Itu jawaban seorang siswa, mbak Septi, ketika teman saya menanyakan kabar Pesta Siaga sehari setelahnya,di sekolah. He he he,ada ada saja jawabannya.
Kami memang tak membawa hadiah berjudul menang menyandang juara,tapi tak sedramatis itu,sampai nangis. Tidak. Kami justru membawa pulang hadiah istimewa, di mata anak-anak dan saya pribadi. Ketika saya menanyakan kesan mereka, kebanyakan berkesan di sesi terakhir, permainan besar. Sulit, bingung Bu, tapi senang,dapat teman baru, komentar mereka. Ya,tentu moment itu sebuah pengalaman beda buat mereka. Mereka harus mencari teman dari sekolah lain dengan kunci huruf di dada mereka untuk membentuk kata yang ditentukan kakak pembina. Wow, ruwet berjalan dalam lautan seribu lebih siswa. Merekapun mendapatkannya, teman-teman baru. Ada jejak nama dan tanda tangan di balik huruf yang tergantung di depan dada.
Pada ‘permainan kecil’, di kelas, khusus sembilan siswa putri, mereka mendapat hadiah yang barangkali tak mereka sadari tapi membuat saya bersyukur dan lega. Sebelumnya, kesembilan siswa itu ‘terbagi’ menjadi 2 kelompok: ‘ngegank’. Gank mereka layaknya ABG lho, benar-benar ngegep. Fenomena yang sudah terlihat sejak kelas satu itu cukup memprihatinkan kami. Apa daya, usaha kami belum memperlihatkan hasil. Kami sudah berusaha ‘mendamaikan’, dengan membacakan kisah, atau nasehat saat mereka ditimpa masalah.
Masalah? Ya, seperti orang-orang dewasa, mereka sering menghadapi masalah pertemanan. Yang sering terjadi, jika salah satu anak dari salah satu geng sedang perang dingin, anak itu akan mendekat ke geng satunya–jadi datang saja saat butuh–. Nha suatu hari, satu anak itu benar-benar sendiri, tidak diterima di kelompok dua-duanya. Yang kelabakan tentu saja guru-guru, tak tega melihat wajah dia yang suram selama beberapa hari. Kami hanya bertanya-tanya, ada apa? Kami panggil satu anak itu. Saya biarkan dia duduk, lalu saya ungkapkan bahwa kami sedih melihat dia sedih sepanjang hari. Sambil terisak, diapun berbicara apa yang dirasakannya. Hikkss, kami yang di kantor ikut-ikutan terharu dan pengen nangis dengernya, bukan karena ceritanya, tapi karena melihat dia yang…. Hffff. Nha, selesai bercerita, saya panggil teman yang membuat masalah itu terjadi. Kami selesaikan saat itu juga. Selesaikah? Belum, lagi-lagi terulang.
Sampai mereka dipaksa kompak di Pesta Siaga itu. Mereka tahu konskuensinya kalau mereka masih pilih-pilih teman saat maju di depan juri. Mulanya mungkin keterpaksaan. Tapi…sekarang, saya melihat meraka dengan senang hati harus lepas dari geng–sekarang gengnya cuma satu dink– jika ada kerja kelompok. Mereka terlihat sering bermain bareng, bahkan… main ke rumah saya bareng-bareng. Nasehat atau kisah yang kami bacakan nyatanya memang tak mempan. Mereka hanya butuh kebersamaan yang benar-benar nyata…. Ya di lapangan itu, di bawah terik matahari dan guyuran hujan, sepagi, sesiang, hingga sore berbaur dengan ribuan anak sebaya mereka. Bersama-sama berjuang untuk sekolah mereka.
Akhirnya…