Aku dan FLP, tema lomba itu begitu mengusik saya. Bagaimana tidak, saya pernah begitu dekat dengan buku FLP di masa akhir kuliah saya. Saya harus mengikuti lomba ini, tekad saya walaupun kemudian saya tidak serta merta menulis. Tema lomba ini kemudian membuat saya membuka lembar-demi lembar perjuangan studi saya selama 4 tahunan. Beruntung saya memiliki buku harian yang menyimpan kisah keseharian. Lebih-lebih masa kuliah adalah masa yang tidak pernah alpa saya catat.
Membuka lembar-demi lembar buku tulis yang saya pakai sebagai diari membuat saya kembali ke masa-masa penuh perjuangan 10 tahun silam. Masa-masa gelisah menjelang akhir studi. Gelisah ketika waktu untuk menulis tugas akhir tiba. Ada perbenturan antara idealisme diri ketika menentukan objek penelitian, keinginan segera menuntaskan studi, dan tentu saja perbedaan pendapat dengan dosen pembimbing.
8 Januari 2006
Saya menganggapnya sebagai mimpi buruk. Ketika menghadap ketua jurusan, saya belum siap dengan nama dosen yang akan saya pilih sebagai pembimbing. Saya ikut-ikutan dua teman yang siap karena saat itu ingin segera cepat selesai urusan. Gugup tentu saja, kaget ketika pertanyaan itu dilontarkan, siapa dosen yang dipilih? Saat itu benar-benar blank! Kepepet, mulut saya tanpa komando menyebut nama pak Faruk sebagai dosen pembimbing. Bukan rahasia kalau Dr. Faruk H.T saat itu sedang tertarik dengan novel-novel FLP. Barangkali beliau sedang meneliti fenomena novel FLP kala itu. Otomatis saya akan diminta memakai novel FLP.
Ada rasa kecewa dalam hati. Mulanya, saya ingin memakai novel favorit saya dengan analisis strukturalisme genetik. Kata beliau, teori itu bakalan lama. Cari yang cepat selesai. Strukturalisme saja belum becus kok mau pakai strukturalisme genetik. Saya tak bisa mempertahankan idealisme sebab saya ingin cepat selesai kuliah.
Rasa sesal menghantui, mengapa saya tidak memilih dosen lain sehingga berkesempatan memakai novel favorit yang selama ini saya gadang-gadang, novel yang sudah saya pakai dalam mata kuliah seminar.
Mengesampingkan rasa sesal, maka saya mulai mencari-cari novel FLP yang sesuai dengan keinginan. Saya begitu menyukai novel dengan lokalitas, maka novel semacam itu yang harus saya jadikan objek. Maka mulailah saya diskusi, tanya sana sini novel apa yang kira-kira masuk pilihan saya.
Seorang adik kelas merekomendasikan novel Setitik Kabut Selaksa Cinta dengan latar budaya Jawa. Sorenya saya mencari novel itu di toko buku. Belum selesai membaca novel itu, lagi-lagi rasa sesal mengusik. Mengapa harus novel ini, bukan novel favoritku? Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta belum sesuai dengan horizon harapan saya dari sisi lokalitas.
Rasa sesal kian bertambah. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus mengusik. Kadang rasa frustasi pada keadaan membuat seseorang menggugat. Sampai pada satu titik saya menepis segala pertanyaan itu dengan jawaban bahwa itu adalah yang terbaik bagi Allah. Saya pun menulis perenungan itu di buku harian,
Aku tahu ini yang terbaik bagiku. Aku tahu dan merasa pasti ada hikmah di balik ini semua. Allah lah yang menggerakkan aku untuk memilih Pak Faruk sebagai pembimbing. Semua sudah ditetapkan-Nya. Aku berusaha bersabar dan ikhlas walau sulit.
Inilah jalan yang ditunjukkan Allah. FLP adalah forum dakwah yang diridhoi Allah. Dengan menganalisis novel FLP, aku bisa sedikit berdakwah. Inilah ladang dakwahku. Allah telah memberiku jalan di mana aku dapat mengabdikan diriku di jalan-Nya. Inilah kesempatan yang diberikan-Nya. Dengan menggarap skripsi novel Islami, aku bisa mengangkat karya-karya itu, bisa memperkenalkan kepada kaum akademia yang belum kenal karya-karya itu.
Pemikiran itu kian bertambah kuat saat aku membaca bagian novel Setitik Kabut Selaksa Cinta: tentang cinta, melakukan sesuatu dengan sepenuh cinta karena-Nya. Kemudian aku menengok ke dalam diriku hatiku sendiri. Bukankah selama ini aku ingin melakukan sesuatu dengan dasar cinta kepada Allah? Kenapa tidak kali ini?
Proses pencarian novel yang pas di hati terus berlanjut. Diskusi dengan kakak kelas, saya diberi gambaran tentang novel Asma Nadia, Derai Sunyi. Maka mulailah saya membeli dan membaca novel itu. Lagi-lagi belum berjodoh :D. Novel itu terlalu dramatis dan bahkan jauh dari ‘kriteria’ saya.
Hingga suatu hari di perpustakaan, bertemu dengan adik kelas yang cukup dekat, saya ungkapkan segala keluh kesah saya. Rupanya ia memahami apa yang saya cari. Ia bercerita tentang novel Putri Kejawen karya Novia Syahidah yang dimuat bersambung di Annida. Inilah yang saya cari!
Pulang kuliah, ada yang menggerakkan kaki untuk melihat novel-novel yang disewakan di Masjid Kampus. Saya melihat novel itu, novel karya Novia Syahidah. Bukan Putri Kejawen yang saya temukan, namun novel berjudul Di Selubung Malam. Melihat blurb-nya, saya jatuh hati. Warna lokal dengan permasalahan kasta, adalah hal yang sebelumnya menarik perhatian saya pada kuliah seminar. Saya putuskan meminjam novel itu. Beberapa hari berikutnya, novel itu saya dapatkan di Toga Mas. Betapa beruntungnya!
Pencarian belum selesai rupanya. Masih ada pergulatan dalam hati, sudah mantabkah saya dengan pilihan saya? Apa pertimbangannya? Mulailah saya mencari dan membaca berbagai referensi yang pada akhirnya menguatkan pilihan saya.
Mengapa Novel Di Selubung Malam?
Sebelum 1990an, karya sastra Islam di kenal lewat karya-karya Hamzah Fansuri, Hamka, Djamil Suherman, Atau Taufik Ismail. Setelah 1990-an, sastra Islam muncul lewat nama Helvy Tiana Rosa. Sastra ini kemudian dikenal dengan nama sastra Islam kontemporer. Majalah Annida disebut sebagai akar tumbuhnya sastra Islam kontemporer. Tahun 1997 terbit sebuah buku berjudul Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa. Helvy Tiana Rosa disebut sebagai pelopor sastra Islam dan keberadaannya bersama sastra Islam mulai dikenal luas sejak cerpennya, “Jaring-Jaring Merah” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Horison. Kemunculannya dengan sastra Islam segera diikuti oleh penulis-penulis muda lainnya, terutama yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena. Dari sekitar 5000 anggota FLP ketika saya menulis skripsi, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 di antaranya menulis secara aktif di media. (www.forumlingkarpena.org)
Helvy Tiana Rosa sebagai pelopor karya sastra Islam kontemporer membedakan genre sastra ini dengan genre yang lain dengan ciri-ciri sebagai berikut, sastra Islam tidak melalaikan pembacanya dari dzikkrullah. Pembaca akan diingatkan pada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. Kedua, sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani antarinsan, lain jenis, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun. Sebuah karya tidak bisa dikatakan Islami hanya karena mengambil latar pesantren, mengetengahkan tokoh-tokoh ulama, dan menampilkan ritual-ritual keagamaan. Pengarang, kehidupan, Islam, dan karyanya menjelma dalam satu kesatuan.[i]
Sementara Sunarwoto Progo Laksono mengajukan beberapa opsi tentang karya sastra Islam. Pertama, sastra Islam adalah karya sastra yang menampilkan persoalan (tema) dan latar dunia Islam, tidak hanya dalam konteks Indonesia, melainkan dunia secara universal. Kedua, sastra Islam adalah sastra yang menampilkan tokoh-tokoh Islam. Para tokoh utamanya adalah orang-orang Islam yang berjuang atau memperjuangkan keislamannya. Ketiga, para penulisnya adalah orang-orang Islam yang berjuang demi Islam.[ii]
Para penulis sastra Islam memiliki organisasi kepenulisan yang menaunginya, ialah Forum Lingkar Pena. FLP merupakan sebuah komunitas kebudayaan yang merepresentasikan identitas kultural keislaman sehingga wacana keislaman menjadi garapan pertama organisasi ini. FLP yang lahir pada 22 Februari 1997 dengan pioneer utama Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainah, kehadirannya sangat fenomenal. Organisasi yang telah memiliki cabang hampir tiga puluh propinsi dan di manca negara, selama hampir delapan tahun pertama telah menerbitkan lebih dari empat ratus buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja, dan cerita anak. (www.forumlingkarpena.org)
Koran Republika dalam www.helvytianarosa.com menulis FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer di Indonesia. Karya-karya FLP telah mendapat perhatian dan penghargaan dari peminat sastra.
Salah satu pengerang perempuan FLP yang karyanya dianalisis dalam skirpsi saya adalah Novia Syahidah. Sesuai dengan visi keislaman dari organisasi yang menaunginya, karya-karya Novia Syahidah pun sarat dengan nilai-nilai keislaman dan nilai dakwah. Pengarang yang lahir di Payakumbuh, 7 Desember 1973, ini mulai menekuni penulisan fiksi sejak 2002. Karya pertamanya Putri Kejawen (Pustaka Annida, 2003) ,merupakan novel dengan latar budaya Jawa yang sebelumnya dimuat dalam majalah Annida sebagai cerita bersambung. Novel selanjutnya, adalah Titip Rindu Buat Ibu (Dar Mizan,2003) dengan latar Minangkabau tahun 1927, Mengemas Rindu (Lingkar Pena Publishing House, 2003), dan Bayangan Lenggini (Syaamil, 2005).
Selain dalam novel, keterkaitan Novia pada “lokalitas”, tema etnis,dan budaya diungkapkannya dalam buku antologi cerpen berjudul Gadis Lembah Tsang Po (Asy Syaamil, 2003). Buku tersebut memuat Sembilan cerpen dengan latar tempat dan budaya yang beragam, seperti NTB, Lampung, Thailang, Somalia, Vietnam, dan Tibet. Cerpen pertama Novia Syahidah termuat dalam buku Dari Negeri Asing (Asy Syaamil, 2002). Dalam buku tersebut, cerpennya yang berjudul “Pasangka Ki Rajang” dengan latar Bulu Kumba abad 20 menjadi nominator katageri sastra dalam Lomba Cipta Cerpen Islami FLP tingkat nasional. Selain buku tersebut, buku yang memuat kumpulan cerpennya adalah Berlalu Dalam Sunyi (Zikrul Hakim, 2004). Cerpen-cerpennya yang lain terkumpul dalam beberapa buku antologi cerpen, antara lain: Bulan Kertas, FBA Press, 2002), Mengetuk Cintamu (Senayan Abadi, 2003), From Batavia With Love (Asy Syaamil, 2003), Surat Untuk Abang (Senayan Abadi), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, 2003) yang ditulis bersama 15 cerpenis muslim seperti Asma Nadia, Ahmadun Yosi Herfanda, Gola Gong, Yus R Ismail, Isabedy Setiawan ZS, Irwan Kelana, dan lain-lain , PEri Surat Cinta (Lingkar Pena Publishing, 2005). Buku Sebuah Janji untuk Istriku (Lingkar Pena Publishing House, 2005) berisi dua novelet yang masing-masing ditulis Novia dan suaminya, Arul Khan. Selain itu, antologi penulis yang juga memuat karyanya adalah How To Get Married (Mizan, 2005)
Novel Di Selubung Malam merupakan novel dengan muatan budaya suku Sasak di Lombok. Selama ini, Indonesia memiliki beberapa penulis yang mewakili kawasan Timur Indonesia, seperti Riyanto Rabbah, Imtihar Taufan, Kongso Sukoco, Reko Wardono, Putu Arya Tirthawirya, N. Marewo, Maria Matilda Banda, Gerson Poyk. Novia Syahidah ikut menyemarakkan dunia fiksi yang mewakili dunia timur, namun ia menulis novelnya dengan perspektif “orang luar” dalam memandang persoalan daerah lain yang jauh di luar jangkauan keakrabannya. Ia mengangkat persoalan system kelas pada tingkatan-tingkatan gelar kebangsawanan Lombok dan permasalahan-permasalahan yang kemudian menyertainya.
Kemampuan Novia dalam mengangkat persoalan itu ke dalam novel dihargai juri yang antara lain terdiri dari Taufiq Ismail, Gola Gong, Pipit Senja, dan Koesmarwanti sebagai Novel Remaja Terpuji Anugrah FLP tahun 2005 setelah pengarangnya terpilih sebagai Pengarang Pemula Terbaik FLP 2003. meskipun novel tersebut mendapat penghargaan dengan kategori novel remaja, namun Joni Ariadinata dalam pengantar novel Di Selubung Malam mengemukakan bahwa Novia Syahidah telah berproses keluar dari gaya kepenulisan popular menuju kea rah mutu tulisan yang lebih berbobot sastra. Dalam novel-novel yang ia tulis, Novia tidak hanya mementingkan kemasan dengan komunikasi yang lancer/ringan sebagaimana karakteristik karya-karya popular pada umumnya, tetapi juga mulai berpikir tentang isi sebagai prasyarat bagi sebuah kategori karya sastra yang bermutu.
Isi sebagai prasyarat sebuah karya sastra yang membedakannya dengan novel popular menurut Stanton (1965:8) adalah karya fiksi dapat membuat pembaca menukmati waktu luangnya, membayangkan tempat-tempat asing yang penuh petualangan, berbagi rasa dengan tokoh-tokohnya, membuat pembaca mengerti problem moral dan etika, menikmati ketrampilan pengarang, dan belajar memahami falsafah hidup yang berbeda dengan yang telah dijalaninya. Berbeda dengan karya sastra, karya fiksi popular hanya menawarkan tiga hal yang pertama dikemukakan Stanton tentang isi sebagai prasyarat sebuah karya sastra. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Joni Ariadinata maka novel karya Novia Syahidah menawarkan tiga pengalaman yang menurut Stanton tidak didapatkan dari novel popular. Sesuai dengan misi organisasi yang menaunginya, Novia menawarkan sebuah nilai agama (dakwah)sebagai isi melalui unsur-unsur dalam novelnya. Selain itu Joni mengemukakan bahwa Novia mengalami proses penulisan menuju karakteristik tulisan sastra sehingga ia telah berproses dalam menyampaikan dakwahnya lewat novel bukan menjadikan novelnya sebagai dakwah yang menggurui pembacanya. Hal ini yang menjadi pertimbangan pertama mengambil novel Di Selubung Malam sebagai objek penelitian skripsi.
Kedua, selama ini belum ada penelitian yang mendalam tentang novel Di Selubung Malam. Dua tulisan yang dijumpai penulis waktu itu adalah tulisan berupa resensi oleh Rahmadiyanti yang dimuat dalam unofficial Site FLP dan ulasan berjudul “Dari Joni Ariadinata: Mutiara dari Timur” oleh Joni Ariadinata dalam novel DSM. Dalam resensinya, Rahmadiyanti mengulas latar novel dan menyinggung sedikit tentang nilai local dan konflik yang menarik dari novel itu sedangkan Joni Ariadinata mengulas warna lokal yang terkandung dalam noveld an alurnya. Menurut Joni, kekuatan Novia dalam novel itu terletak pada kemampuannya dalam mengemas novel dengan gaya ringan, tidak terbelit-belit yang menunjukkan Novia menguasai teknik bercerita. Kerumitan-kerumitan konflik digarap penulis dengan teknik penggabungan alur mundur dan alur maju yang rapat. Ketegangan demi ketegangan dibina terus dari awal hingga akhir dengan lembut.
Untuk menganalisis novel DSM saya menggunakan teori yang diperkenalkan Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction (1965). Teori ini dipergunakan untuk menganalisis fakta cerita, tema dan sarana sastra novel DSM. Stanton dalam bukunya mengemukakan bahwa untuk memahami pengalaman yang diceritakan, pembaca harus mengerti fakta cerita dan tema sebagai unsur-unsurnya, dan untuk melihat bagaimana unsur-unsur dapat mencapai maknanya maka dapat dianalisi melalui sarana sastranya.
Akhirnya…
Mantab menentukan pilihan novel itu, maka dimulailah perjuangan suka duka menulis hasil membaca dan menganalisis, menjalani proses bimbingan yang melelahkan dan penuh kejutan. Mendapati berbagai penemuan yang tak disangka sehingga membuat diskusi dengan dosen berjalan seru. Belum lagi ‘mengejar’ dosen yang kadang menghilang untuk bimbingan. Segala rasa itu nano-nano dan berujung manis serta syukur. Pada akhirnya saya merasa bangga dibimbing oleh dosen yang kini telah professor itu. Berada di ruang sidang dengan jawaban mantab atas pertanyaan-pertanyaan penguji yang tidak bertele-tele. Semuanya berakhir dengan hasil yang tak pernah saya duga. Nilai yang memuaskan dan pengalaman luar biasa, berporses bersama novel FLP. Februari 2007, dengan jeda menjalani KKN Peduli Gempa, saya akhirnya wisuda dengan syukur yang membuncah.
Catatan Kaki
i. Helvy Tiana Rosa, “Sekali Lagi Tentang Sastra Islami”,Annida No. 1 Th. X 27 September 2003,hal. 37.
ii. Sunarwoto Progo Laksono, “Menandai Kebangkitan Fiksi Islami”, Republika, 23 April 2003, hal. 8
Ket: kutipan dari web FLP yang saya cantumkan sumbernya saya akses ketika FLP masih beralamat di alamat yang saya tulis 10 tahun silam ketika menulis skripsi