Dwilogi Padang Bulan– Cinta dalam Gelas

Dwilogi ini tepatnya menjadi sekuel tetralogi Laskar Pelangi (udah tetralogi masih disekuel :D). Buku yang diformat bolak-balik ini masih memaparkan antropologi masyarkat Malayu, muatan yang selalu saya sukai dari buku-buku Hirata. Membaca buku ini, justru yang saya dapatkan adalah Andrea Hirata sendiri adalah tipikal orang Melayu seperti yang saya serap dari Padang Bulan: nglantur, banyak omong. Yeah, ini yang saya dapatkan dari dwologi yang pertama, padahal novel ini cuma ingin menyampaikan kelanjutan cinta Ikal dan A Ling.

Buat saya lebih menarik Cinta dalam Gelas. Tiga kata itu mewakili satu kata: kopi! Cinta dalam Gelas lebih berisi soal ‘ buku besar peminum kopi dan buku besar catur’ sebab dua hal itu, kopi dan catur, yang dibidik Hirata dalam dwilogi kedua. Kopi dan catur begitu berkaitan dengan masyarakat Melayu tentu saja. Orang Melayu suka nongkrong di kedai kopi sambil bermain catur. Tradisi barangkali, mereka tak bisa lepas dari kopi. Begitupun catur, ada pertandingan catur yang digelar di kedai-kedai kopi. Nha, soal pertandingan catur ini pula yang menarik. Ada filosofi catur ala Hirata, selain filosofi peminum kopi yang membuat saya terkikik-kikik sendiri. Menarik sekali filosofi itu (saya tidak tahu soal catur, entah filosofi itu sudah menjadi milik dunia catur entah racikan Hirata sendiri, yang jelas teramat menarik buat saya—yang tak bisa main catur dan buta dunia catur– dan para pecinta catur pastinya). Catur menjadi bingkai cerita dari kisah tokoh sentral yang dijadikan sebagai judul tetralogi terakhir yang terbit sebelumnya: Maryamah Karpov. Bagaimana nama itu tersemat pada diri tokoh itu, lika-liku hidup dan pertandingan catur yang diikuti Maryamah diracik apik Hirata dalam novel itu.

foto pinjam dari Google