Jenuh dengan hiruk pikuk dunia maya yang seringkali beringas: saling nyiyir, saling komentar dengan tulisan paling benar, menepilah ke desa. Sering-seringlah rasakan keramahan nyata yang tak dibuat-buat. Kita akan tahu bahwa dunia ini tidak hanya dipenuhi orang-orang yang selalu merasa paling benar. Temuilah orang-orang yang tidak pernah dipusingkan dengan masalah-masalah viral.
Sejuk, itu yang rasakan saat bertemu dengan penduduk Mangli, Kaliangkrik. Di sebuah masjid dalam jamaah shalat duhur, ibu-ibu yang selesai melipat mukena menyalami kami, saya dan Janitra.
“Saking tindak pundi?” sapa salah satunya.
“Mangli,”jawab saya exited dengan keramahan tulus mereka.
“Ngaturi pinarak, nggo..”ajak mereka. Semua ibu yang menyalami saya mengajak kami mampir ke kediaman mereka. Semuanya tanpa kecuali dan saya melihat ketulusan mereka.
Ketika saya tanya rute perjalanan menuju Dlimas pun, mereka menjelaskan dengan ramah.
Mangli, kami memang baru saja turun dari gardu pandang Silancur Mangli. Kesan saya sama dengan ketika bertemu penduduk desa. Sejuk. Dengan tiket seharga Rp 5000 kami bisa mengeksplorasi keindahan sebuah punthuk kecil.
Gardu pandang Silancur tak berbeda dengan wisata ketinggian yang pernah saya datangi. Landskap pedesaan di bawahnya, petak-petak pertanian di lereng gunung yang miring, juga awan-awan berarak di langit tepat di atas gunung yang terlihat sejajar dengan pengunjung gardu pandang. Bedanya, kami sangat menikmati berada di tempat itu. Tak ada antri-antri di spot swafoto. Ada beberapa pengunjung yang kami temui, namun semuanya terlihat menikmati suasana, tak hanya datang untuk cekrek-cekrek foto.
Kalaupun ada spot yang banyak diminati, antriannya tak begitu membuat kami yang datang terlihat menunggu. Kami menunggu sembari menikmati atau bermain-main.
Gardu pandang itu berada di punthuk kecil. Sejuk dan ‘eyup karena ada pepohonan. Dua hammock diantara dua pasang pohon bisa pengunjung pakai untuk bersantai maupun foto. Dua ayunan tanpa sabuk pengaman terlihat di dua sisi punthuk.
Sebuah menara berdiri di atas punthuk. Pengunjung bisa bersantai, berfoto, atau mengamati Merapi dan Merbabu yang berdiri kokoh di kejauhan. Sayang, gumpalan awan menutupi pemandangan itu. Mengunjungi tempat-tempat wisata semacam itu memang direkomendasikan dilakukan pagi hari.
Taman bunga dengan aneka bunga warna- warni sangat instagramable untuk berfoto. Beberapa bangku taman atau gazebo menjadi tampat rehat yang memanjakan mata. Mau ngopi di tempat tu, rasanya pasti beda. Sayang, satu warung di sana hanya menyediakan kopi dan beberapa jenis minuman sachet instan. Besok lagi kalau kesana, karena jadi tempat fav, bisa deh bawa perlengkapan piknik dan ngopi-ngopi di atas.

saatnya keluarkan bekal. sayang tak membawa kopi dari rumah
Turun ke bawah dan bertemu penduduk dusun yang membuat saya terkesan akan keramahannya, kamu kemudian lanjut ke Dlimas. Gardu pandang yang terletak di Windusari,Magelang, ini sangat ramai.
Kontras sekali dengan Mangli. Tempat parkir penuh dengan sepeda motor. Tempat yang diresmikan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo setahun lalu ini sedang ngehits di Magelang.
Gardu pandang Dlimas memiliki banyak spot foto yang tersebar di banyak titik. Dibutuhkan stamina untuk jalan dari spot ke spot, lumayan buat olahraga. Tapi jangan khawatir perut kepalaparan. Banyak warung makan yang sekaligus sebagai gardu pandang.
Pemandangan yang terbentang tak jauh beda dengan Mangli. Dengan tiket Rp10.000 pengunjung bisa berfoto di banyak wahana tanpa dipungut biaya lagi.
Oiya, mau olahraga yang lebih lagi, pengunjung bisa mengunjungi curug. Kami cukup menikmati perjalanan menuju curug, berjalan di antara petak-petak pertanian, namun kami urung menuju lokasi karena kaki kami sudah minta berisitirahat. 🙂