam buku itu. Asyik: kata-katanya singkat, padat jelas, terkesan bahasa percakapan, dan jauh dari kiasan yang kadang susah dimengerti.

“Coba aku bisa bikin puisi seperti Chairil,” pikir saya waktu itu. Lalu saya mencari-cari, pengalaman apa yang bisa saya tulis dalam bentuk puisi? Saya terus berpikir dan mengingat-ingat. Entah kenapa, saya lupa, tba-tiba saya menghadirkan kembali pengalaman jatuh cinta ketika duduk di bangku sekolah menengah. Yang saya ingat dari pengalaman itu, saya tidak punya keberanian untuk menatap mata teman yang saya suka. Bahkan saya takut menatap guru yang memberikan pelajaran di depan kelas. Saya takut guru favorit saya yang memang terkenal care itu mengetahui ada yang bergejolak dalam hati saya lewat mata. Pengalaman jatuh cinta itu seperti benar-benar hadir di depan saya. Maka setelah coret sana coret sini, edit sana edit sini, sambil terus membaca puisi-puisi Chairil, jadilah puisi itu:

jatuh cinta I

takut rahasia batinku tercuri
menatap maanya kutak berani
sebab ia pun akan terlonjak sendiri
menyaksikan dirinya telah menjadi ombak dalam bahtera jiwa ini
deburannya sungguh kunikmati
meriakkan airnya menjadi:
buih-buih kangen
buih-buih angan

Beberapa bulan kemudian, saat saya membaca buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono, timbul rasa iri dan keinginan untuk membuat puisi. Saya kembali berpikir dan mencari. Yang hadir kemudian lagi-lagi pengalaman jatuh cinta. Puisi yang saya tulis hampir sama dengan puisi jatuh cinta pertama, bedanya saya tidak menulis/berbicara sebagai orang pertama.

jatuh cinta II

telah terbit bintang di sepasang telaga beningnya
yang padanya kejujuran bisa berkaca
adanya ia di tepi telaga
adalah energi yang membuatnya berpijar senantiasa

Dari buku yang sama, buku Sapardi, saya mendapatkan ide untuk membuat satu lagi puisi. Hari itu teman duduk SMU saya berulang tahun. Saya ingin memberinya kado sebuah puisi (sayangnya, saat itu puisi tersebut belum saya kirimkan karena subuah alasan, puisi itu kemudian saya hadiahkan pada teman saya yang lain.) Saat keinginan itu muncul, segera saya ambil buku Perahu Kertas dan saya baca beberapa puisinya sambil terus berpikir. Kata-kata apa yang akan saya pilih ? Alhamdulillah, setelah corat-coret, jadilah puisi itu

sajak hari lahir

waktu kembali memetik satu daun
dari pohon kehidupanmu
akankah ke bumi ia kembali?
menjadi pupuk bagi hidup
mendewasakan diri
ataukah hanya melayang sebagai daun kering?
terbang bersama angin
hilang bersama debu

***
Di sela-sela meng-entry buku di perpustakaan fakultas sebagai tenaga freelance, seringkali saya membuka-buka buku dan membaca sekilas buku yang menarik perhatian. Suatu waktu, ada buku yang membuat keingintahuan saya bangkit. Buku itu berjudul Sastra Melawan Slogan karya Abdul Wahid BS. Saya buka-buka secara acak untuk mengetahui isi buku itu. Tiba pada suatu dengan sub judul “Ritus Bahasa”, saya tersenyum membaca dua paragraf dari sub judul itu. Baiklah, saya salin dua paragraf itu:

Syahdan, Dylon Thomas, tatkala akan menulis sajak, dijajarkannya sajak karya Charles Boudelaire, Arthur Rimboud, Paul Verlaine, John Done dan sajak lain yang ia gandrungi. Dia melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap sajak dihadapannya itu, seakan ia seorang ahli kimia kata-kata, campur ini campur itu. Begitulah upacara penemuan bahasa atau ritus bahasa ia jalani, sampai sajak ia hasilkan.

Apakah ia melakukan penyontekan? Mulanya iya, tapi ritus itu menadi proses, dalam menjalani ritus bahasa ia leka (hanyut) kediriannya, tatkala sajak jadi, ia tersentak, “dalam sajak, aku ada.” Sejarah mencatat, ia salah seorang sastrawan penting Inggris dengan hasil sastra yang diperhitungkan dunia, tanpa kritikus harus menilainya sebagai plagiat Boudelaire.

Ah, ternyata bukan hanya saya yang ketika belajar bagaimana menulis puisi harus membuka-buka dan membaca buku-buku puisi karya sastrawan favorit. Bahkan sastrawan sekaliber Dylon Thomas melakukan apa yang disebut ritus bahasa. Saya memang belum kenal siapa Dylon Thomas, tapi paling tidak saya belajar darinya dari dua paragraf yang saya kutip tadi.

***

Agustus 2010

Multiply heboh! Lomba flash fiction yang diadakan mbak Intan berhasil menyedot perhatian ratusan MPers, saya salah satunya! Penasaran sekali dengan lomba dengan 3 tema itu: ayah dan anak, Ramadhan, dan 17 Agustus. Rasanya tertantang ingin menaklukan lomba itu: bukan kemenangan akan juara, tapi kemenangan berhasil eksis! Ikut saja.

Setelah melewati fase cenat-cenut dan perjuangan rasa malas serta ketidaksabaran dalam proses menulis, Alhamdulillah 3 FF berhasil saya ikutkan,meski ketiganya tidak masuk nominasi,. Buku dan kegiatan membaca tak bisa saya lepaskan dari proses itu. Saya bisa menulis ketiganya dengan sebelumnya menemukan ide dari membaca. Ketiga FF yang saya tulis punya sumber rujukan sendiri-sendiri:

FF #1 : “Andaikan Aku di Palestina”

Judul itu saya tulis dengan ingatan akan sajak Goenawan Mohamad yang populer: “Andaikan Aku di Sarajevo”. Sajak itu bertahun-tahun lalu pernah saya baca, isinya lupa tapi judulnya teramat lekat dalam ingatan. FF yang bercerita tentang maraknya petasan di bulan Ramadhan dikontraskan dengan bom jihad di Palestina itu saya lengkapi dengan cuplikan puisi dari note di Facebook Abdul Hadi WM.

FF #2: “Kukirimkan Padamu”

Lagi-lagi puisi, kali ini puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kukirimkan Padamu” dari buku Perahu Kertas—lagi!–. Puisi tersebut bercerita tentang kartu pos yang dikirim seseorang kepada istrinya. Di FF saya, puisi yang ditulis dalam kartu pos itu dikirim ayah kepada anaknya. Sang ayah adalah wartawan yang kerap bertugas ke luar (negeri). Si anak selalu meminta cerita dari ayahnya. Sang ayah yang tidak punya waktu banyak memakai cara jitu: kartu pos.
Di bagian ending–maksa sih– si anak menunggu kartu pos dari ayahnya. Ayahnya berada di Kabul, Afganistan yang rawan. Tak mendapatkan kabar dari ayahnya, dia search berita dari internet dan mengklik sebuah video peledakan bom. Ada sepotong tangan dengan arloji dan tanda lahir yang dikenalnya, menggenggam selembar kartu pos. Bagaimana gambaran peledakan dan situasi Kabul saya dapatkan dari buku Selimut Debu tulisan Agustinus Wibowo.

FF #3: “Di Balik Kaca Merdeka”

Ini FF terakhir yang saya buat. Saya tidak bisa tenang sebelum menulis tema 17 Agustus. Saya ingin menyampaikan makna merdeka. Berkali-kali coret-coret namun tidak selesai, pusing. Tapi saya ingin sekali menaklukan tantangan itu. Maka saya ambil Catatan Pinggir 2 punya Goenawan Mohamad untuk mendapatkan referensi mengenai makna merdeka atau percikan-percikan cerita Proklamasi. Barangkali ada.

Saya mulai membaca dengan menelusuri dari indeks Soekarno. Tak mendapatkan apa yang saya harapkan, saya kemudian membuka-buka buku itu acak. Ada bab Kemerdekaan. Mantabs! Saya mendapatkannya! Di banyak negara, termasuk Indonesia tentu, pelarangan maupun sensor itu selalu ada. Lalu ingatan saya melayang pada Gurita Cikeas, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan majalah Tempo yang pernah dibredel. Dari situ kemudian saya mulai menulis. Ada buku yang terbit di hari 17 Agustus sebagai bentuk perayaan-bagi penulis buku itu-, namun di hari itu juga bukunya ditarik. Ketika selesai menuliskan cerita itu, saya belum memiliki judul. Judul buku rekaan dalam cerita itu pun belum- sekaligus akan menjadi judul FF-. Judul itu harus mewakili fatamorgana sebuah kemerdekaan. Pikiran seketika melesat pada buku karya Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Akhirnya jadilah judul FF di atas. Merdeka hanya di balik kaca, benarkah kita sudah merdeka?

Tak bisa dielakkan, buku menjadi inspirasi besar untuk karya-karya kecil saya, karya pribadi yang belum dikenal pembaca di luar. Sebab begitu besarnya insiprasi dari buku-buku yang berjejer di rak, akan saya tambah seiring dengan harapan akan karya-karya kecil lain yang terus tumbuh. Tak peduli dengan karya-karya kecil belum ada yang go public, saya akan terus menulis beriringan dengan menyapa aksara dalam buku-buku.

#Ikut serta meramaikan Mozaik Blog Competition: Arti Buku Buatku

Catatan:
Tulisan di bagian April 2006 hasil daur ulang dari tulisan di blog lama: http://boemisayekti.blog.friendster.com/2006/04/buku-dan-inspirasi/

33 pemikiran pada “[Mozaik Blog Competition] Sebermula Membaca, Kemudian Karya

  1. cambai said: tag dulu ya bu guru.. blm bisa baca lg, dek ammar nangis…

    wah ternyata waktu menulis FF itu, referensinya keren2 nih bu guru..:) *ya iyalah..ibu guru gitu lho..:) uni juga kalau bikin FF pasti ada sedikit riset juga..:0 tapi sekarang lebih banyak googling ketimbang nyari di buku..:)

  2. cambai said: tag dulu ya bu guru.. blm bisa baca lg, dek ammar nangis…

    Hehe,uni bisa aja…Gak manteb ya kalo gak sambil baca2 dulu,sama Uni..saya jga sering googling karena buku terbatas,googling praktis 🙂

  3. boemisayekti said: . Puisi-puisi Taufik

    Hebat mbak dalam berkarya berdasarkan landasan referensi yg kuat. Inspirasi yg terpantik dan berangkat dari pengetahuan dan rekam jejak pemikiran banyak orang2 besar biasanya makin menyemangati untuk mempelajari sesuatu hal lebih dalam lagi, mencipta karya dlm kerendah-hatian. Salut!

Tinggalkan Balasan ke cambai Batalkan balasan