Di Balik Cernak untuk Majalah Adzkia

Siang itu panas. Berjalan dari sekolah tempat saya mengajar, saya menghentikan langkah di tepi jalan. Saya menunggu angkot yang lewat menuju pasar. Sebenarnya, jarak dari saya berdiri hingga pasar tidak begitu jauh, 10 hingga 15 menit bisa saya tempuh dengan berjalan kaki. Bahkan,simpang empat pasar bisa saya lihat dari tempat saya berdiri, sebab jalannya lurus. Melayangkan pandang menuju simpang 4 pasar, tak satupun angkot biru yang saya lihat. Jadi benar, ada demo gojek di kota Magelang. Demo di kota, tapi angkot pedesaan ikut korsa mogok. Saya terpaksa berjalan kaki sampai pasar. Sekembali dari pasar, malang benar, becakpun tak ada. Celingak celinguk mencari becak, seorang sopir angkot melihat saya. Dikiranya mungkin mencari angkot, sopir itu menyapa saya, “Mbae mau pulang Sambung, itu mbak, sama pak polisi saja.” Saya biasa menumpangi angkotnya sehingga tahu dimana saya pulang.

Tak jauh dari sana standy polisi dan mobil patroli yang hari itu khusus mengangkut anak-anak sekolah yang kesulitan transportasi sebab angkot mogok. Tersenyum sembari menjawab, saya belum mau pulang.  Maka saya berjalan lagi menuju sekolah. Masih panas. Jam istirahat kedua anak-anak matahari sedang berada di atas kepala.

Cling! Mendadak muncul ide ketika saya tiba di depan sebuah Sekolah Dasar Negeri tak jauh dari simpang 4 pasar. Dalam perjalanan itu, saya berangan-angan bagaimana seandainya hujan? Sambil berjalan, saya mengeksekusi ide yang mendadak muncul itu. Saya mengandaikan seorang anak yang bersekolah di SD yang saya lewati harus kecewa karena tak ada angkot. Dengan jarak yang tidak jauh, ia terpaksa berjalan pulang di bawah terik matahari. Sama seperti saya.

cerpen-1.png

 

Hasil eksekusi itu saya tuliskan dalam sebuah cerita anak berjudul “Mogok Angkot” dan dimuat dalam majalah Adzkia edisi 145 Vol.XIII No. 01 Juni 2018. “Mogok Angkot” adalah cerita anak kelima yang dimuat di majalah Adzkia. Saya ingin mengingatkan diri sendiri terutama dan anak-anak,untuk selalu bersyukur dengan cuaca yang diberi oleh Allah. Tidak mengeluh saat panas terik maupun saat hujan turun. Dengan kaki yang dimiliki, bisa pulang sekolah di hari yang terik adalah hal yang pantas disyukuri.

cerpen-2.png

 

Majalah Adzkia merupakan majalah anak muslim yang terbit sebulan sekali. Kantor redaksinya berada di Jl. DR. Muh. Hatta Kp. Madegondo RT 05 RW 04 Sukoharjo Jawa Tengah.  Dibanding majalah Bobo yang sulit sekali ditembus, majalah Adzkia lebih menjanjikan karya saya dimuat. Honornya pun lumayan. Satu pertimbangan mengirimkan karya ke majalah Adzkia adalah menulis sambil berdakwah.  Cerita anak yang dalam majalah Adzkia disebut “Kisah  Berhikmah” mengandung syiar.

Sama seperti “Mogok Angkot”, cerita yang saya kirimkan di majalah Adzkia kesemuanya berangkat dari ide yang saya temukan dalam keseharian saya di sekolah.  Cerita “Dokter Kecil” dalam majalah Adzkia edisi 140 Vol XII No. 08 Januari 2018  adalah pengalaman yang saya hadapi ketika memilih tiga siswa saya untuk maju mengikuti pelatihan dokter kecil di Puskesmas Kecamatan Grabag. Saya tidak memilih anak yang  pandai secara akademik, juara kelas, tapi anak yang telaten dan peduli. Setahun kemudian, muncul ide untuk menuliskannya dalam cerita anak. Saya ingin menekankan kepada anak-anak, bahwa tiap anak memiiliki kelebihan, tak hanya pintar akademik namun juga kelebihan dalam akhlak dan bergaul. Semua bisa berprestasi. Cerita dengan tokoh bernama Syifa itu ingin mengambil inspirasi dari tokoh muslimah Syifa binti Abdullah. Selain berbagi hikmah, saya pun ingin memperkenalkan shahabiyah yang mungkin belum banyak dikenal anak-anak.

cerpen-3.png

Syiar itu pula yang mendorong saya mengeksekusi ide dari hadist yang dihafalkan anak-anak saya di sekolah. Terutama hadist yang berkaitan dengan adab dan diamalkan dalam keseharian.  Barangkali, tidak semua anak tahu, bahwa  meniup makanan dan minuman  tidak diperbolehkan.  Dari hadist larangan bernapas di tempat makan dan minum, saya kemudian melakukan riset. Sesuatu dilarang oleh agama, pasti ada hikmahnya. Data mengenai larangan bernapas/ meniup makanan dan mimunam saya dapatkan secara ilmiah.

cerpen 4

Data yang temukan saya eksekusi, kira-kira minuman apa yang sering dalam keadaan panas lebih enak disajikan. Maka, premis seorang anak yang terburu-buru sarapan karena bangun siang dan meniup susunya yang masih panas menjadi  sebuah cerita anak berjudul “Gara-Gara Novel” dalam majalah Adzkia  Vol X No.6, November 2015. Gara-gara membaca novel hingga larut malam, seorang anak kesiangan bangun dan sarapan dengan tergesa. Ayahnya mengingatkan untuk tidak meniup minuman sebagaimana dijarkan Nabi Muhammad lewat hadistnya. Pertanyaan mengapa dilarang meniup dijawab dengan data yang sebelumnya saya lakukan riset.

Cerita berhikmah lain berjudul “Hari Membawa Bekal” dalam Adzkia Vol XI No. 9, Februari 2017 saya gali dari hadist adab makan, yaitu larangan makan sambil bersandar.  Saya melakukan eksekusi dengan sebuah pertanyaan, momen apa yang mungkin anak bisa makan bersama sehingga guru melihat ada anak yang cara makannya belum sesuai sunah. Muncul ide, pada hari ada pelajaran olahraga, siswa diperbolehkan membawa bekal dan makan bersama di taman kota. Dari sekolah hingga taman kota, siswa berjalan kaki. Saat makan bersama itulah guru dalam cerita “Hari Membawa Bekal” mengingatkan anak-anak tentang cara makan sesuai sunah. Setelah ide muncul, saya kemudian melakukan riset, mengapa secara ilmiah makan tidak disarankan sambil bersandar?

cerpen-5.png

 

Setelah menemukan ide, eksekusi, riset, dan data komplet, alur akan terbangun. Langkah saya selanjutnya biasanya  mengetik cepat atau melakukan free writting (menulis bebas). Saya mengetik saja apa yang terlintas di kepala, tanpa aturan dan tanpa mengedit. Setelah saya lega mengeluarkan isi kepala, dan cerita sudah terbangun,barulah saya membaca ulang sembari mengedit. Ketika membaca ulang seringkali berkembang cerita. Saya juga melakukan penyesuaian jumlah kata sesuai aturan dalam media yang dituju.

Ada kepuasan tersendiri ketika karya dimuat dan diapresasi beberapa teman, bahkan siswa sendiri. Cerita-cerita yang saya tulis adalah cerita-cerita yang terserak di sekolah tempat saya mengajar sehingga lebih mudah menuliskannya

 

 

*tulisan yang tidak lolos lomba menulis proses kreatif

Dilema UN

Tiba-tiba Esti merasa celotehan ke-3 temannya di angkot siang ini basi di telinganya. Biasanya, ia menjadi kompor di setiap kumpul-kumpul,begitu kata teman-temannya. Gatel saja kalau tidak urun suara. Tapi kali ini, dia lebih sibuk memikirkan wejangan para guru pada pertemuan terakhir di kelas hari ini. Besok Senin hari H yang membuat dia dan semua anak kelas XII deg-degan.

Mendapati kebisuan Esti, Rini menyenggol Dani dengan sikunya,dagunya diarahkan pada Esti. Dani mengangkat kedua bahunya.

“Heh, melamun saja dari tadi?!” Lina yang juga menyimpan rasa heran menepuk bahu Esti.
“Eh. . .eh, ngagetin aja!”
“Tumben. Kenapa kamu? Setegang apapun biasanya kamu ga tahan diam.” Rini membuka rasa penasarannya.
“Kenapa? Mikirin besok Senin ta?”
“Em. . .iya. . .um,tapi aku lebih bingung dengan pesan guru-guru tadi.”
Esti menangkap pertanyaan lanjutan ke-3 temannya lewat mata mereka.
“Gimana nggak bingung coba kalau pesan mereka beda-beda,eh maksudnya ada satu guru yang beda dengan guru lain.” Esti berhenti sebentar.
“Di kelasku tadi, bu R pesan pada Bagas, Aan, dan Rizal agar mau bertanya pada temannya karena nilai UCO-nya selalu jelek. Mereka emang paling males kan buat usaha tanya sana sini. Trus bu A pesan agar kita kompak,yang pinter-pinter nggak boleh pelit,menolong teman yang gak mampu,” Esti ingat,dia termasuk siswa yang dipasang menjadi ‘master’ di ruang 3. ” Pak B ngasih trik minta jawaban pada teman. Nha, ini yang terakhir, yang tadi disambut sorak-sorai seluruh kelas itu lho, bu C pesen ‘jangan tergantung pada orang lain karena sebenarnya kalian mampu! Daripada buat lirak-lirik cari contekan, waktunya dipake buat mikir.”

Ketiga temannya memandang Esti terpaku. Tidak beda dengan kelas mereka. Rini dan Lina menggaruk-garuk kepala yang tertutup jilbab –ngusek-usek jilbab–.
“Tauk deh”. Dani membuka suara.
“Hem. . .EGP!” Lina menyambung.
“Huuh. . .emang bikin bingung.” Rini geleng-geleng kepala.”Gimana sih, gak bisa dipake panutan!”
“Itu dia.” Esti menunjukkan jarinya.

***

Esti menghabiskan makan siangnya lebih cepat dari biasanya. Suap demi suap dinikmatinya tanpa banyak cakap. Tanpa menu ‘cerita’ di sela tiap sendokannya. Ibunya yang sliwar-sliwer dicuekin. Biasanya dipaksa duduk mendengar celotehnya.

Sore. Acara TV dinikmatinya nirkomentar. Ibunya menangkap keluarbiasaan Esti kali ini.

Tak tahan dengan keanehan Esti, ibunya mulai mencairkan kebisuan Esti sejak pulang sekolah tadi. “Udah, kamu ndak usah tegang. Kalau diem terus gitu orang rumah malah bingung. Ibunya langsung menebak arah kerisauan Esti.
“Justru Esti diem karena bingung Buk.”
“Iya Ibuk tahu, tapi kamu tenanglah. Kamu sudah cukup usaha tak Nduk.”
“Bukan itu Buk. Esti bingung dengan pesan guru-guru tadi. Aneh deh, gak kompak ngasih motivasi. Masak yang satu berpesan untuk tidak tergantung teman,Bu C bilang kita semua mampu,gak usah lirak-lirik. Tapi yang lain nyaranin turun-turunan. Mana coba yang diikutin nanti di kelas?”
Sontak ibunya menarik kedua ujung bibirnya.
“Ya kalau menurutmu mereka tak bisa buat panutan, kamu buat panutan sendiri, ikuti kata kamu sendiri.” ibunya tersenyum.
“Lho?” Esti garuk-garuk kepala. Bayangan kakak-kakak kelasnya yang meraung-raung tahun lalu membuatnya bergidik. Dia tak boleh seperti mereka. Bagaimana kalau nanti soal-soalnya tak bisa ditaklukan pikirannya?
“Kamu toh sudah mau lulus SMA,Nduk,wis gedhe, bisa to milih mana yang baik buat kamu. Ya?” Ibunya tahu,Esti bukan anak yang mudah ikut-ikutan.
Esti manggut-manggut. Ucapan ibunya semakin membuatnya larut dalam bungkam hingga ia lelap.

00:05
*nyuekin setumpuk koreksian tes*