Tentang Hujan, Aku, Kamu, dan Janitra

Salah satu cara terbaik menikmati hujan adalah dengan menuliskannya.[NulisBuku]

Selarik kata-kata yang ditulis dalam satu status di jejaring sosial itu begitu menggelitik. Aku pun ingin menuliskannya, tapi apa yang bisa kutulis? Pada akhirnya, akupun mengetik:
Hujan kali ini mestinya kunikmati bersamamu… ini hujan favoritku, hujan yang liris, bulirannya jatuh menyelinap di tanah, tenang, denting di genting bukan lagi suara berisik gaduh yang membuatku gelisah. Ini hujan favoritku, tapi katamu hujan seperti ini membekukan. Kau tak menyukainya. Kau lebih suka hujan yang menderas. Hujan yang kubilang gaduh. Buliran yang jatuh seperti berkejaran untuk menjadi yang paling tajam menusuk aspal. Kau yang suka mengejar hujan, kadangkala mengajak bepergian ketika hujan hendak jatuh. “Kan pengejar hujan,” ujarmu. Entah kenapa kau lebih suka hujan yang membuatmu selalu kuyup tiap kali menjemputku.

Hujan kali ini, hujan yang mengingatkanku pada secangkir kopi yang selalu kunikmati sendiri sebelum aku menemukanmu. Hujan kali ini mestinya kunikmati bersamamu, sebab tak ada secangkir kopi di sampingku yang menemani. Sebab mauku ada kamu.
Hujan ini, adalah hujan yang menjelma dongeng ninabobo ketika ia menyapaku pada malam-malam menjelang tidur. Hujan yang tak hanya menetaskan bulir-bulir mengetuk genting hingga tercipta lagu Tik tik…Bunyi hujan di atas genting…,namun juga meneteskan kata-kata di benakku ketika gerimis masih mengiris malam yang kian larut, sebuah puisi:

Derai-derai yang turun menjelma bait-bait liris
malam menderasnya
membisikannya lirih di telingaku…
Sementara gemericik arus parit samping rumah
menghanyutkan perahu
aku mendayungnya sendiri tanpa nahkoda
melayari mimpi

Ya, hujan sore ini, di sini irama itu masih saja mengalun. Bagaimana di sana? Masihkah menirai pekat dan menghalangi pandang matamu, menahanmu untuk segera datang? Atau telah menjelma rinai? Ataukah malah sama seperti di sini, hingga kau menjadi beku dalam laju?

Apapun itu, aku masih menunggumu di sini… bersama hujan yang menyisakan kecipak pada kerikil-kerikil di depan pintu….

***
Ah, itu larik-larik yang kutulis dua tahun lalu, ketika hanya aku dan kamu yang mencintai hujan dengan bentuknya sendiri-sendiri.
Menunggumu di tepi hujan dalam gelisah, sekarangpun hampir tiap sore aku melakukannya. Namun kini, aku tak sendiri menikmati hujan dan menunggumu. Ada Janitra, gadis kecil kita di sisiku.
Ada peribahasa, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Janitra mewarisi kesukaan kita terhadap hujan. Eh, apakah memang mewarisi ataukah setiap bocah pada fitrahnya mencintai hujan, menyukai air? Entahlah, Janitra yang gemar mendendangkan lagu Tik Tik Bunyi Hujan itu pun begitu suka memandang hujan dari balik jendela kamar kita. Imajinasi apa yang saat itu menari di benaknya? Kalau saja ia sudah mempu mengungkapnya dengan fasih setiap tanya, barangkali ia akan menumpahkan isi kepalanya serupa hujan yang menderas.

Image4705

menikmati hujan dari jendela kamar

Adakah pertanyaan di benaknya sama dengan tanda tanya yang bersemayam di kepalaku sewaktu bocah dulu? Masih lekat dalam ingatan, salah satu tanda tanya terbesarku tentang hujan itu adalah kenapa bulir-bulir hujan yang jatuh itu tak bisa kulihat langsung dari atas sana, keluar dari langit, tapi tiba-tiba saja datang bergaris-garis di atas rumah atau diantara dedaunan pohon?
Pada akhirnya, pertanyaan itu kutemukan sendiri jawabnya seiring kedewasaanku. Begitupun Janitra, semua pertanyaanya pasti akan bermuara pada saatnya kelak. Atau ketika kata-kata semakin tajam keluar dari mulutnya,pastilah ia akan menumpahkannya padaku atau padamu…

Tulisan ini diikutsertakan dalam A Story of Cantigi’s First Giveaway

hujan

2 pemikiran pada “Tentang Hujan, Aku, Kamu, dan Janitra

Tinggalkan komentar