Ini ketiga kalinya saya mengunjungi museum Kereta Api Ambarawa. Yang pertama perjalanan Solo. Kedua kalinya berdua bersama sohib,dan yang ketiga akhir tahun lalu bersama keluarga.
Tiga kali berkunjung,tiga kali pengalaman seru berbeda. Yang pertama,saya merasakan keseruan naik kereta api uap dari Stasiun Ambarawa ke Stasiun Jambu Bedono. Keseruannya bisa intip di sini. Yang kedua naik kereta api lori ke stasiun Tuntang,dan yang ketiga kalinya naik kereta api diesel ke Stasiun Tuntang.
Karena kunjungan akhir tahun lalu pada waktu pandemi,prokes ketat benar-benar dijalankan. Masuk dengan scan peduli lindungi (saya menunjukkan hasil SC aja karena tak punya aplikasi), kami masuk ke lobi tiket. Tiket masuk untuk dewasa sebesar 10 ribu rupiah sementara untuk anak-anak sebesar 5 ribu rupiah. Terbilang murah meriah. Karena di loket ada penawaran tour kereta diesel,kami tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sekalian saja beli tiket sebesar 70 ribu rupiah. Mahal ya? Setelah merasakan pengalaman berharga nanti,harga 70 ribu akan terasa sesuai.
Masuk ke museum,rasanya excited . Beda banget. Museum kini lebih tertata rapi. Kami memasuki koridor yang disepanjang dindingnya dipenuhi periode sejarah perkeretaapian di Indonesia. Sangat edukatif. Di sebelah koridor, sebuah kereta kuno menyambut kedatangan para pengunjung.
Keluar dari koridor,halaman stasiun begitu asri dengan pohon-pohon besar dan rindang. Ada banyak kereta api kuno yang bisa dimasuki gerbongnya. Seneng banget anak-anak eskplore kereta api kuno.
Saatnya masuk stasiun kuno untuk menunggu kereta api datang. Sembari menunggu,ada ruang-ruang stasiun yang memajang benda-benda kuno bersejarah.
Sama seperti kunjungan terdahulu,di stasiun ada pertunjukan yang bisa dinikmati. Kali ini alunan musik dari beberapa musisi menemani para pengunjung stasiun.
Kereta pun datang, para penumpang masuk ke gerbong-gerbong. Benar-bener kuno dengan bangku-bangku kayu yang vintage. Petugas stasiun menemani perjalanan kami dengan cerita sejarah di selingi humor yang mengundang tawa pengunjung.
Kereta melaju dengan lambat. Banyangkan dengan kecepatan lambat itu orang-orang dulu bepergian. Apa gak capek ya duduk berjam-jam bahkan hitungan hari?
Tiga di stasiun Tuntang, penumpang dipersilakan turun. Bisa eksplore Stasiun Tuntang dan foto-foto pastinya.
Kembali dari Stasiun Tuntang, kami melanjutkan bermain-main di area stasiun. Ada pula kereta kecil yang membawa pengunjung berkeliling area stasiun.
Penampilan stasiun kini mengikuti perkembangan zaman. Ada arena duduk-duduk di taman instagramable. Ada pula photobooth.
Mau main seharian di sana tidak bakalan bosan deh.
Terletak di Jl. Tugu Gentong RT 03 Sribitan Bangunjiwo, Kasihan Bantul, Yogyakarta, museum ini bagi kami meninggalkan kesan mendalam dan ingin kembali kesana. Selain menelusuri sejarah Coklat Monggo, kami juga menikmati hasil olahan coklat monggo berupa gelatto yang yummy.
Museumnya terlihat asri dari luar. Setelah membeli tiket sebesar lima belas ribu rupiah, kami memasuki museum yang tidak begitu luas untuk sebuah ukuran museum. Menelusuri ruang demi ruang yang tertata sistematis perbagian sejarah, mulai dari sejarah coklat di dunia, kemudian sejarah pengolahan coklat, proses pengolahan coklat, hingga sejarah coklat monggo hingga sampai ke Yogyakarta. Nah, bagian sejarah coklat monggo sampai ke Yogyakarta ini membuat kami terkesan. Perjuangan Thierry Detournay asal Belgia yang merintis usaha coklat monggo ini inspiratif. Baca saja banyak artikel dan profil di media massa yang banyak terbingkai di sebuah sudut museum. Betapa sebuah passion dengan sepenuh cinta akan menghasilkan sebuah karya luar biasa.
Puas berkeliling museum, saatnya masuk ke kedai monggo yang menawarkan varian gelato dan minuman coklat yang yummy. Es krim gelato dan coklat yang kami pesan meninggalkan rasa yang lekat. Kata suami, pingin mbaleni meneh. Coklatnya nyoklat banget dan es krimnya rasa bukan rasa sembarang rasa dari esens. Es krim kecombrang yang saya pilih rasanya sriwing-sriwing khas yang belum pernah saya rasakan, hampir-hampir seperti rempah. Sementara gelato coklat dan bunga talang yang dipesan Janitra pun rasanya khas.
Suka banget mengunjungi museum dan kedainya yang jauh dari hiruk pikuk. Sangat bisa menikmati suasanya di sana yang tenang dan senyap. Bersebelahan dengan kedai, sebuah showroom coklat menawarakan aneka olahan coklat yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh.
Judul: The Haze Inside | penulis : Aiu Ahra | penerbit: @penerbitRepublika | cet. 1,Mei 2022 | 364 hal.
The Haze Inside mewakili pergolakan batin remaja yang mencari dan dipenuhi tanda tanya,cita-cita,tujuan hidup,dan mau ke mana selepas lulus.
Dimulai dari bangku SMP,ada pertanyaan mau lanjut ke sekolah mana? Tiga Sahabat menemukan jalan-jalan yang berbeda. Dua diantaranya ternyata melanjutkan di pesantren yang sama: Ghazi dan Rigel. Sementara Mey melanjutkan di sekolah umum.
Berada di pesantren yang sama tak membuat hubungan Ghazi dan Rigel bak sahabat baik. Rigel mulai bertanya terhadap sikap Ghazi yang dingin.
Tokoh Rigel yang selalu bertanya dan mencari tujuan hidupnya terlihat gigih dengan selalu bertanya pada teman lain,Umar, Ajis,Ghazi. Penulis menampilkan karekter-karakter kompleks di sebuah pesantren. Selain Rigel yang gigih namun sering kali agresif pada sahabat-sahabatnya,tokoh Ghazi yang tanpa emosi dan selalu pesimis. Ajis yang hobi makan,dan Umar yang shalih dan pandai.
Pencarian tujuan hidup mendapat tantangan permasalahan perundungan. Masalah yang umum terjadi terjadi di sekolah,lebih-lebih pesantren. Masalah itu tidak sederhana ketika yang terlibat punya akses wewenang di pesantren. Kasus itu kembali mendekatkan dua sahabat dengan kegigihan Rigel. Selama membaca saya menunggu akhir dari kasus perundungan,bagaimana solusi yang ditampilkan penulis. Sekalipun banyak pihak pesimis terhadap kasus itu,bahkan para ustadz,saya cukup lega dengan penyelesaian.
Penulis menampilkan pergolakan-pergolakan diri tokoh dengan alur maju mundur. Dengan bahasa sederhana buku ini memberikan gambaran kompleksnya hidup di pesantren. Setting pesantren di Sumut diperkuat dengan dialog berbahasa lokal.
Remaja atau orang tua yang masih ragu menyekolahkan anaknya ke pesantren,bacalah buku ini. Tak hanya santri dan calon santri,buku ini juga layak dibaca oleh remaja pada umumnya. Sebagai guru saya mendapatkan banyak pelajaran dari The Haze Inside. Banyak kutipan menggugah di temukan sepanjang cerita.
“Manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci dan cenderung pada kebenaran,selama dalam hatinya masih ada cahaya kebenaran,maka dia pasti bakal memperjuangkanny,”(224)
“Namanya kebenaran akan menemukan tempatnya untuk pulang. Jadi tugas kalian adalah memperjuangkannya. Soal hasilnya,biar Allah yang atur,”(hal. 224-225)
“Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat,ke pada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah yang tak berbubuh noktah,tiada pesta yang tanpa bubar,tiada pertemuan yang tanpa perpisahan,tiada perjalanan yang tanpa pulang,” (hal.531)
Inilah safarnama. Inilah hidup penulis yang dituliskan dalam sebuah buku yang saya baca seperti membaca sebuah novel. Hidup Agustinus dengan perjalanannya itu seperti sebuah fiksi. Ini kisah nyata, saya berkali-kali menyakinkan diri ini nyata, saking terhanyutnya dibawa jalan-jalan kayak baca novel. Padahal ini buku ke-3 dari penulis yang saya baca, tapi ‘seperti tak percaya’ kalau buku yang saya baca adalah kisah perjalanan.
Berbeda dengan 2 buku sebelumnya yang sepenuhnya berisi cerita perjalanan, kali ini perjalanan Agustinus dibingkai oleh kecintaan pada sang mama. Safarnama penulis sejalan dengan perjalanan sang mama melawan penyakit kanker. Emosi yang saya dapatkan dari satu negara ke negara berpadu dengan emosi kisah perjuangan sang mama menghadapi penyakit.
Saya merasakan panjangnya perjalanan ke Tibet,Nepal, lelahnya melakukan pendakian Anapurna. Lalu masuk India, wajah bobrok kemiskinan, rasa muak dan kesakitan yang berangsur mencapai klimaksnya oleh keindahan. Didorong kemanusiaan menjadi relawan di Pakistan, Agustinus dengan kalimat-kalimatnya mampu membuat saya bisa merasakan ironi-ironi. Kehangangatan keluarga di Pakistan yang tulus menyambut orang asing seperti penulis, punya wajah berbeda ketika berbenturan dengan konflik agama. Kehangatan itu lenyap menjadi keberingasan misalnya ketika demonstrasi besar-besaran saat kasus kartun nabi mencuat. Atau wajah lain penuh simbah darah saat peringatan terbunuhnya Hussain di Karbala.
Terakhir adalah seperti mengulang kisah Selimut Debu. Perjalanan di Afganistan mengungkap wajah di balik perang. Di negara ini, ia sekaligus bisa mendapatkan pekerjaan yang sepadan dengan mimpinya, menjadi fotografer di sebuah kantor berita. Titik baliknya ia dapatkan dari negara ini, mengantarnya pulang ke hadapan sang mama.
Tak pernah bosan membaca kisah perjalanan dari Agustinus, paduan sejarah, lokalitas, dan keindahan beragam tempat diracik dalam kisah penuh makna. Kontemplatif dan inspiratif. Kita menemukan makna perjalanan dan kemerdekaan yang sebernanya. “Perjalanan itu sesungguhnya adalah belajar untuk menatap cermin. Dalam perjalanan, memang pada pada awalnya kita belajar menghilangkan diri, tapi pada akhirnya kita justru menemukan diri dan menjadi diri. (Hal. 414)
Pantai Gesing terletak di Bolang, Girikarto, Panggang, Yogyakarta. Dibandingkan pantai lain di Gunung Kidul, pantai ini terbilang dekat. Jalur menunuju pantai bagi saya lebih nyaman lewat Panggang dibanding lewat kota Wonosari yang padat lalu lintasnya. Hanya saja, ada beberapa jalur yang menanjak berkelok.
Pantai ini kecil dengan deretan kapal yang bersandar. Ada kapal-kapal yang membawa penumpang menjelajah laut sekitar, segaaarr.
Yang menarik bagi kami adalah para nelayan yang sedang menyayat ikan di kapal-kapal nelayan. Mereka bergerombol sembari mengobrol. Saya kira mereka sedang membuat ikan asin yang akan dijemur.”Bukan, mereka membuat umpan untuk mencari ikan,”jelas abah Janitra. Benar saja, sore hari mereka siap berlayar. Lihat saya cara mereka berlayar. Dibutuhkan beberapa orang untuk menarik kapal dari pantai ke laut. Kerjasama yang menjadi ciri khas masyarakat lokal. Bahkan pengunjung pun ada yang turun tangan membantu.
Bagi anak-anak, apa yang menarik? Tentu saja bermain ombak! Iya lah, mereka enggan untuk berhenti. Ombak di Pantai Gunung Kidul selalu menggoda dan cenderung aman untuk anak-anak.
Dengan pasir putih dan air yang jernih, anak-anak makin betah bermain ombak. Selain itu, pemandangan pantai dengan tebing di sekeliling juga indah. Sayangnya, terlihat sampah-sampah di pantai yang mengurangi eksotisme pantai.
Kelas 5 SD, sekitar 1995, seorang siswa baru menjadi teman sekelas. Ia putri seorang camat yang memerintah tempat tinggal kami. Tentu, untuk siswa baru, ia perlu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Naik ke kelas 6, entah bagaimana caranya, kami bisa satu kelompok. Karena saat kelas 5 kami sebatas saling tahu, dimulailah perkenalan dan saling beradaptasi. Bertandang ke rumahnya, saya dan teman sekelompok dibuat kagum pada koleksi buku-bukunya. Inilah perkenalan saya dengan Gramedia yang lebih intens. Sebelumnya saya mengenal Gramedia lewat serial Lupus yang membuat terkikik.
Saya dibuat penasaran dengan petualangan Lima Sekawan, STOP, dan Trio Detektif. Buku-buku itu membuat saya dan satu teman lebih rajin main ke rumahnya. Bukan untuk belajar namun pinjam dan mengembalikan. Satu hari pinjam kemudian selesai satu petualangan lanjut ke petualangan lain. Begitu seterusnya. Tak terasa buku-buku itu membuat adaptasi kami berjalan saja secara alamiah dan tahu-tahu kita satu kelas lagi di bangku SMP. Di pertengahan kelas 2, ia harus kembali ke lingkungan asalnya karena tugas ayahnya di kecamatan kami selesai. Ia meninggalkan satu kenangan berupa kesenangan baca yang mengakar pada diri saya.
Babak baru buat saya ketika harus beradaptasi adalah ketika masuk di bangku kuliah di Yogyakarta. Perpustakaan menjadi pelarian saat harus bergelut dengan perasaan jauh dari keluarga. Rasa sepi di kost terisi dengan novel-novel, sebut saja Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Trilogi Jendela Atap Pintu karya Fira Basuki dan banyak buku lain. Lulus kuliah, kerja, dan menikah saya kembali beradaptasi.
Yang berat adalah masuk ke lingkungan baru dan kehidupan baru yang akan menjadi bagian hidup saya selamanya. Masa-masa awal menjadi hal yang berat. Masih saya ingat, buku Agustinus Wibawa berjudul Garis Batas berada di tangan sementara saya belajar mengenal keluarga baru. Di depan televisi mereka menyimak dunia dari kotak ajaib sementara saya berkelana bersama Agustinus. Kami saling menyelami karakter masing-masing dengan cara kami sendiri. Petualangan luar biasa Agustinus di Afganistan dan negara-negara ‘stan’ yang lain, menemui dan menyelami kehidupan masyarakat lokal membuat saya berayukur. Hidup saya tidak ada apa-apanya dibanding segala keterbatasan dan ketakutan para penduduk di daerah konflik dan perang berkepanjangan.
Sembilan tahun menikah pandemi Covid 19 menerjang dunia. Kami harus berdiam di rumah. Lagi, buku-buku menjadi teman kami. Babak baru seolah menyapa, pandemi membuat perubahan berbagai sendi kehidupan, yang nyata adalah ekonomi. Hidup menjadi serba dibatasi. Bagaiamana caranya, kami harus mengencangkan ikat pinggang.
Ada ambiguitas yang saya rasakan. Ketika hidup dituntut untuk bisa berhemat,namun perdagangan online seperti memborbardir hidup. Setiap detik, tawaran berbagai barang datang. Pasar berada di genggaman. Kita seolah-olah membutuhkan barang-barang tersebut sebab tampilan iklan begitu menggoda, tawaran harga murah.
Terasa sekali ketika wfh penuh berakhir dan saya masuk kerja. Kantor tempat saya bekerja tak jauh dari ‘pasar’. Beberapa teman adalah pelapak online. Dari fashion, skincare hingga makanan dan kebutuhan sehari-hari. Perbincangan seputar fashion, skincare, dan tawaran barang menjadi perbincangan sehari-hari. Sebagai pedagang mereka berhak menawarkan barang. Tidak jadi masalah.
Namun, mendadak saya merasa tidak satu frekuensi dengan teman-teman. Untungnya, saya sudah punya mind set, tak butuh tak usah beli. Hidup minimalis yang belakangan santer lewat setidaknya mempengaruhi saya. Saya sangat terinspirasi dan dikuatkan oleh kehadiran buku Gaya Hidup Minimalis.
Buku ini tidak sekedar mengajak berbenah namun lebih dari itu, memulai dengan mengubah mind set terhadap barang. Buku yang terdiri dari 4 bagian ini dimulai dengan Dasar Pemikiran. Bagian inilah yang begitu mengena dan paling saya sukai. Banyak hal dipaparkan yang membuat saya mengangguk-angguk dan membuka pikiran tentang kepemilikan barang, lebih-lebih di masa pandemi yang segalanya harus diperhitungkan.
Ada banyak sekali barang yang sudah dimiliki atau ingin dimiliki, tidak saja memenuhi tempat, namun lebih dari itu membuat pemiliknya membuang banyak energi, waktu,dan biaya dalam perawatannya. Barang-barang itu begitu mengikat pemiliknya; barang-barang yang tidak seberapa manfaatnya dan pemakaiannya di rumah. Barang-barang seperti itu pula yang sebenarnya sering ditawarkan dan menarik untuk dibeli.
“Sebenarnya, diri diri kita tak bisa diubah oleh produk apapun. Kosmetik mahal tidak akan menjadikan kita model terkenal. Peralatan berkebun mahal tidak akan menjadikan kita tukang kebun andal,kamera canggih tidak akan menjadikan fotografer berprestasi. Namun tetap saja kita merasa ingin membeli dan menyimpan baran yang mengandung semua janji itu”(hal.11).
Kadangkala, saya mengakui, mendapati linkungan yang begitu konsumtif ada pengaruhnya. Ada lintasan di benak, kalau aku pakai itu, aku akan terlihat lebih ini dan itu tidak ya? Namun, sekali lagi, mind set untuk lebih kembali belajar miminalis menguatkan.
“Menerapkan hidup minimalis berarti melawan keinginan untuk menghadirkan dunia luar di dalam rumah kita sendiri.”(hal.37).
Masa pandemi juga memaksa berpikir dan berbuat yang lebih ‘ringkas’. Melihat barang-barang yang terbelengkelai di rumah, ingin rasanya meringkus barang-barang yang tidak begitu manfat. Lalu bagaimana dengan barang yang sudah terlanjur terbeli?
Ada metode STREMLINE dalam buku ini yang akan memandu step by step mengubah mind set hingga berbenah di rumah mulai dari hal sederhana. Harapannya setelah semua langkah dilaksanakan,ada kebebasan dengan memiliki sedikit barang. Sedikit barang=merdeka. Belajar dan berproses menjadi ‘merdeka’ ini yang akan menjadi proses sepanjang waktu.
Prinsip-prinsip yang saya dapatkan dalam buku Gaya Hidup Minimalis ini menguatkan saya untuk bisa melawan keinginan dan memilah mana keinginan dan mana kebutuhan, mana hal-hal yang perlu dipikirkan mana hal-hal yang menjadi ‘sampah’.
***
Di kantor, saya terbilang generasi lama namun seoalah saya yang harus beradaptasi. Selama saya memiliki prinsip yang saya pegang, semua akan baik-baik saja. Zaman serba cepat berubah. Mungkin saya merindukan teman-teman dan masa ketika fashion, skin care, dan gosip-gosip artis yang viral tidak menjadi topik perbincangan yang hangat di kantor.
Namun, bukankah sepanjang hidup manusia, adaptasi menjadi keniscayaan
Penulis : Lisma Laurel, S. Gegge Mappangewa, d.k.k.
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Halaman : 144 halaman
Harga : Rp.39.000
Garis Besar Buku
Bukan kumpulan cerpen biasa, Kisah Sejuta Bunda menghadirkan 11 cerpen pemenang dan finalis Kompetisi Menulis Indiva 2019. Para penulisnya pun berpengalaman menulis cerita anak di berbagai media maupun menerbitkan buku. Bahkan, beberapa diantaranya adalah jawara kompetisi menulis nasional.
Buku ini dibuka dengan cerpen yang menjadi judul buku, Kisah Sejuta Bunda. Cerpen ini menceritakan seorang gadis kecil, Clara, yang ibunya meninggal karena sakit. Ia sempat menyalahkan ibu yang meninggalkannya dan ayah tidak bisa mengepang rambutnya sama besar sehingga ia ditertawai teman-temannya saat bermain di taman. Clara kangen dengan ibunya melihat teman-temannya bersama ibu-ibu mereka. Tapi mendapat kebaikan ibu dari teman-temannya hati Clara terobati. Apalagi ayahnya berjanji akan melakukan apa saja seperti yang ibunya lakukan.
Beranjak ke cerpen kedua, “Kotak Ajaib Milik Juro”, pembaca akan diajak ke Jepang, berkenalan dengan kearifan tokoh Juro yang selalu bersemangat dan ceria bekerja di toko pak Yukio. Semangat Juro membuat Etsu bertanya-tanya, apa yang membuat Juro tidak pernah mengeluh sekalipun pekerjaan mereka melelahkan. Rasa penasaran Etsu makin menjadi mendengar rahasia semangat Juro adalah kotak ajaib. Apa isi kotak itu membuat Etsu ingin tahu dan membukanya ketika Juro belum kembali. Isinya sungguh diluar dugaan. Juro memberi Etsu inspirasi untuk melakukan hal yang sama dengannya. Tokoh Juro memberi pesan mendalam bagi pembaca, ia mengajarkan untuk selalu bersemangat dan mengingat hal-hal yang baik ketimbang berpikir negatif.
“Hal baik yang datang pada kita perlu diingat. Hal buruk, kita lupakan dan buang jauh-jauh.” (hal. 26)
Cerpen ketiga, “Pembatas Buku Gratis” mengetengahkan cerita tentang Katrina yang berjiwa enterpreneur dengan menjual pembatas buku buatannya. Ketika dibawa ke kelas, pembatas buku buatannya membuat Pipit dan teman-temannya ingin mendapatnya secara gratis. Sepulang sekolah, Pipit diminta bantuan ibunya untuk berbelanja bahan kue. Ia bertemu dengan Katrina yang sedang berbelanja bahan-bahan untuk membuat pembatas buku. Sampai di rumah, Pipit mendengar pembicaraan ibunya dengan pelanggan yang melakukan tawar-menawar. Pembicaraan itu membuat Pipit menyadari bahwa untuk membuat sesuatu butuh pengorbanan dan biaya. Jika harga tidak sesuai, maka kerugian yang didapatnya. Kisah itu mengajarkan pentingnya menghargai karya orang lain.
Pada masa pencarian identitas, anak-anak seringkali belum mengenali potensi dan memaknai kelebihan diri. Anak-anak menganggap kelebihan dan prestasi sebatas juara sekolah. Ada dua cerpen yang mengajarkan untuk menggali potensi dan menghargai kelebihan yang diberikan Allah. Tokoh Rossmalia dalam cerpen “Raibow Rose” ingin memiliki kelebihan seperti teman-teman di asrama yang masing-masing punya kelebihan yang menjadi ciri khasnya. Rossmalia ingin memiliki sesuatu yang istimewa. Ia diam-diam menanam bunga mawar di kebun asrama. Kemampuannya teruji ketika musyrifah sakit. Ia bisa memberikan mawar yang berbeda dan membuat musyrifah bangga. Sementara tokoh “Palai Bada untuk Ayah”, Izzati, iri kepada kakak dan adiknya yang berprestasi di sekolah. Ia merasa ayahnya tak pernah memujinya. Izzati kemudian ingin menjadi juara di rumah dengan memasak. Ia memasak palai bada untuk ayahnya. Ayahnya memuji Izzati dan masakannya juara.
“Tapi tidak semua orang harus juara kelas, Izza. Orang yang tidak juara kelas bukan berarti bodoh. Mungkin mereka akan juara di bidang yang lainnya.” (hal.74)
Ada keunikan beberapa daerah, terutama makanan dan minuman yang dikenalkan oleh beberapa pengarang dalam buku ini. Selain cerpen “Palai Bada untuk Ayah”, ada cerita “Sarabba Kakek Agung” karya S. Gegge Mappangewa dan “Seruit Persabatan” karya Siti Atika Azzaharah. Sarabba menjadi jembatan bagi kakek Agung untuk dekat dengan anak-anak yang selama ini takut padanya karena ia suka tiba-tiba menangkap dan menciumi anak-anak laki-laki. Ada latar belakang mengapa kakek Agung melakukan itu. Kehilangan anak lelakinya di masa lalu membuatnya merindukan anak laki-laki. Anak-anak yang selama ini takut padanya kemudian memberanikan diri untuk datang. Mengenal kakek Agung lebih dekat setelah datang ke rumahnya, ayah si tokoh aku kemudian mencari anak kakek Agung lewat internet.
Jika sarabba menjadi minuman dalam pertemuan kembali ayah dan anak yang lama terpisah, seruit dalam cerpen “Seruit Persabahatan” menjadi jembatan persabahatan antara Andini,seorang siswa baru, dan Jasmine yang selalu mengganggu Andini lantaran iri dan ingin menarik perhatiannya. Seruit itu disajikan dalam acara syukuran di rumah Andini. Dalam acara tersebut, terungkap mengapa Jasmine selalu menganggu Andini dan mereka bisa menjadi sabahat. “Seruit menyatukan perbedaan dalam kebersamaan.”(hal.143)
Satu lagi cerpen yang mengangat tema itu yaitu “Sahabat-Sabahat Lisa”. Lisa, yang pintar dan berhijab membuat Santi kagum. Lisa datang ke rumah Santi saat Santi bosan karena liburan di rumah. Mengapa Lisa tidak pernah bosan di rumah dan pintar terjawab saat Lisa mengajaknya datang ke rumah Lisa. Lisa menginspirasi Santi untuk melakukan hal yang sama.
Dua cerpen yang lain adalah “Gara-Gara Kemarau” dan “Nasi Hukuman”. Keduanya bersetting di pedesaan. “Gara-Gara Kemarau” menceritakan Motto yang tiap sore harus mengambil air 4 jeriken dan mengisi bak mandi. Suatu ketika ia ingin lari dari tugas dan makan mangga muda sambal dengan cabai 20. Ia bolak-balik ke belakang dan merasakan penderitaan karena ulahnya.
Sementra “Nasi Hukuman” mengajarkan pada anak-anak untuk bersyukur dan menghargai hasil kerja petani dengan selalu menghabiskan makanan (nasi) yang sudah diambilnya. Dio mendapat hukuman karena tidak menghabiskan nasi makan siangnya. Dio menyadari kesalahannya ketika Faiz mengajaknya ke sawah kakeknya dan kakek memberi gambaran mengenai hasil panen dan kerugian yang mungkin diterima petani jika gagal panen.
Penilaian dan Beberapa Catatan Kecil
Tema dan amanat
Tema-tema dalam kumcer Kisah Sejuta Bunda dekat dengan dunia anak. Seperi tema persabatan, semangat dan keihlasan dalam bekerja, bersyukur dengan apa yang berikan Allah, kedisiplinan, keikhlasan, dan tema yang sangat membangun karakter. Tema-tema tersebut kemudian menjadi inspirasi bagi anak-anak yang tersurat maupun tersirat sebagai pesan (amanat). Penulis berhasil memaksukkan unsur pendidikan karater sebagai visi dari penerbit.
Alur
Kesebelas cerpen dalam buku ini disajikan dengan alur maju. Alur maju sesuai dengan pola pikir anak-anak yang masih sederhana. Anak tidak perlu berpikir njlimet untuk mengingat rangkaian kejadian yang saling berhubungan sebab akibat.
Plot yang memancing rasa penasaran dengan apik misalnya terlihat dalam “Sarabba Kakek Agung.” Pertemuan Kakek Agung dengan Basri anaknya tidak serta merta mengakhiri cerita dengan bahagia. Nyatanya Kakek Agung yang sudah pikun tidak mengakui Basri sebagai anaknya. Kakek Agung kembali ingat ketika Basri menawarkan diri untuk memetik kelapa untuk dibuat sarabba.
Anak juga dibuat bertanya-tanya pada rencana Nada dalam cerpen “Nada yang Tak Biasa” dalam usahanya membuat ibu bisa mengikhlaskan kakak Nada yang baru saja meninggal. Apakah rencana Nada? Berhasilkah?
Sudut pandang
Sebagian besar cerpen dalam buku ini dituturkan dengan sudut pandang orang ketiga pelaku utama. Para penulis dalam buku ini bercerita dari sudut pandang tokoh utama. Cerita tokoh lain diceritakan dari kejadian yang ada di sekitar tokoh utama.
Dua cerpen menggunakan sudut pandang orang pertama aku yaitu “Sarabba Kakek Agung” dan “Gara-Gara Kemarau”. Kesalahan kecil terlihat dari ketidakonsitenan penyebutan sudut pandang aku dalam cerpen “Sarabba Kakek Agung”. Satu kali penulis menyebut aku dengan saya di halaman 115.
Tokoh dan penokohan
Tokoh-tokoh dalam buku Kisah Sejuta Bunda mengalami perkembangan watak sesuai dengan perkembangan alur. Watak dari beberapa tokoh yang bertentangan dengan nilai di akhir cerita mengalami perubahan sesuai pesan yang diusung oleh penulis. Anak-anak selain mendapatkan nilai-nilai dari tokoh juga mendapatkan akhir baik yang menghibur.
Pembentukan karakter anak bisa dilakukan salah satunya dengan kisah atau cerita. Ketika anak membaca cerita, seringkali mengindentifikasi diri dengan karakter-karakter maupun peristiwa yang dialami tokoh. Proses ini akan membentuk keterikatan emosi antara anak dengan pesan moral cerita yang dibacanya. Timbul keinginan dalam diri anak untuk melakukan seperti yang tokoh yang dibacanya. Buku yang inspiratif akan mengambil peran ini. Sebelas cerpen dalam buku ini memiliki tokoh yang bisa menjadi contoh bagi anak-anak yang membacanya.
Setting
Bagian ini yang paling menarik perhatian saya. Tidak semua cerpen secara spesifik menyebutkan setting cerita berupa nama daerah/kota/desa tempat peristiwa berlangsung. Patut disayangkan, ada cerita dengan warna lokal yang khas namun settingnnya tidak disebut, seperti “Palai Bada untuk Ayah”. Palai Bada merupakan makanan khas dari Padang. Setelah membaca cerpen itu, saya kemudian googling mencari makanan khas tersebut.
Palai Bada
Begitu pula dengan cerpen “Sarabba Kakek Agung”. Dalam cerpen ini, penulis satu kali menyebut daerah Sidrap dan Makassar. Cerpen-cerpen tersebut bisa digali lebih dalam warna lokal yang menjadi settingnya sehingga bisa memperkaya pengetahuan anak-anak.
Sarabba
Dalam “Seruit Persahabatan”, penulis secara gamblang menjabarkan apa itu seriut dan dari mana asal makanan itu. Wawasan anak akan bertambah membaca cerpen ini. Cerpen semacam ini memberikan nilai lebih bagi anak-anak.
Seruit
Menurut kritikus sastra Melani Budianta, keragaman budaya lokal akan menjadi kekayaan yang menarik bila penulis mampu mengubah kultur dan subkultur dalam karyanya. Cerpen anak pun, punya peluang untuk mengolah keragaman tersebut dalam cerpen.
Saya menyayangkan tidak disebutnya setting dalam cerita “Gara-Gara Kemarau”. Membaca penyebutan mamak dan nama Motto, nama yang khas, cerpen itu punya kans untuk dikembangkan menjadi cerpen dengan kekayaan lokalitas.
Setting yang lengkap saya temukan dalam cerpen “Kotak Ajaib Milik Juro”. Penyebutan negara, toko, nama-nama tokoh, dan kearifan lokal yang tertuang dalam suasana, karakter yang kuat, dan pesan saling berkaitan sehingga menjadi cerpen yang apik. Jepang punya budaya luhur yang bisa digali dan dikenal anak-anak. Namun, bagi saya rasanya janggal dan njomplang menemukan satu cerpen bersetting negara Jepang bersanding dengan 10 cerpen bersetting lokal. Mungkin hal itu bisa dipahami sebab dalam syarat lomba yang diadakan Indiva tidak ada syarat tema lokal.
Kalau melihat artikel guru wira-wiri di media massa, rasanya mupeng pingin juga menulis. Ada ide-ide yang berkeliaran dan gelisah minta ditulis namun kurang dorongan. Bagaimana menulisnya?
Dalam acara Pemilihan Duta Baca 2019 lalu, saya berbincang dengan Pak Rahma Huda Putranto, Duta Baca Kab. Magelang 2019. Kebetulan beliau salah satu mentor bimtek pembelajaran tanpa batas yang saya ikuti sebelumnya. Saya bilang pada beliau, kalau guru saja dalam waktu satu pekan bisa mengerjakan tugas bimtek, kenapa tidak dengan menulis ya, Pak?
Coba ada pelatihan menulis untuk guru.
Alhamdulillah, cepat sekali harapan itu terealisasi. Beliau bersama rekannya, Pak Solehuddin Al Ayyubi memfasilitasi acara Pelatihan Menulis Guru bekerja sama dengan Jateng Pos dengan narasumber bapak Tukijo,S.Pd. (Duta Rumah Belajar Kemendikbud RI, Duta Literasi Jateng, Ketua Literasi Guru Jateng)
Luar biasa, semua guru yang mengikuti pelatihan dijamin terbit karyanya. Buktinya, Ahad (23/6) saya ikut pelatihan di Hotel Trio Magelang, Selasa menulis (menyempurnakan tulisan saat pelatihan) dan mengirim, Kamis karya saya terbit, dan Jumat saya mendapatkan bukti terbit.
Dengan 500 kata, artikel yang diterbitkan berisi seputar permasalahan pembelajaran di kelas dan bagaimana menyiasatinya. Metode pembelajaran atau inovasi yang dilakukan guru juga bisa menjadi inspirasi. Selain berisi opini dan solusi yang ditawarkan, artikel tentunya diperkuat dengan data berupa teori atau kutipan yang tidak lebih dari 25% isi tulisan.
Menulis ketika sudah mendapatkan pencerahan nyatanya bisa. Semoga karya perdana ini diikuti karya kedua,ketiga, dan seterusnya. Ada mimpi yang selalu tersemat, saya ingin belajar dan nulis di majalah X.
Para guru, mari menulis mari menginspirasi!
Ini salah satu cara mengisi liburan di rumah, ngeblog menuliskan catatan perjalanan yang sekian waktu tertunda. Mengubek-ubek foto lama yang tersimpan. Gowes ini sudah lama sekali,sekitar setahunan silam ketika club buku Janitra masih suka ngumpul melakukan kegiatan bersama.
Dimulai dari Tegalsari, kami menyusuri sungai hingga Kebonpolo, menyebrang hingga rindam. Di rindam berhenti sejenak menikmati car free day dari atas jembatan plengkung.
Jenak mengambil jeda kami lanjutkan perjalanan menyusuri dusun Boton dan sampailah di Museum BPK RI.
Museum BPK RI yang kami kunjungi kini berbeda jauh dengan musem yang terakhir saya kunjungi sendiri bertahun-tahun silam, sekitar 2008-an. Museum yang berlokasi di Kompleks Karisidenan Kedu, Jl. Diponegoro No.1 Magelang, Jawa Tengah ini sejak 2016 memperhatikan tren museum post-modern. Punya tagline “BPK Pengawal Harta Negara” museum ini awalnya merupakan kantor BPK RI.
Merunut sejarah, penempatan kantor BPK RI di Magelang bukan tanpa alasan. Pasca proklamasi, kondisi ibu kota Jakarta tidak kondusif sehingga pada awal 1946 memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Kantor-kantor kementrian/lembaga pun tersebar di sekitar Yogyakarta. Magelang dipilih sebagai kantor BPK RI. Awalnya, kantor bertempat di perusahaan listrik umum Hindia Belanda, kemudian berpindah ke Gedung Bea Cukai Maglang dan berlanjut di Kompleks Karisidenan Kedu terakhir pindah ke Gedung Klooster.
Museum BPK diresmikan pada 4 Desember 1997. Dari tahun ke tahun museum mengalami perluasan hingga kini berpenampilan modern. Pengelola museum adalah Unit Pekaksana Teknis (UPT) Museum BPK dengan kepala museum pejabat eselon IV. Pengelolanya berada di bawah Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK.
Ruangan-ruangan BPK RI memiliki penamaan tersendiri. Dimulai dari lobi sebagai pintu masuk lanjut ke Ruang Audio Visual, Ruang Wajah BPK, Ruang Titik Nol, Ruang BPK, Ruang Rekam Jejak serta terdapat Kids Museum, ruang perpustakaan, storage dan konservasi, ruang temporary exhibition, toko suvenir, kafetaria, dan paling ujung adalah kantor pengawai penglola museum.
Bagaimana rupa dalamnya? Pengunjung akan dibuat berdecak kagum dengan konten museum yang edukatif, tertata rapi, dan apik. Para penggemar selfi akan menemukan spot-spot yang indah untuk berfoto. Yuk kita intip isi dalamnya…
ruang lobi
dwi tunggal di balik berdirinya BPK
filosofi tugas BPK yang digambarkan dalam lukisan batik
Ruang wajah BPK RI menampilkan profil BPK dengan visualisasi desain panel yang interaktif, mudah dimengerti, dan paritisipatif.
dalam Ruang Wajah BPK pengunjung bisa belajar sembil bermain
Ruang Titik Nol menampilkan perjalanan sejarah BPK dari titik awal
ruang BPK berisi profil badan berdasarkan periodisasi
Ruang Rekam jejak menampilkan pengaruh hasil pemeriksaan BPK bagi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan. Kliping surat kabar tertata apik
Kids Museum diusung ringan, edukatif, dan menyenangkan bagi anak. Selain konten visual ada konten audio visual lewat film animasi
perpustakaan yang tak kalah menyenangkan
Nah, menyenangkan bukan jelajah di museum BPK RI. Pengunjung mendapatkan banyak ilmu tanpa dipungut biaya sepeser pun sebab tidak ada tiket masuk menuju museum.
Puas belajar sembari bermain, kami pun melanjutkan perjalanan menuju alun-alun kota kemudian pulang. Hati riang dan badan sehat.
Jelajah kampung kopi menjadi daya tarik wisata yang kini banyak dikembangkan oleh kelompok tani di beberapa daerah. Sebut saja kabupaten Semarang yang memiliki areal perkebunan kopi luas. Selain Kampung Kopi Banaran yang lebih dahulu populer, kini mulai berkembang Doesen Kopi Sirap. Terletak di Dusun Sirap, Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, kafe dan wisata edukasi dusun ini kembangkan oleh kelompok tani Rahayu Empat. Berkembang sejak tahun 2014, kafe yang menawarkan pengalaman ngopi yang unik dimulai dua tahun belakangan. Ada beberapa paket wisata yang ditawarkan antara lain terlihat dalam brosur berikut
Paket wisata tersebut diikuti oleh jumlah peserta minimal 10. Selain paket wisata, pada bulan tertentu ada event spesial seperti panen raya di sekitar Juli- Agustus dan festival kopi. Paket yang bisa diikuti oleh peserta terbatas antara lain berisi pengalaman menyangrai kopi secara manual tradisional oleh penduduk lokal. Tidak menutup kemungkinan penghunjung lain melihat prosesi tersebut.
Datang secara mandiri, liburan kali ini kami bertiga melakukan penjelajahan di Doesoen Kopi Sirap. Dimulai dengan perjalanan menanjak, masuk dari jalur utama Magelang-Semarang, kami dimanjakan dengan hijauannya perkebunan kopi. Bukan hanya perkebunan kopi, di sana-sini terlihat pohon nangka yang mulai berbuah. Tak heran jika di jalan masuk dari jalan raya utama terdapat warung yang menjajakan buah nangka besar-besar yang menguning menggiurkan. Komoditas lain areal perkebunan itu adalah durian dan salak. Di tingkahi cericit burung, perjalanan menuju lokasi terasa adem dimanjakan perkebunan beraneka ragam.
pusat kegiatan wisata edukatif sekaligus kafe
Begitu tiba, kami disambut area kafe diantara perkebunan. Coba dulu menu khas kafe ini. Kami memilih menu khas dari Doesoen Sirap yaitu kopi arabaika dan robusta Kelir, serta nasi jagung goreng. Pengolahan kopi sebelum menjadi bji kopi siap saji di lakukan di dusun sebelum area kafe. Sementara pembibitan dilakukan di atas, diantara perkebunan kopi.
Menu nasi jagung dihasilkan oleh petani dusun tetangga. Setiap pagi, biasanya ada pedagang yang membawa dagangan nasi jagung urap khas Jawa. Sementara kafe ini hanya menawarkan nasi jagung yang diolah menjadi nasi goreng. Cobalah, dengan lauk petho goreng yang kriuk, beberapa potong telur dadar, kerupuk dan sayuran, rasanya boleh juga. Namun, untuk lidah kami yang penyuaka makanan original, nasi jagung original lebih diterima lidah ketimbang nasi jagung yang digoreng dengan bumbu.
menu utama kopi dan nasi jagung ditambah cemilan pisang dan kentang goreng membuat betah berlama-lama sembari menikmati rerimbunan kebun kopi
Bagaimana dengan kopinya? Arabika khas masamnya, sementara Robusta mantab pahitnya. Kopinya disajikan dengan botol kopi dan gelas kecil. Kadar manis bisa disesuaikan dengan selera sehingga tersedia gula di wadah kecil.
Untuk Janitra yang belum ngopi, kami pesankan coklat panas. Coklat racikan ini terasa legit coklatnya, mantablah!
Setelah puas menikmati kopi, kami pun mulai menjelajah perkebunan.. Yang demen selfi tak usah khawatir, ada beberapa spot selfi di antara perkebunan. Tracking sampai tempat pembibitan cukup membuat kami berkeringat lho. Apa lagi kalau blusukan sampai tengah-tengah kebun.
tempat ngopi di gazebo di antara perkebunan yang asri
tempat pembibitan
Sayangnya kami datang saat pohon kopi sudah dipanen bijinya. Membayangkan saat tanaman sedang berbunga, waawww… pasti indah. Menjelajah sembari menghirup wangi bunga kopi waa…sedap.
Menjelajah kebun seperti ini buat kami lebih mengasyikan ketimbang jajan dan main di mall. Salah satu cara mengasah kecerdasan naturalis anak dan menambah bonding ortu dan anak dengan mendekatkan dengan alam.
Oiya, selain ngopi di tempat, pengunjung juga bisa membeli kopi dalam bentuk biji maupun bubuk untuk dinikmati di rumah. Tertarik untuk mencoba mencicipi kopinya sambil menjelajah?