Buku-Buku Sahabat Beradaptasi

Kelas 5 SD, sekitar 1995, seorang siswa baru menjadi teman sekelas. Ia putri seorang camat yang memerintah tempat tinggal kami. Tentu, untuk siswa baru, ia perlu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Naik ke kelas 6, entah bagaimana caranya, kami bisa satu kelompok. Karena saat kelas 5 kami sebatas saling tahu, dimulailah perkenalan dan saling beradaptasi. Bertandang ke rumahnya, saya dan teman sekelompok dibuat kagum pada koleksi buku-bukunya. Inilah perkenalan saya dengan Gramedia yang lebih intens. Sebelumnya saya mengenal Gramedia lewat serial Lupus yang membuat terkikik.

 Saya dibuat penasaran dengan petualangan Lima Sekawan, STOP, dan Trio Detektif.  Buku-buku itu membuat saya dan satu teman lebih rajin main ke rumahnya. Bukan untuk belajar namun pinjam dan mengembalikan. Satu hari pinjam kemudian selesai satu petualangan lanjut ke petualangan lain. Begitu seterusnya. Tak terasa buku-buku itu membuat adaptasi kami berjalan saja secara alamiah dan tahu-tahu kita satu kelas lagi di bangku SMP. Di pertengahan kelas 2,  ia harus kembali ke lingkungan asalnya karena tugas ayahnya di kecamatan kami selesai. Ia meninggalkan satu kenangan berupa kesenangan baca yang mengakar pada diri saya.

Babak baru buat saya ketika harus beradaptasi adalah ketika masuk di bangku kuliah di Yogyakarta. Perpustakaan menjadi pelarian saat harus bergelut dengan perasaan jauh dari keluarga. Rasa sepi di kost terisi dengan novel-novel, sebut saja Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Trilogi Jendela Atap Pintu karya Fira Basuki dan banyak buku lain. Lulus kuliah, kerja, dan menikah saya kembali beradaptasi.

Yang berat adalah masuk ke lingkungan baru dan kehidupan baru yang akan menjadi bagian hidup saya selamanya. Masa-masa awal menjadi hal yang berat. Masih saya ingat, buku Agustinus Wibawa berjudul Garis Batas berada di tangan sementara saya belajar mengenal keluarga baru. Di depan televisi mereka menyimak dunia dari kotak ajaib sementara saya berkelana bersama Agustinus. Kami saling menyelami karakter masing-masing dengan cara kami sendiri. Petualangan luar biasa Agustinus di Afganistan dan negara-negara ‘stan’ yang lain,  menemui dan menyelami kehidupan masyarakat lokal membuat saya berayukur. Hidup saya tidak ada apa-apanya dibanding segala keterbatasan dan ketakutan para penduduk di daerah konflik dan perang berkepanjangan.

Sembilan tahun menikah pandemi Covid 19 menerjang dunia. Kami harus berdiam di rumah. Lagi, buku-buku menjadi teman kami. Babak baru seolah menyapa, pandemi membuat perubahan berbagai sendi kehidupan, yang nyata adalah ekonomi. Hidup menjadi serba dibatasi. Bagaiamana caranya, kami harus mengencangkan ikat pinggang.

Ada ambiguitas yang saya rasakan. Ketika hidup dituntut untuk bisa berhemat,namun perdagangan online seperti memborbardir hidup. Setiap detik, tawaran berbagai barang datang. Pasar berada di genggaman. Kita seolah-olah membutuhkan barang-barang  tersebut sebab tampilan iklan begitu menggoda, tawaran harga murah.

Terasa sekali ketika wfh penuh  berakhir dan saya masuk kerja. Kantor tempat saya bekerja tak jauh dari ‘pasar’. Beberapa teman adalah pelapak online. Dari fashion, skincare hingga makanan dan kebutuhan sehari-hari.   Perbincangan seputar fashion, skincare, dan tawaran  barang menjadi perbincangan sehari-hari. Sebagai pedagang mereka berhak menawarkan barang. Tidak jadi masalah.

Namun, mendadak saya merasa tidak satu frekuensi dengan teman-teman. Untungnya, saya sudah punya mind set, tak butuh tak usah beli. Hidup minimalis yang belakangan santer lewat setidaknya mempengaruhi saya. Saya sangat terinspirasi dan dikuatkan oleh kehadiran buku Gaya Hidup Minimalis.

Buku ini tidak sekedar mengajak berbenah namun lebih dari itu, memulai dengan mengubah mind set terhadap barang. Buku yang terdiri dari 4 bagian ini dimulai dengan Dasar Pemikiran. Bagian inilah yang begitu mengena dan paling saya sukai. Banyak hal  dipaparkan  yang membuat saya mengangguk-angguk dan membuka pikiran tentang kepemilikan barang, lebih-lebih di masa pandemi yang segalanya harus diperhitungkan.

Ada banyak sekali barang yang sudah dimiliki atau ingin dimiliki, tidak saja memenuhi tempat, namun lebih dari itu membuat pemiliknya membuang banyak energi, waktu,dan biaya dalam perawatannya. Barang-barang itu begitu mengikat pemiliknya; barang-barang yang tidak seberapa manfaatnya dan pemakaiannya di rumah. Barang-barang seperti itu pula yang sebenarnya sering ditawarkan dan menarik untuk dibeli.

“Sebenarnya, diri diri kita tak bisa diubah oleh produk apapun. Kosmetik mahal tidak akan menjadikan kita model terkenal. Peralatan berkebun mahal tidak akan menjadikan kita tukang kebun andal,kamera canggih tidak akan menjadikan fotografer berprestasi. Namun tetap saja kita merasa ingin membeli dan menyimpan baran yang mengandung semua janji itu”(hal.11).

Kadangkala, saya mengakui, mendapati linkungan yang begitu konsumtif ada pengaruhnya. Ada lintasan di benak, kalau aku pakai itu, aku akan terlihat lebih ini dan itu tidak ya? Namun, sekali lagi, mind set untuk lebih kembali belajar miminalis menguatkan.

“Menerapkan hidup minimalis berarti melawan keinginan untuk menghadirkan dunia luar di dalam rumah kita sendiri.”(hal.37).

Masa pandemi juga memaksa berpikir dan berbuat yang lebih ‘ringkas’. Melihat barang-barang yang terbelengkelai di rumah, ingin rasanya meringkus barang-barang yang tidak begitu manfat. Lalu bagaimana dengan barang yang sudah terlanjur terbeli?

Ada metode STREMLINE dalam buku ini yang akan memandu step by step mengubah mind set hingga berbenah di rumah mulai dari hal sederhana. Harapannya setelah semua langkah dilaksanakan,ada kebebasan dengan memiliki sedikit barang. Sedikit barang=merdeka. Belajar dan berproses menjadi ‘merdeka’ ini yang akan menjadi proses sepanjang waktu.

Prinsip-prinsip yang saya dapatkan dalam buku Gaya Hidup Minimalis ini menguatkan saya untuk bisa melawan keinginan dan memilah mana keinginan dan mana kebutuhan, mana hal-hal yang perlu dipikirkan mana hal-hal yang menjadi ‘sampah’.

***

Di kantor, saya terbilang generasi lama  namun seoalah saya yang harus beradaptasi. Selama saya memiliki prinsip yang saya pegang, semua akan baik-baik saja. Zaman serba cepat berubah. Mungkin saya merindukan teman-teman dan masa ketika fashion, skin care, dan gosip-gosip artis yang viral tidak menjadi topik perbincangan yang hangat  di kantor.                

Namun, bukankah sepanjang hidup manusia, adaptasi menjadi keniscayaan

#2018GantiLaptopASUS, ASUS Vivobook Flip TP410 Pilihan Terbaik

“Semoga kamu baik-baik saja,”ujar saya sembari melipat si hitam sahabat saya, ASUS eee pc 1015p Netbook 10 inci ini. Selama lima pekan mengikuti PPGdJ (Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan) di Universitas Bangun Nusantara Veteran Sukoharjo, si hitam ini adalah keluarga yang saya bawa. Saya meminta kepada Allah agar dimudahkan, si hitam sehat.

Mengapa saya berdoa seperti itu, apakah karena saya khawatir netbook saya ngadat ketika diajak bekerja? Bukan karena itu, tapi justru sahabat saya itu sudah sekian lama menemani saya. Februari 2011  saya membeli. Suka duka bersamanya. Beragam perkerjaan  dirampungkan bersama si hitam ASUS. Sebagai bendahara BOS, laporan-laporan BOS sekolah rampung berkat bantuan ASUS. Perjalalan belajar menulis saya dari multiply hingga wordpress sekarang ini semua terekam jejaknya oleh si ASUS. Beberapa antalogi dan  lomba blog yang saya menangkan, si hitam ASUS jugalah yang menemani.

Tujuh  tahun lebih bersama, saya bangga memamakainya. Saat teman kerja sudah dua kali ganti netbook, di tengah keluhan teman-teman karena keybordnya begini begitu sehingga harus ganti, atau karena ngadat, sahabat ASUS tetap bandel. Bahkan peristiwa yang saya anggap besar adalah meluncurnya si ASUS dari meja ketinggian 1 meter  di tahun  2014. Pyaarr…. baterainya lepas dan hampir patah jadi dua. Pojok monitornya sedikit cuil. Hampir menangis saya mendapati netbook saya. Saya mengira, riwayatnya habis malam itu ketika tersenggol tangan dan meluncur. Saya ingat data-data saya, laporan BOS yang hanya saya simpan di sana, cerita-cerita dan foto-foto perjalanan. Byak… setelah dihidupkan ia baik-baik saya.


img-20180130-wa0025_15173228453561.jpg

meskipun sedikit cuil di pojok (terlihat ‘kan sedikit berongga?) tetap bandel dipakai 

Peristiwa kedua adalah ketika saya sibuk dengan pembelajaran daring sepekan sebelum saya berangkat PPGdJ bulan lalu. Mengira bahwa  charger sudah saya cabut dari netbook, saya tarik kabel untuk digulung. Byar, lagi-lagi si ASUS jatuh karena  tertarik. Kabelnya masih menancang pada netbook. Degh, saya teringat nasib pembelajaran jarak jauh saya yang hampir berakhir dan dilanjutkan kuliah tatap muka dengan si ASUS sebagai senjata utama. Alhamdulillah, saya makin bangga. Si ASUS  sudah teruji bandel dan kualitasnya. Pembelajaran saya tetap lanjut dan hari ini saya mengikuti lomba ini di sela-sela kuliah PPGdJ masih dengan si ASUS eee pc 1015p Netbook 10 inci ini.

a ppdgj

suasana kelas PPGdJ. Teman-teman di belakang juga pakai laptop ASUS

Fokus pembelajaran zaman sekarang, kurikulum 2013, adalah pembelajaran abad 21 dengan literasi digital sebagai topik utama. Dalam perkuliahan, saya membuat perangkat-perangkat pembelajaran dengan metode pembelajaran yang akan saya terapkan di kelas nanti. Pembelajaran dengan multimedia, dengan internet sebagai sumber belajar, dengan video pembelajaran adalah salah satu media,  laptop  alat utama yang  digunakan. Itu sebabnya peran pendukung netbook atau laptop sangat urgent. Lebih-lebih, dalam ujian kinerja saya nanti, diharuskan rekaman pembelajaran yang harus diunggah setiap pekan. Dosen sudah memberikan program Camtasia untuk mengedit video sesuai syarat yang diminta RISTEKDIKTI. Netbook saya yang sarat muatan masih sanggup menampung program itu. Namun bagaimana kedepannya?

Tantangan zaman dan pembelajaran abad 21 yang akan saya hadapi tentu membutuhkan laptop dengan performa prima. Belum lagi dosen muda lulusan teknologi pendidikan yang masuk dengan materi media pembelajaran berbasis IT kemarin sudah mengiming-imingi pembuatan media pembelajaran interaktif yang akan menarik siswa. Tidak  hanya video pembelajaran, namun beragam inovasi media berbasis IT seperti permainan edukatif dan lain sebagainya. Tentu konten seperti itu harus dibuat dengan laptop mumpuni.

Jangan bayangkan guru zaman sekarang seperti guru zaman dulu yang hanya berdiri di depan kelas berceramah. Tidak. Guru sekarang dituntut merencakan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan membuat siswa kreatif, inovatif,  dan berpikir kritis.  Kurikulum 13 adalah kurikulum berbasis pembelajaran abad 21. Mengkikuti perkembangan teknologi saat ini adalah keniscayaan.  Saya harus presentasi di depan siswa, siswa pun harus berlatih presentasi dengan alat canggih sesuai kebutuhan zaman.

abad21b

pinjam gambar dari sini

Sudah saatnya saya berganti lapotop. Itu harapan utama saya. Berdoa ketika ada rejeki ( atau menang lomba ini :D)  laptop baru adalah kebutuhan. #2018ganti LaptopASUS.  Untuk pilihan laptop, tentu ASUS adalah pihan pertama dan terakhir. Harus ASUS yang sudah terbukti kualitasnya selama hampir 8 tahun menemani saya. Kalau teman-teman bilang, sudah saatnya saya ganti laptop. Untuk itu, saya ingin laptop ASUS Vivobook Flip TP410. Mengapa yang ini?

  1. Tipis dan ringan. Bobot 1,6 kg dengan layar 14 inci tentu cocok dengan saya yang seorang angkoter. Berangkat pergi kerja selama 20 menit menempuh perjalanan naik angkot, kadang naik turun berganti angkot. Ketebalan yang hanya 1,92 cm tentu sangat tipis dan tidak memakan ransel yang seperti kantong doraemon karena semua barang masuk. Maklum sebagai guru banyak bawaannya. Kelebihan itu juga menguntungkan saya ketika diajak beragam pelatihan dan bimtek seperti saat ini.Asus 2
  2. NanoEdge Display. Dengan layar yang maksimal dan body yang minimal tentu bisa memaksimalkan kinerja dan membuat segala konten akan terlihat maksimal di layar.
  3. Fingerprint sensor. Saya pernah melihat seorang teman di pelatihan yang begitu sigap dan cepat membuat perangkat karena ada vitur ini dalam laptopnya. Ini memang kebutuhan saya. Tinggal set-set sentuh layar apa yang saya cari akan cepat terakses. Laptop yang sudah sign in ke Windows 10 ini tentu akan juga akan meningkatkan keamanan. Kita tahu, bahwa anak-anak SD, terutama siswa saya, adalah siswa yang superaktif dan tipe kinestetik. Dengan rasa ingin tahunya yang tinggi dan tangannya ingin menyentuh apa yang mereka lihat tidak akan membuat saya khawatir laptop saya akan error 😀Asus
  4. Empat  mode yaitu media stand, powerful laptop, responsible tablet, dan share viewer akan menguntungkan bagi saya dalam menggunakan ini dalam segala situasi. Di kelas saat presentasi maupun di rumah untuk sekedar membaca-baca dengan tampilan tablet semua didukung oleh ASUS Vivobook Flip TP4104-mode-tampilan-vivobook-flip-tp410

 

Nah, berbagai kelebihan itu semakin membuat saya mengincar ASUS Vivobook Flip TP410 untuk #2018gantiLaptopASUS. Semoga menjadi rejeki saya sehingga kinerja saya sebagai guru semakin maksimal dengan dukungan laptop mumpuni.

vivobook-flip-TP410-blog-competition

Tulisan ini diikutkan dalam ASUS Laptop Blog Comptetition By www.uniekkaswarganti.com

ASUS: Si Hitam Bandel yang Tak Membuat Kecewa

Februari 2010

Keputusan untuk membeli netbook semakin bulat. Sebagai guru, saya membutuhkan netbook untuk membuat segala administrasi pembelajaran, dari perangkat pembelajaran hingga  penilaian. Sebagai seorang yang sedang belajar nulis saya membutuhkan alat ketik cerita. Saya butuh menyimpan segala ide dan menuliskannya, juga belajar mengirimkan ke beberapa media. Kala itu, banyak juga audisi menulis yang  berbuah buku antologi menulis. Sebagai blogger pemula, saya sedang getol-getolnya ngeblog dan belajar dari kampung Multiply yang waktu itu masih eksis.

Tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja menjatuhkan pilihan pada netbook yang kecil dan enteng.  Atas rekomendasi seorang teman yang mengerti benar akan teknologi, saya memilih ASUS eee pc 1015p. Netbook 10 inci ini terasa pas di ransel dan tak meganggu mobolitas saya.

Di hitam manis itu untuk selanjutnya menemani hari-hari saya beraktivitas. Dia sudah menjelma soulmate saya, menyimpan segala ide dan cerita-cerita acak adut saya. Sudah beberapa cerita yang dengannya cerita saya ikut dalam buku antologi cerita. Si hitam ini juga menjadi saksi bagaimana kehangatan aktivitas ngeblog bersama Mpers. Cerita suka-duka, kopi darat, juga berbagai perlombaan blog yang saya menangkan maupun sekedar saya ikuti.   Hingga patah hati ketika Multiply tutup dan ASUS jugalah yang menjadi saksi kepindahan saya dari Multiply ke WordPress.

Ia menyimpan puluhan foto perjalanan saya dari saya jomblo hingga berkeluarga dan berputri satu. Perkembangan anak saya dari bayi ceprol hingga kini masuk usia sekolah terekam dan tersimpan dalam netbook ini.

Di sekolah, si Asus ini menemani akting saya di depan kelas. Lewat berbagai video yang saya putarkan dan saya sambungkan di LCD si Asus mendukung kesuksesan saya mengajar.  Bahan mengajar, perangkat pembelajaran, laporan-laporan  BOS yang melelahkan semuanya tersaji dari netbook ini.

mengerjakan laporan BOS dengan si hitam kesayangan 

 

Belum lagi ketika saya mengikuti kuliah UT, si hitam manis ini pendukung nomer satu.  Segala tugas kuliah, laporan, dan presentasi saya sukses dengan bantuan si ASUS, bahkan hingga  saya mendapat gelar memuaskan.

Perjalanan bersama ASUS tentu tak selamanya mulus. Bebrapa kalai si ASUS mengalami sedikit-sedikit kerusakan. Saya tidak kecewa karenanya. Ia si bandel yang tak patah oleh kerusakan kecil. Sedikit sentuhan dari tukang servis akan mengobati lukanya.

Jantung saya hampir copot ketika si hitam kesayangan ini jatuh dari meja setinggi perut saya. Pyaarr…. batrenya lepas dan hampir patah jadi dua. Pojok monitornya sedikit cuil. Hampir menangis saya mendapati netbook saya. Saya mengira, riwayatnya habis malam itu ketika tersenggol tangan dan meluncur. Saya ingat data-data saya, laporan BOS yang hanya saya simpan di sana, cerita-cerita dan foto-foto perjalanan.

Screenshot_2018-01-30-20-13-57-742_com.instagram.android[1]

curhatan saya di IG (awal-awal punya IG yang masih sepi :D) saat si hitam ini jatuh

Ajaib, netbook saya masih hidup. Ini nyata. ASUS memang bandel.  Selama berbulan-bulan ke depan bahkan saya masih mempertahankan batrenya yang hampir patah jadi dua.  Saya makin sayang dengan si hitam manis ini.

Pada akhirnya, saya harus mengganti batrenya yang patah dan charger. Setelahnya, ia beberapa kali masuk bengkel, namun itu tak mengurangi kepercayaan saya pada ASUS. Ia tetaplah netbook bandel yang menemani saya mengkikuti kelas menulis online, menulis cerita anak, mengerjakan laporan BOS, dan sarana mengajar saya di kelas,memutarkan video-video pembelajaran dan motivasi untuk anak.  Gangguan-gangguan kecil  tidak mengurangi rasa sayang saya.

Januari, 2018

Muatan si ASUS makin penuh.

“Sudah saatnya ganti Bu, udah berapa tahun coba. Kalau udah dihitung, sudah berapa tuh nilai penyusutannya,” ujar teman saya yang lulusan Fakultas Ekonomi.

“Aku masih sayang, masih bisa dipakai kok,” kilah saya.

Teman-teman saya justru malah yang sering berseloroh saya harus ganti netbook.  Saya tetap setia. Di saat teman-teman lain mengeluhkan netbook dan laptopnya yang tidak mendukung kinerjanya karena terlalu sering rusak, motherboard-nya yang bermasalah, saya masih ingin bertahan dengan si hitam ini.

Tapi, melihat makin banyaknya beban yang harus disimpan dan berbagai hal yang makin banyak yang harus saya kerjakan, ganti laptop sepertinya harus dipikirkan. Kalau saya mendapat rejeki laptop baru, saya sudah pasti memilih ASUS! Berdasarkan pengalaman, ASUS sudah terbukti bandel, tahan banting, dan kualitas nomer satu. Diantara banyaknya spesifikasi dari laptop ASUS, saya ingin memilih  ASUS X555QA.

Saya tidak akan khawatir seperti teman saya yang motherbodardnya bermasalah, sebab ASUS  merupakan top 2 produsen laptop konsumen dunia dan penghasil motherboard terbaik.

X555 Black_Left Open135

ASUS X555QA diperkuat oleh prosesor AMD 10-9620p yang punya empat inti prosesor (quad core) dan grafis berbasis Radeon R5. AMD A10-9620P ini merupakan APU kelas menengah berbasis Bristol Ridge (prosesor APU generasi ke-7) dengan empat core (dua modul Excavator) dan  bekerja di kecepatan 2,5GHz sampai 3,4GHz.  Chip yang dirilis tahun 2017 ini merupakan perbaikan dari seri Carrizo dan hanya menggunakan daya maksimal 15 watt untuk bekerja. Dengan grafis Radeon R5 uang terdiri dari 384 shader core dan 6 compute core serta kontroler memori dual channel DDR4-18600, prosesor ini menawarkan performa yang lebih tinggi dibandingkan dengan FX-8800P yang merupakan versi flagship terdahulu.

 

Dengan kecepatan itu saya tak perlu takut loading lama di depan anak-anak kelas saya saat mengakses sumber belajar, mendownload sumber belajar dari internet, atau saat membuka file-file penting saat menulis. Saya juga tak perlu emosi tinggi saat harus membuka banyak sheet dan memindah-mindahkan data dari satu sheet ke sheet lain saat membuat laporan BOS.

Apalagi mulai  tahun ajaran yang akan datang saya harus menggunakan Kurikulum 13 untuk  mengajar.  Saya butuh laptop yang lebih prima dan optimal untuk menyimpan data-data nilai dan mengolahnya, menyiapkan perangkat pembelajaran, dan menggunakannya di depan kelas untuk mendukung KBM (memutar video pembelajaran dan motivasi, mencari sumber pembelajaran).

ASUS X555QG dilengkapi dengan sistem operasi Windows 10 di dalamnya. Saya tidak perlu repot membeli dan menginstalasikan terlebih dahulu sistem operasi pada notebook ini sebelum mulai menggunakannya. Saya tinggal pakai saja tanpa, jadi praktis.

ASUS X555QA memiliki performa APU yang mumpuni untuk tampilan grafis yang indah. Notebook ini juga dilengkapi dengan audio bersertifikasi ASUS SonicMaster untuk pengalaman audio yang mengesankan.  Kelebihan ini tentu sangat mendukung saya saat harus memutarkan video pembelajaran di kelas dan memberi motivasi lewat video yang seringkali berlatar belakang musik yang apik. Saat mengetik cerita, lantunan musik yang mengiringi pasti makin mantap dengan audio dari laptop ini.

X555 Black_Left Side

Konektivitas USB 3.0 pada laptop ini akan menawarkan kecepatan transfer yang jauh lebih tinggi terhadap penyimpanan eksternal ataupun perangkat input-output lainnya. Saya akan merasa terbantu sekali saat harus memindahkan data-data pekerjaan  dari flash disk maupun saat transfer foto-foto perjalanan dan aktivitas keseharian dari handphone misalnya.

 

Yang tak kalah penting lagi, karena saya selalu bermasalah dengan baterai laptop, kali ini saya tidak perlu khawatir. ASUS seri ini memiliki baterai Li-Polymer yang menawarkan keawetan hingga 2,5 kali lebih baik dibandingkan dnegan baterai silinder Li-Ion biasa. Meski telah mengalami ratusan siklus pengisian ulang, berkat teknologi ekslusif yang digunakan, baterai tersebut masih tetap mampu menyimpan setidaknya hingga 80 persen dari kapasitas aslinya saat baru dibeli. Cocok sekali buat saya yang ketika sudah asyik dengan pekerjaan sering lupa mengecek indikator baterai. Kalau sudah ngetik cerita dan draft blog, sering lupa waktu jadi  masalah.  Saya tidak perlu sering-sering nyolokin charger kan?

Sudah baterainya awet, ketika saya harus berlama-lama ngeblog atau berselancar blogwalking, googling, mencari data, membaca artikel penting, dan segala aktivitas di dunia maya yang sering melenakan, saya tidak akan merasa senut-senut.  Dengan layar  15.6″ HD 1366×768 (16:9) LED Backlit 60Hz Glare Panel with 45% NTSC ini sangat mendukung kenyamanan saat harus berlama-lama di depan layar.

 

Nah, dengan segala kelebihannya,  ASUS X555QA akan mendukung segala aktivitas saya dalam bekerja (mengajar, membuat laporan), menjadi sarana menyalurkan hobi dan belajar menulis, dan menyimpan segala foto dan catatan perjalanan keluarga saya. Jadi tak sabar, semoga saya mendapatkan laptop ini, aamiin.

 

 

*Foto dan spesifikasi ASUS berasal dari web ASUS dan press release ASUS

Artikel ini diikutsertakan pada Blog Competition ASUS AMD – Laptop For Everyone yang diselenggarakan oleh bocahrenyah.com   

Pesona Tersembunyi, dari Mongkrong hingga Sukmojoyo

Magelang, tempat saya lahir , tumbuh, dan tinggal  punya sejuta pesona yang tak habis untuk digali. Kotanya yang bersih berkali-kali mendapatkan anugerah Adipura Kencana. Keindahannya, dari kota hingga pelosok  menarik siapa saja untuk datang. Magelang tak hanya punya Borobudur yang kondang hingga mancanegara. Ada surga-surga tersembunyi yang bisa dinikmati di waktu senggang.

Sebagai wong Magelang, rasanya kok ‘katrok’  jika sampai tidak tahu tempat-tempat yang menyimpan pesona. Liburan, adalah saat yang tepat untuk melakukan eksplorasi.  Maka, di suatu pagi yang berkabut di hari libur, saya, suami, dan anak menerjang dinginnya pagi dengan motor. Motor melaju menuju daerah Borobudur.

Punya wilayah pegunungan yang mengular menjadikan Magelang punya potensi untuk mengembangkan wisata alam di ketinggian.  Di sepanjang pegunungan Menoreh, banyak titik menarik yang menjanjikan keindahan pemandangan matahari terbit.  Kalaupun  tak punya kesempatan melihat matahari terbit, ada lanskap  yang tak henti membuat  decak kagum.

Titik-titik di sepanjang Menoreh yang menjanjikan golden sunrise itu bisa diakses dari wilayah Borobudur. Untuk sampai di puncak Bukit Mongkrong, saya  tak perlu tracking  dengan ngos-ngosan seperti ketika saya naik gunung.  Dari tempat parkir sepeda motor, saya tinggal jalan kaki sebentar saja. Pengunjung yang datang bermobil, ada ojek yang siap mengantar sebab jalan menuju bukit tak memungkinkan mobil untuk naik. Meskipun saya hanya jalan sebentar saja, namun untuk  menuju lokasi parkir,  jalan sempit  terbilang  di sana waw!  Tanjakannya luar biasa bahkan ada yang menikung curam dan terbilang tak lagi mulus. Motor matic yang kami tumpangi sampai-sampai berbau gosong.  Agaknya, naik motor trail bisa menjadi pilihan yang bagus.

Mongkorong, tempat ini membuat diri tak henti berdecak kagum.  Lukisan yang dibentangkan Allah di bukit ini membuat kami betah berlama-lama di tempat ini. Negeri di atas awan tersemat juga dari tempat ini.  Dari titik-titik yang dibangun sebagai spot foto seperti gazebo, semacam dermaga dari anyaman bambu, hingga gardu pandang pada tiang  yang menempel pada pohon memanjakan saya menikmati  deretan gunung Merapi, Merbabu, dan Andong serta Telomoyo yang terlihat kokoh sebagai latar landskap pagi.

20161226_072743

Pada pagi itu, saputan kabut di sana-sini semakin mempercantik .  Di bawahnya, landskap wilayah Borobudur yang hijau dengan kotak-kotak pedusunan membuat mata tak mau beralih. Sungguh, tempat-tempat semacam ini bisa membuat hati banyak mengingat kebesaran Allah.

20161226_074047

Satu pikiran tiba-tiba melintas, hari gini untuk menikmati keindahan ketinggian bahkan matahari terbit ternyata tak perlu tracking ala pendaki gunung.  Ada banyak keindahan pagi yang tersembunyi, yang bisa didatangi tanpa menginap semalaman.  Ini bisa jadi alternatif bagi pemburu golden sunrise yang tak sempat bermalam di ketinggian.

Mongkrong  begitu  memanjakan mata sebab viewnya  luas. Tak heran jika pengunjung tak henti berdatangan pagi itu. Pengunjung harus rela antri jika ingin berfoto di top selfi ini. Saling pengertian dengan sendirinya tercipta antar pengunjung.

 

 

Merasa ngeri dengan ketinggian tapi ingin berfoto di titik yang menjadi top selfi, jangan khawatir. Ada sabuk pengaman yang disediakan di dua sisinya. Sabuk itu di kaitkan dengan bilah kawat di masing-masing sisi. Dari tangkapan kamera, tak terlalu mencolok kok sabuk itu.

20161226_075530

20161226_075613

Kalau titik yang ini memang membutuhkan keberanian. Tapi keseruan duduk diatasnya tentu akan  terbayar.

20161226_074156

20161226_075158

Dari puncak Mongkrong ini, terlihat sebuah bukit  bertuliskan Sukmojoyo Hill di sebelah kiri bawah.  Sudah sampai sini tapi tak mencoba ke sana, rasanya kurang afdol.  Puas menikmati Mongkrong, motor kembali menderu mendatangi Sukmojoyo.

Melewati jalan yang berliku, menanjak, kadang setapak  khas pedusunan, sampailah di punthuk yang  juga merupakan tempat peziarahan.  Punthuk ini belum dikelola seperti Mongkrong. Jika di Mongkrong dikanakan tiket masuk lima ribu rupiah per kepala dewasa plus ongkos parkir sebesar dua ribu rupiah, di Sukmojoyo disediakan kotak tempat pengunjung memberikan uang masuk seikhlasnya.  Biaya parkir ditarik tiga ribu rupiah.

Pagi itu hanya kami pengunjungnya. Kontras sekali dengan Mongkrong yang pengunjungnya tak putus. Kalau untuk menyepi dan bertadabur alam, tempat ini cocok. Banyak sudut yang di bangun sebagai top selfi, lebih banyak ketimbang Mongkrong. Lihat saja spo-spot ini, sambil berfoto saya bisa menikmati pemandangan di bawah yang menyegarkan. Mamang, di banding Mongkrong, untuk  view ke bawah Mongkrong tetap lebih unggul.  Tapi, di tempat ini saya bisa menikmati alam pegunungan Menoreh lebih leluasi sembari menyadari kecil diri saya. Betapa untuk menambah rasa syukur, tempat-tempat yang memperlihatkan kebesaran Tuhan bisa menjadi pilihan untuk didatangi.

20161226_090416

20161226_090312

20161226_083841

20161226_085514

Gunung Merapi sebagai latar dengan bingkai hati

 

Sepulang dari dari sana,satu lagi pikiran melitas, bahwa saya perlu mengagendakan menggali pesona Magelang yang belum saya tahu. Kamu anak Magelang tapi merantau, sekali-kali sempatkan pulang dan mendatangi tempat-tempat yang pasti akan membuatmu semakin rindu pulang.  Kamu yang berada di luar Magelang bisa klik tiket.com untuk akomodasi datang ke Magelang. Liburan di Magelang menjanjikan sejuta eksplorasi.  Ayo ke Magelang dan segera klik tiket.com!

 

 

Tantangan Nulis Blue Valley

Perahu Kertas

 

“Aku pulang sekarang….”

“Di luar hujan begitu deras, tunggulah agak reda.”

“Tak masalah, aku harus pulang sekarang.”

“Nekat sekali kamu. Bawa payung kan?”

“Selalu.”

Aku ingin segera sampai rumah. Bergelung di kasur  menenggelamkan kepalaku di bawah bantal. Entah apa jadinya dadaku kalau aku tak segera keluar dari sini, terus menerus menahan gemuruh yang harusnya sudah meletus. Tentu seharian ini aku tak bisa konsentrasi bekerja. Bibirku sampai sakit karena berulang-ulang kugigit untuk membendung tangis. Aku tak tahan lama-lama berada di pantry menyembunyikan rasa sakit yang membuncah.  Tidakkah mereka rasakan getaran dalam suaraku. Susah payah kutahan agar hari ini aku tak banyak cakap. Sebenarnya bukan hal yang aneh, aku memang tak suka banyak bicara di tempat kerja. Ya, hari ini aku menjawab segala pertanyaan yang datang padaku seperlunya saja. Lebih bayak gerakan kepala; menggeleng, mengangguk, melengkungkan senyum, mengerutkan kening,  atau dengan gerakan bahu.

“Kamu sariawan atau napa sih?”

“Sori, lagi dapet, lagi nggak mood ngomong,” jawabku bohong.

“PMS nih… .” celetuk yang lain, kutingkahi dengan cengiran.

Hari ini menjadi hari terlama, detik  demi detik menetes serupa  sampo di dalam botol yang nyaris kosong. Kalau berkali-kali melirik jam dinding, tentu waktu bagiku seperti merangkak.

***

Tepat ketika aku keluar dari pintu kantor, angkot biru  langgananku melintas. Aku menggeleng pada pak sopir. Tidak. Aku sedang ingin sendiri, berjalan di bawah hujan.

Benar, hujan kali ini terlampau deras. Inginku, payung biru ini kubiarkan tetap kuncup agar langkahku terbingkai hujan sempurna. Tapi aku masih tahu diri. Sayang pada tubuhku. Bisa-bisa tubuhku remuk kalau aku nekat.  Bukanya menikmati hujan tapi menyiksa diri. Aku tak mau menambah rasa sakit di sekujur  tubuh.Sebenarnya aku benci berjalan di dalam hujan semacam ini. Hujan deras begini lebih nikmat diresapi  dari  bawah selimut atau di tepi jendela kamar ditemani secangkir kopi.  Ah, tapi setidaknya di bawah payung ini kepundan di dadaku ini akhirnya meledakkan leleran lava, hangat mederas  dari kedua sudu t mataku.  Air mata mengalir sejalan dengan langkah kakiku.

Pertokoan yang biasanya kunikmati dari balik jendela angkot kini terpampang di sampingku. Pelan-pelan berkelebatan saja.  Aku biasanya suka mengamati beberapa toko baju, menatap manekuin  yang dalam beberapa hari selalu berganti gaun. Menebak-nebak apakah gaun atau rok yang di hari sebelumya kulihat apakah masih di sana, menebak sudah berganti model seperti apa.  Gaun sebelumnya, sudah masuk almari di sebuah kamar? Atau sekedar berganti untuk menarik hati para perempuan sepertiku. Ah, kalau mau menuruti keinginan, aku ingin membeli rok-rok bermodel etnik atau gaun panjang yang kubayangkan akan menyulap diriku menjadi sosok anggun.  Sudahlah, aku  sedang tidak ingin berangan-angan kapan aku bisa masuk dan membawa pulang salah satu koleksinya.

Mendekati sebuah kedai kopi, hatiku gamang. Menghangatkan diri dengan secangkir kopi sembari menikmati gemericik liris, memandang bulir-bulir yang membuat kaca memburam sepertinya nikmati. Itu di sana, di meja pojok  tepi jendela aku suka melewatkan waktu   berjam-jam untuk membaca, menghabiskan cangkir demi cangkir, atau sekedar melamun.  Hampir saja langkahku kebelokkan ke kedai kalau bukan karena bayangmu  mendadak hadir di meja itu mengurungkan niatku. Sejak mengenalmu, kursi di seberang aku duduk tak pernah kosong. Mengisi akhir pekan dengan berbincang  berbagai hal denganmu tak pernah ada habisnya.  Akhir pekan yang selalu kunanti. Kedai kopi menjadi tempat yang selalu kurindu.  Ah, hari ini kedai itu membuatku muak. Langkah  kupercepat.  Aroma yang meruap hingga ke setiap sudutnya tak lagi menggodaku.

“Aku akan ajak kamu ketemu mama,” ujarmu di kedai sore itu.

“Ketemu mama kamu?” Aku tak bisa mendefinisikan perasaan yang berkecemuk. Aku takut bertanya ataupun menebak-nebak sendiri, main ke rumahnya berarti…

“Sudah saatnya kamu kukenalkan pada mama,”

Aku tak bilang ya atau tidak, tahu-tahu aku sudah duduk di ruang tamu bernuansa klasik.

“Ini lho Mah, gadis yang pernah kuceritakan, emm… yang kemarin bukunya nongol di ‘Buku Baru”. Kamu menunjuk majalah yang masih tergeletak di meja.

Wanita itu tersenyum, lalu meneliti.

Perasaan tidak nyaman mendadak menelusup, rasanya risih dipandang seperti itu, seperti sebuah barang yang sedang ditaksir.

“ Belajar nulis dari mana?”

“Otodidak Tante,”

“ Sekolahnya dulu?”

“Saya hanya lulusan SMK Tante,”

“Hem…lulusan SMK tapi bisa menulis novel?”

Mamamu mengangguk-angguk. Entah apa yang bersarang di kepalanya. Pastilah kamu belum pernah menceritakannya pada mamamu. Majalah yang memuat novelku tentu saja hanya menampilkan sinopsis.

Pertemuan pertama dan kedua di rumahmu masih diwarnai sedikit kehangatan. Namun berangsur-angsur  kehangatan itu menguap. Dingin menyambutku setiap kali kamu mengajakku mengunjungi keluargamu. Hingga suatu hari, mamamu sudah bersama seorang perempuan cantik ketika aku datang.

Aku menjabat tangannya. Dia sosok yang anggun. Penampilan dan gaya bicaranya sudah mewakili dari kelas mana dia berasal.

“Katanya kamu baru naik jabatan, direktur pemasaran.” Mamamu menyebut sebuah perusahaan  kosmetik yang punya produk  berbahan herbal. Mereka terlibat pembicaraan seru dan akrab. Aku? Seperti tidak ada diantara mereka. Selanjutnya kamu tidak pernah lagi mengajakku ke rumahmu.

Masih di kedai itu, pertemuan kita masih tetap berlanjut. Namun, aku tidak lagi mendapati binar di kedua matamu. Murung, wajah itu yang selalu menemani akhir pekanku. Bahkan, kadangkala aku menjumpai kamu mendadak menjadi begitu temperamental dan tidak sabaran.

“Maafkan aku…” selalu itu yang kamu ucapkan tiapkali kamu berusaha melawan temperamentalmu yang spontan muncul. Mana sosok riang dan hangat darimu yang kukenal? Mungkinkah  perempuan itu yang telah merenggutnya darimu?

“Emm… mama memaksaku menikah.” Seperti ada sengatan tiba-tiba menjalari tubuhku. Aku sebisa mungkin menyembunyikannya. Juga gigil  yang mendadak muncul.

“Maaf, mamaku….” Aku sudah bisa menebaknya, jadi aku tak ingin mendengar kelanjutan ucapanmu.

“Tapi aku masih berjuang untuk membatalkan rencana Mama.” Kamu sendiri seperti tidak yakin mengucapkan itu, bagaimana aku bisa mempercayainya? Bagaimanapun, aku tak bisa berbohong kalau aku begitu berharap kamu benar-benar membuktikan ucapanmu. Tak butuh waktu lama hingga undangan itu tiba.

***

Berkecipuk  dengan air hujan yang pelan mereda, tak setapakpun langkahku terhenti. Dadaku berangsur  melapang. Nafas yang kuhela kian lega.  Tiba di jalan masuk kampung berparit di kanan kirinya, langkahku baru berhenti, tertarik mendengar celoteh para bocah di tepi parit. Sambil menyusut air mata dengan punggung tanganku, kudekati mereka. Ada perahu-perahu kecil  yang sedang berlayar. Rupanya mereka mengeluhkan perahu kertas yang terancam karam.

“Kertas itu terlalu tipis. Hmmm…kakak punya kertas yang tebal. Pasti akan menjelma perahu kokoh.“

Mereka menoleh kompak. Sejenak memandangiku heran.

“Perahu kokoh?”

Aku mengangguk. “Sebentar kakak ambilkan. Air tak akan begitu saja menelannya.”

“Asyik… asyik… mana Kak, mana Kak?”

Aku merogoh messenger bag, menarik  selembar kertas yang terbungkus plastik. Buru-buru kukeluarkan isinya.

“Waw, bagus Kak!”

Mereka memandang kertas yang kupengang, takjub.

“Lho, itu kan undangan? Pernikahannya siapa Kak? Nggak sayang?”  Raut takjub itu digelayuti tanya.

Aku menggeleng. Menanggapi celoteh mereka dengan senyum saja. Tanpa terlebih dahulu membaca isinya aku mulai melipatnya. Selembar kertas ini sebenarnya ingin kuremas-remas begitu kudapati sudah tergeletak di meja pantry. Mereka memuji-muji betapa elegannnya desain undangan itu. Betapa manis nan romantis foto prewedding berlatar ilalang itu. Si pemilik undangan begitu saja berlalu setelah meletakkan segepok undangan di pantry. Tak  tahan dengan olok-olokkan mereka? Atau   tak tega melihatku membuka undangannya?

Kau pasti sengaja menaruh undangan ini sebelum aku datang, menghindari pertemuan denganku.  Huh, dulu saja kau sengaja mencari-cari alasan agar bisa bertemu denganku.  Pura-pura sibuk berjalan membaca kertas-kertas di tanganmu, untuk kemudian masuk pantry sedekar meracik kopi sendiri atau bercanda dengan Bagas dan Agus waktu istirahat tiba.

Ah, undangan itu hanya kusentuh ketika kumasukkan begitu saja ke dalam tas.Kapan mereka menikah, aku tidak mau tahu.  Aku toh tak akan menghadirinya. Biarlah kertas ini menjelma mainan untuk bocah-bocah ini.

“Nah selesai. Bagus kan?”

“Buruan Kak, layarkan.”

Aku berjongkok dan meletakkan perahu itu di permukaan bening yang gemericik. Pelan sekali aku melepasnya seolah aku tak rela kalau perahu ini tak akan kembali. Kuhela nafas dalam-dalam.

“Horrreeeeee…horeeeee… .” Mereka bersorak.

Kupandangi wajah mereka satu-satu. Tawa mereka teramat ringan tak berbeban. Mereka seperti menghanyutkanku ke dunia mereka. Keriangan mereka menjalari tubuhku. Spontan aku ajak mereka ber-high five satu-satu lalu segera kupalingkan mataku pada perahuku sebelum mendapatinya mengecil. Tatapanku lekat bersama arus yang membawa perahuku melaju.

dukaku tersemat di selembar tubuhmu

perahuku,

berlayarlah… berlayarlah…

larungkan luka lara

akhiri segala cerita

aku dan dia…

 

 

#mengambil judul “Perahu Kertas”  dari puisi “Perahu Kertas” dalam Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, Balai Pustaka, Jakarta, 1983, hal 46

 

blue-valley

“Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.”

Sebermula Sudut Baca

giveaway-aku-dan-buku

Sudut baca itu kecil adanya. Hanya ada sebuah rak buku mungil berisi buku-buku anak:  sains,biografi tokoh besar, buku cerita bergambar maupun novel,  buku pengetahuan umum, dan buku agama Islam.  Meskipun seadanya, namun ini adalah langkah kecil kami dalam mewujudkan mimpi membangun perpustakaan.

Mulanya buku-buku itu berada di rak baca  di kamar bersama koleksi buku kami yang lain. Ketika anak-anak les datang, kami keluarkan tumpukan buku-buku itu  begitu saja, namun rasanya tidak efektif. Buku-buku juga berserakan di sana-sini, buku yang selesai atau  yang sedang dibaca. Lalu kami berinisiatif mengeluarkan satu rak berisi buku-buku anak. Anak-anak bebas memilih buku apa  yang mereka inginkan. Tepat sasaran, anak yang mulai keranjingan membaca selalu membawa pulang setiap kali satu buku selesai dibaca.

img-20160324-wa0007

sebelum ada sudut baca

img-20161031-wa0002

sudut baca kami, dari kecil harapannya menjadi sebuah ruang

img-20161031-wa0004 img-20161031-wa0005

20160922_193741

Kami punya mimpi membangun perpustakaan yang tidak hanya berkegiatan membaca namun juga kegiatan seru lain yang memberi asupan gizi bagi otak dan jiwa. Dimulai dari lingkungan terdekat, keluarga, lalu anak-anak yang datang belajar ke rumah, kami perkenalkan budaya  membaca. Karena kampanye membaca saat ini sasaran terdekatnya adalah anak-anak, maka rak buku di ruang depan sementara masih berisi buku anak-anak. Ada dua kelompok belajar di rumah, sore dan malam, yang masing-masing terdiri dari 3 anak.

Bagi kami, melihat 1 dari 3 anak kelompok sore mulai ketagihan membaca itu amat luar biasa. Adanya pojok baca membuat rasa ingin tahu mereka bertambah. Sementara kelompok malam telah terlebih dahulu saya perkenalkan buku lewat tumpukan-tumpukan buku yang kami keluarkan. Dua dari mereka sudah membaca.  Ketika pagi membereskan ruang tamu tempat mereka belajar, sering saya mengecek buku peminjaman. Ada kepuasan tersendiri ketika daftar peminjaman selalu terupdate.

20161110_191941

Kami menyebut pembaca buku perpus mini kami dengan  nama  Klub Buku Janitra. Perpus kecil-kecilan kami beri nama perpustakaan Janitra.   Anak kami, Janitra, adalah anggota klub termuda, sementara mbah kakungnya adalah pembaca buku tertua.  Kebahagiaan tak terkira ketika melihat mbah kakung terjangkiti virus membaca. Beliau selalu terlihat membaca di sela-sela kesibukannya di sawah, berkebun, dan beternak. Mbah kakung punya dunia sendiri saat membaca.

untitled

2

Klub buku Janitra tidak hanya berkegiatan belajar karena tuntutan (les),membaca buku, namun juga berkegiatan lain.  Mengajak mereka memasak, bersepeda, berenang, berkunjung ke perpustakaan kota, ke festival buku, dan touring pernah kami lakukan dan harapannya kegiatan menyenangkan itu akan terus berlangsung.   Yang paling sering kami lakukan adalah bersepeda bersama.  Angan-angan kami kelak ketika mimpi itu terealisasi, perpustakaan itu tidak sekedar ruang baca, namun ruang belajar dalam arti luas.

IMG-20151108-00206

membaca sembari bermain di perpus kota Magelang

IMG-20151108-00213

klub buku Janitra di fesbuk (festival buku) Magelang 2015

20160505_073312

Gowes Klub Buku Janitra

img-20151108-00232

Tour Candi Mendut

Untuk menambah koleksi buku, kami selalu memburu event obral buku yang akhir-akhir ini marak di Magelang.  Berburu giveaway buku juga menjadi hobi saya karena impian itu tentu membutuhkan penambahan buku terus-menerus. Senang ketika saya mendapatkan hadiah buku. Alhamdulillah rejeki buku sering Allah berikan berkat ngeblog maupun mainan instagram dan twitter.  Karena pernah posting foto klub buku Janitra,  saya mendapat kejutan paket buku dari seorang  sohib. Wuihh… buntelan buku selalu menghadirkan rasa yang membuncah. Terima kasih buat teman-teman yang secara langsung mendukung impian kami 🙂

12899716_10205547544680310_131181322_n

2 buku anak hadiah GA Jejak Kaki Misterius

mbah

hadiah dari sohib

“Postingan ini diikut sertakan dalam Giveaway Kisah Antara Aku dan Buku

[Review] Anakku Sehat Tanpa Dokter

20160929_153213

Judul                           : Anakku Sehat Tanpa Dokter

Penulis                        : Sugi Hartati, S.Psi

Penerbit                      :  Stiletto Book

Cetakan                      :   1, April 2013

Tebal                           :  192 halaman

ISBN                           :  978-602-7572-14-0

 

Setiap orang tua pasti mengingkan yang terbaik untuk anak mereka. Lebih-lebih untuk kesehatan. Pun ketika anak mereka sakit, bagaimana cara  menyembuhkan anak secara cepat. Terkadang berapa uang yang mereka keluarkan tak mereka pedulikan. Datang ke dokter terbaik biasanya solusi yang mereka pakai.

Tak hanya itu, orang tua yang memiliki balita atau batita sering kali sudah menyediakan obat ‘bebas’ yang biasa di simpan di rumah untuk menangani penyakit-penyakit yang umum diderita anak, seperti panas, demam, pilek, atau batuk.  Tidak sedikit ibu yang memiliki persediaan antibiotik di rumah sebab obat itu jamak diberikan dokter ketika para ibu datang dengan keluhan anak panas atau demam.

Kepanikan seorang ibu atau ketidaktahuan ibu akan penyakit yang diderita anak, sekalipun ringan, berdampak pada kesalahan penanganan.  Ketika anak panas mereka terburu-buru memberikan antibiotik karena obat itu dikenal ampuh meredakan panas. Atau terburu-buru membawa ke dokter terbaik biasanya dianggap sebagai solusi jitu. Sayangnya, tidak banyak dokter di Indonesia yang memberikan kesempatan kepada pasien atau ibu pasien untuk menelusur latar belakang penyakit. Dalam buku ini diceritakan, misal untuk penyakit panas, pasien akan diberikan oleh antibiotic dan obat pereda sakit yang bersangkutan (misal batuk atau flu). Ketika beberapa hari kemudian  anak belum sembuh, dokter akan meminta pasien datang lagi dan akan diberi obat lagi. Banyak kasus terjadi, pasien terkesan dijadikan kelinci percobaan.

Dokter bukan penemu obat, dokter hanya akan mengaitkan gejala yang diderita pasiennya dengan pengetahuan suatu obat yang didapatnya dari sang penemu obat. Dokter akan memilihkan obat yang lain untuk dicobakan kembali kepada pasien. Jika belum sembuh, maka dokter akan mengganti dengan obat yang lain lagi, demikian seterusnya. (hal. 37)

Antibiotik, yang sering diberikan ke dokter, atau malah disimpan di kotak obat di rumah untuk diberikan kepada anak jika sewaktu-waktu perlu, ternyata memiliki banyak efek. Antibiotik disamping menyembuhkan juga dapat merugikan. Bisa jadi obat yang diberikan kepada anak dalam jangka waktu yang lama tidak menyembuhkan penyakit tetapi justru melemahkan ketahanan tubuhnya. (hal.11).  Pada dasarnya antibiotik hanya efektif membunuh bakteri atau kuman. Jika digunakan pada anak-anak yang menderita demam ataupun sakit lain yang disebabkan oleh virus, maka antibiotik berakibat fatal. Bakteri baik yang semestinya berfungsi membantu tubuh malah ikut terbunuh. (hal. 16). Nah, penyakit yang disebabkan oleh virus tapi diberi antibiotik, tentu tidak tepat sasaran. Dalam buku ini penulis memberikan penjelasan mengenai efek samping dari obat, khususnya antibiotik. Informatif sekali! 😀

Yang paling penting adalah ibu harus tahu latar belakang penyebab penyakit, apakah karena bakteri atau virus agar tepat penangannya.

Jadi, apakah sebaiknya kita tak perlu ke dokter?

Perlu! Tapi janganlah mengunjungi dokter dengan tujuan mencari obat tapi mencari jawaban atas pertanyaan “Anak saya sakit apa? Apa yang menyebabkannya? Bagaimana penyebaran penyakit tersebut sehingga bisa menyerang anak saya?” (hal. 58).  Kita jangan begitu saja menerima apa yang dituliskan dokter dalam resepnya. Sebaiknya kita tahu obat apa saja yang diberikan, cara kerja, efek samping, dan bila perlu harga obat tersebut. (hal. 53)

Meskipun buku ini bukan ditulis oleh dokter atau ahli kesehatan, namun buku ini cukup lengkap memaparkan tentang latar belakang beragam  penyakit yang sering diderita oleh  anak dan penangannya. Buku ini ditulis  berdasarkan pengalaman penulis sebagai ibu dan  dari berbagai pengetahuan kesehatan yang didapat dari berbagai sumber (buku, artikel di internet).

Buku ini lebih menekankan pada pencegahan sebuah penyakit.  Ada fakta bahwa sebenarnya sebagian besar penyakit disebabkan karena makanan yang masuk ke tubuh (hal. 45) jadi  penulis banyak memeberikan tips pencegahan dan penanganan penyakit dengan memberikan makanan yang tepat.  Apa saja makanan yang sehat dan tidak sehat untuk anak dijabarkan lengkap oleh penulis. Buku ini dilengkapi dengan menu-menu makanan sehat, baik buah sebagai food therapy maupun menu makanan penunjang. Komplet! Selain menu makanan, pelengkap yang lain dari buku ini adalah akupresur (teknik pemijatan dengan menggunakan jari-jari tangan pada titi-titik tertentu pada tubuh) menyehatkan bagi anak. Ada manfaat, cara, dan foto yang menyertai bab akupresur.

Buku ini sangat memadai untuk dimiliki para ibu. Sebagai ibu yang memiliki balita, saya seperti dikuatkan oleh penulis.  Bahwa menghadapi anak yang sakit kita tak perlu panik dan khawatir berlebihan.  Penyakit pasti berlalu, tanpa obat tanpa dokter, bisa!

 

Resensi ini diikutsertakan pada campaign #AkuCintaBuku bersama Stiletto Book  dan Riawani Elyta 

 

 

Dari Novel FLP hingga Skripsi

Aku dan FLP, tema lomba itu begitu mengusik saya. Bagaimana tidak, saya pernah begitu dekat dengan buku FLP di masa akhir kuliah saya. Saya harus mengikuti lomba ini, tekad saya walaupun kemudian saya tidak serta merta menulis. Tema lomba ini kemudian membuat saya membuka lembar-demi lembar perjuangan studi saya selama 4 tahunan. Beruntung saya memiliki buku harian yang menyimpan kisah keseharian. Lebih-lebih masa kuliah adalah masa yang tidak pernah alpa saya catat.

Membuka lembar-demi  lembar buku tulis yang saya pakai sebagai diari membuat saya kembali ke masa-masa penuh perjuangan 10 tahun silam.  Masa-masa gelisah menjelang akhir studi. Gelisah ketika waktu untuk menulis tugas akhir tiba. Ada perbenturan antara idealisme diri ketika menentukan objek penelitian, keinginan segera menuntaskan studi, dan tentu saja perbedaan pendapat dengan dosen pembimbing.

8 Januari 2006

Saya menganggapnya sebagai mimpi buruk. Ketika menghadap ketua jurusan, saya belum siap dengan nama dosen yang akan saya pilih sebagai pembimbing. Saya ikut-ikutan dua teman yang siap karena saat itu ingin segera cepat selesai urusan. Gugup tentu saja, kaget ketika pertanyaan itu dilontarkan, siapa dosen yang dipilih? Saat itu benar-benar blank! Kepepet, mulut saya tanpa komando menyebut nama pak Faruk sebagai dosen pembimbing.  Bukan rahasia kalau Dr. Faruk H.T saat itu sedang tertarik dengan novel-novel FLP. Barangkali beliau sedang meneliti fenomena novel FLP kala itu. Otomatis saya akan diminta memakai novel FLP.

Ada rasa kecewa dalam hati. Mulanya, saya ingin memakai novel favorit saya  dengan analisis strukturalisme genetik. Kata beliau, teori itu bakalan lama. Cari yang cepat selesai.  Strukturalisme saja belum becus kok mau pakai strukturalisme genetik.  Saya tak bisa mempertahankan idealisme sebab saya ingin cepat selesai kuliah.

Rasa sesal menghantui, mengapa saya tidak memilih dosen lain sehingga berkesempatan memakai novel favorit yang selama ini saya gadang-gadang, novel yang sudah saya pakai dalam mata kuliah seminar.

Mengesampingkan rasa sesal, maka saya mulai mencari-cari novel FLP yang sesuai dengan keinginan.   Saya begitu menyukai novel dengan lokalitas, maka novel semacam itu yang harus saya jadikan objek. Maka mulailah saya diskusi, tanya sana sini novel apa yang kira-kira masuk pilihan saya.

Seorang adik kelas merekomendasikan novel Setitik Kabut Selaksa Cinta dengan latar budaya Jawa. Sorenya saya mencari novel itu di toko buku. Belum selesai membaca novel itu, lagi-lagi rasa sesal  mengusik. Mengapa harus novel ini, bukan novel favoritku?  Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta belum sesuai dengan horizon harapan saya dari sisi lokalitas.

Rasa sesal kian bertambah. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus mengusik.  Kadang rasa frustasi pada keadaan membuat seseorang menggugat. Sampai pada satu titik saya menepis segala pertanyaan itu dengan jawaban bahwa itu adalah yang terbaik bagi Allah. Saya pun menulis perenungan itu di buku harian,

Aku tahu ini yang terbaik bagiku. Aku tahu dan merasa pasti ada hikmah di balik ini semua. Allah lah yang menggerakkan aku untuk memilih Pak Faruk sebagai pembimbing. Semua sudah ditetapkan-Nya. Aku berusaha bersabar dan ikhlas walau sulit.

Inilah jalan yang ditunjukkan Allah. FLP adalah forum dakwah yang diridhoi Allah. Dengan menganalisis novel FLP, aku bisa sedikit berdakwah. Inilah ladang dakwahku.  Allah telah  memberiku jalan di mana aku dapat mengabdikan diriku di jalan-Nya. Inilah kesempatan yang diberikan-Nya. Dengan menggarap skripsi novel Islami, aku bisa mengangkat karya-karya itu, bisa memperkenalkan kepada kaum akademia yang belum kenal karya-karya itu.

Pemikiran itu kian bertambah kuat saat aku membaca bagian novel Setitik Kabut Selaksa Cinta: tentang cinta, melakukan sesuatu dengan sepenuh cinta karena-Nya. Kemudian aku menengok ke dalam diriku hatiku sendiri. Bukankah selama ini aku ingin melakukan sesuatu dengan dasar cinta kepada Allah? Kenapa tidak kali ini?

Proses pencarian novel yang pas di hati terus berlanjut. Diskusi dengan kakak kelas, saya diberi gambaran tentang novel  Asma Nadia, Derai Sunyi. Maka mulailah saya membeli dan membaca novel itu. Lagi-lagi belum berjodoh :D. Novel itu terlalu dramatis dan bahkan jauh dari ‘kriteria’ saya.

20160923_1455171

Hingga suatu hari di perpustakaan, bertemu dengan adik kelas yang cukup dekat, saya ungkapkan segala keluh kesah saya.  Rupanya ia memahami apa yang saya cari. Ia bercerita tentang novel Putri Kejawen karya Novia Syahidah yang dimuat bersambung di Annida. Inilah yang saya cari!

Pulang kuliah, ada yang menggerakkan kaki untuk melihat novel-novel yang disewakan di Masjid Kampus. Saya melihat novel itu, novel karya Novia Syahidah. Bukan Putri Kejawen yang saya temukan, namun novel berjudul Di Selubung Malam. Melihat blurb-nya, saya jatuh hati. Warna lokal dengan permasalahan kasta, adalah hal yang sebelumnya menarik perhatian saya pada kuliah seminar. Saya putuskan meminjam novel itu. Beberapa hari berikutnya, novel itu saya dapatkan di Toga Mas. Betapa beruntungnya!

Pencarian belum selesai rupanya. Masih ada pergulatan dalam hati, sudah mantabkah saya dengan pilihan saya? Apa pertimbangannya? Mulailah saya mencari dan membaca berbagai referensi yang pada akhirnya menguatkan pilihan saya.

Mengapa Novel Di Selubung Malam?

Sebelum 1990an, karya sastra Islam di kenal lewat karya-karya Hamzah Fansuri, Hamka, Djamil Suherman, Atau Taufik Ismail. Setelah 1990-an, sastra Islam muncul lewat nama Helvy Tiana Rosa. Sastra ini kemudian dikenal dengan nama sastra Islam kontemporer. Majalah Annida disebut sebagai akar tumbuhnya sastra Islam kontemporer.  Tahun 1997 terbit sebuah buku berjudul Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa.  Helvy Tiana Rosa disebut sebagai pelopor sastra Islam dan keberadaannya bersama sastra Islam mulai dikenal luas sejak cerpennya, “Jaring-Jaring Merah” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Horison. Kemunculannya dengan sastra Islam segera diikuti oleh penulis-penulis muda lainnya, terutama yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena. Dari sekitar 5000 anggota FLP ketika saya menulis skripsi, hampir 70%  anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 di antaranya menulis secara aktif di media. (www.forumlingkarpena.org)

Helvy Tiana Rosa sebagai pelopor karya sastra Islam kontemporer membedakan genre sastra ini dengan genre yang lain dengan ciri-ciri sebagai berikut, sastra Islam tidak melalaikan pembacanya dari dzikkrullah. Pembaca akan diingatkan pada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. Kedua, sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani antarinsan, lain jenis, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun. Sebuah karya tidak bisa dikatakan Islami hanya karena mengambil latar pesantren, mengetengahkan tokoh-tokoh ulama, dan menampilkan ritual-ritual keagamaan. Pengarang, kehidupan, Islam, dan karyanya menjelma dalam satu kesatuan.[i]

Sementara Sunarwoto Progo Laksono mengajukan beberapa opsi tentang karya sastra Islam. Pertama, sastra Islam adalah karya sastra yang menampilkan persoalan (tema) dan latar dunia Islam, tidak hanya dalam konteks Indonesia, melainkan dunia secara universal. Kedua, sastra Islam adalah sastra yang menampilkan tokoh-tokoh Islam. Para tokoh utamanya adalah orang-orang Islam yang berjuang atau memperjuangkan keislamannya. Ketiga, para penulisnya adalah orang-orang Islam yang berjuang demi Islam.[ii]

Para penulis sastra Islam memiliki organisasi kepenulisan yang menaunginya, ialah Forum Lingkar Pena. FLP merupakan sebuah komunitas kebudayaan yang merepresentasikan identitas kultural keislaman sehingga wacana keislaman menjadi garapan pertama organisasi ini. FLP yang lahir pada 22 Februari 1997 dengan pioneer utama Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainah, kehadirannya sangat fenomenal. Organisasi yang telah memiliki cabang hampir tiga puluh propinsi dan di manca negara,  selama hampir delapan tahun pertama  telah menerbitkan lebih dari empat ratus buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja, dan cerita anak.  (www.forumlingkarpena.org)

Koran Republika dalam www.helvytianarosa.com menulis FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer di Indonesia. Karya-karya FLP telah mendapat perhatian dan penghargaan dari peminat sastra.

Salah satu pengerang perempuan FLP yang karyanya dianalisis dalam skirpsi saya adalah Novia Syahidah. Sesuai dengan visi keislaman dari organisasi yang menaunginya, karya-karya Novia Syahidah pun sarat dengan nilai-nilai keislaman dan nilai dakwah. Pengarang yang lahir di Payakumbuh, 7 Desember 1973, ini mulai menekuni penulisan fiksi sejak 2002. Karya pertamanya Putri Kejawen (Pustaka Annida, 2003) ,merupakan novel dengan latar budaya Jawa yang sebelumnya dimuat dalam majalah Annida sebagai cerita bersambung. Novel selanjutnya, adalah Titip Rindu Buat Ibu (Dar Mizan,2003) dengan latar Minangkabau tahun 1927, Mengemas Rindu (Lingkar Pena Publishing House, 2003), dan Bayangan Lenggini (Syaamil, 2005).

Selain dalam novel, keterkaitan Novia pada “lokalitas”, tema etnis,dan budaya diungkapkannya dalam buku antologi cerpen berjudul Gadis Lembah Tsang Po (Asy Syaamil, 2003). Buku tersebut memuat Sembilan cerpen dengan latar tempat dan budaya yang beragam, seperti NTB, Lampung, Thailang, Somalia, Vietnam, dan Tibet. Cerpen pertama Novia Syahidah termuat dalam buku Dari Negeri Asing (Asy Syaamil, 2002). Dalam buku tersebut, cerpennya yang berjudul “Pasangka Ki Rajang” dengan latar Bulu Kumba abad 20 menjadi nominator  katageri sastra dalam Lomba Cipta Cerpen Islami FLP tingkat nasional. Selain buku tersebut, buku yang memuat kumpulan cerpennya adalah Berlalu Dalam Sunyi (Zikrul Hakim, 2004). Cerpen-cerpennya yang lain terkumpul dalam beberapa buku antologi cerpen, antara lain: Bulan Kertas, FBA Press, 2002), Mengetuk Cintamu (Senayan Abadi, 2003), From Batavia With Love (Asy Syaamil, 2003), Surat Untuk Abang (Senayan Abadi), 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi, 2003) yang ditulis bersama 15 cerpenis muslim seperti Asma Nadia, Ahmadun Yosi Herfanda, Gola Gong, Yus R Ismail, Isabedy Setiawan ZS, Irwan Kelana, dan lain-lain , PEri Surat Cinta (Lingkar Pena Publishing, 2005). Buku Sebuah Janji untuk Istriku (Lingkar Pena Publishing House, 2005) berisi dua novelet yang masing-masing ditulis Novia dan suaminya, Arul Khan. Selain itu, antologi penulis yang juga memuat karyanya adalah How To Get Married (Mizan, 2005)

Novel Di Selubung Malam merupakan novel dengan muatan budaya suku Sasak di Lombok. Selama ini, Indonesia memiliki beberapa penulis yang mewakili kawasan Timur Indonesia, seperti Riyanto Rabbah, Imtihar Taufan, Kongso Sukoco, Reko Wardono, Putu Arya Tirthawirya, N. Marewo, Maria Matilda Banda, Gerson Poyk. Novia Syahidah ikut menyemarakkan dunia fiksi yang mewakili dunia timur, namun ia menulis novelnya dengan perspektif “orang luar” dalam memandang persoalan daerah lain yang jauh di luar jangkauan keakrabannya. Ia mengangkat persoalan system kelas pada tingkatan-tingkatan gelar kebangsawanan Lombok dan permasalahan-permasalahan yang kemudian menyertainya.

Kemampuan Novia dalam mengangkat persoalan itu ke dalam novel dihargai juri yang antara lain terdiri dari Taufiq Ismail, Gola Gong, Pipit Senja, dan Koesmarwanti sebagai Novel Remaja Terpuji Anugrah FLP tahun 2005 setelah pengarangnya terpilih sebagai Pengarang Pemula Terbaik FLP 2003. meskipun  novel tersebut mendapat penghargaan dengan kategori novel remaja, namun Joni Ariadinata dalam pengantar novel Di Selubung Malam mengemukakan bahwa Novia Syahidah telah berproses keluar dari gaya kepenulisan popular menuju kea rah mutu tulisan yang lebih berbobot sastra. Dalam novel-novel yang ia tulis, Novia tidak hanya mementingkan kemasan dengan komunikasi yang lancer/ringan sebagaimana karakteristik  karya-karya popular pada umumnya, tetapi juga mulai berpikir tentang isi sebagai prasyarat bagi sebuah kategori karya sastra yang bermutu.

Isi sebagai prasyarat sebuah karya sastra yang membedakannya dengan novel popular menurut Stanton (1965:8) adalah karya fiksi dapat membuat pembaca menukmati waktu luangnya, membayangkan tempat-tempat asing yang penuh petualangan, berbagi rasa dengan tokoh-tokohnya, membuat pembaca mengerti problem moral dan etika, menikmati ketrampilan pengarang, dan belajar memahami falsafah hidup yang berbeda dengan yang telah dijalaninya. Berbeda dengan karya sastra, karya fiksi popular hanya menawarkan tiga hal yang pertama dikemukakan Stanton tentang isi sebagai prasyarat sebuah karya sastra. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Joni Ariadinata maka novel karya Novia Syahidah menawarkan tiga pengalaman yang menurut Stanton tidak didapatkan dari novel popular. Sesuai dengan misi organisasi yang menaunginya, Novia menawarkan sebuah nilai agama (dakwah)sebagai isi melalui unsur-unsur dalam novelnya. Selain itu Joni mengemukakan bahwa Novia mengalami proses penulisan menuju karakteristik tulisan sastra sehingga ia telah berproses dalam menyampaikan dakwahnya lewat novel bukan menjadikan novelnya sebagai dakwah yang menggurui pembacanya.  Hal ini yang menjadi pertimbangan pertama mengambil novel Di Selubung Malam sebagai objek penelitian skripsi.

Kedua, selama ini belum ada penelitian yang mendalam tentang novel Di Selubung Malam. Dua tulisan yang dijumpai penulis waktu itu adalah tulisan berupa resensi oleh Rahmadiyanti yang dimuat dalam unofficial Site FLP dan ulasan berjudul “Dari Joni Ariadinata: Mutiara dari Timur” oleh Joni Ariadinata dalam novel DSM. Dalam resensinya, Rahmadiyanti mengulas latar novel dan menyinggung sedikit tentang nilai local dan konflik yang menarik dari novel itu sedangkan Joni Ariadinata mengulas warna lokal yang terkandung dalam noveld an alurnya. Menurut Joni, kekuatan  Novia dalam novel itu terletak pada kemampuannya dalam mengemas novel dengan gaya ringan, tidak terbelit-belit yang menunjukkan Novia menguasai teknik bercerita. Kerumitan-kerumitan konflik digarap penulis dengan teknik penggabungan alur mundur dan alur maju yang rapat. Ketegangan demi ketegangan dibina terus dari awal hingga akhir dengan lembut.

Untuk menganalisis novel DSM saya menggunakan teori yang diperkenalkan Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction (1965). Teori ini dipergunakan untuk menganalisis fakta cerita, tema dan sarana sastra novel DSM. Stanton dalam bukunya mengemukakan bahwa untuk memahami pengalaman yang diceritakan, pembaca harus mengerti fakta cerita dan tema sebagai unsur-unsurnya, dan untuk melihat bagaimana unsur-unsur dapat mencapai maknanya maka dapat dianalisi melalui sarana sastranya.

 

Akhirnya…

20160923_1454001

Mantab menentukan pilihan novel itu, maka dimulailah perjuangan suka duka menulis hasil membaca dan menganalisis, menjalani proses bimbingan yang melelahkan dan penuh kejutan. Mendapati berbagai penemuan yang tak disangka sehingga membuat diskusi dengan dosen berjalan seru.  Belum lagi ‘mengejar’ dosen yang kadang menghilang untuk bimbingan. Segala rasa itu nano-nano dan berujung manis serta syukur.  Pada akhirnya saya merasa bangga dibimbing oleh dosen yang kini telah professor itu. Berada di ruang sidang dengan jawaban mantab atas pertanyaan-pertanyaan penguji yang tidak bertele-tele. Semuanya berakhir dengan hasil yang tak pernah saya duga. Nilai yang memuaskan dan pengalaman luar biasa, berporses bersama novel FLP.  Februari 2007, dengan jeda menjalani KKN Peduli Gempa, saya akhirnya wisuda dengan syukur yang membuncah.

 

 

Catatan Kaki

i. Helvy Tiana Rosa, “Sekali Lagi Tentang Sastra Islami”,Annida No. 1 Th. X 27 September 2003,hal. 37.

ii. Sunarwoto Progo Laksono, “Menandai Kebangkitan Fiksi Islami”, Republika, 23 April 2003, hal. 8

Ket: kutipan dari web FLP yang saya cantumkan sumbernya saya akses ketika FLP masih beralamat di alamat yang saya tulis 10 tahun silam ketika menulis skripsi

[Lomba Blog Dies Natalis Universitas Terbuka ke-32] Menjadi Mahasiswa UT yang Berkarakter

Salah satu pilar peradaban bangsa adalah pendidikan. Pendidikan  menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.  Bagaimana generasi suatu bangsa itu dilihat bagaimana kualitas sistem pendidikan bangsa tersebut dan tentu saja guru sebagai agen pendidikan.  Guru yang berkualitas dan profesional akan mencetak generasi yang berkarakter. Nasib para pemimpin bangsa salah satunya berada di tangan seorang guru. Guru yang menginspirasi akan memberikan motivasi kepada seseorang untuk menjadi pribadi berjiwa pembaharu.

 

Menjadi guru yang berkualitas dan profesional adalah tuntutan saat ini.  Bukan hanya mengejar tunjangan profesi namun adanya tunjangan profesi merupakan konskuensi tuntutan jaman akan guru professional.  Menjadi guru professional nyatanya membutuhkan kualifikasi akademik di kelas dan bidangnya masing-masing.  Sementara itu, banyak guru yang secara kualitas  dan kinerja telah memenuhi syarat namun dilihat dari kualifikasi akademiknya belum memenuhi syarat. Guru tersebut dituntut untuk menempuh pendidikan sesuai kualifikasi namun tetap harus menjalankan kewajibannya mengajar di kelas. Untuk itulah Universitas Terbuka menjawab tantangan tersebut.

 

Universitas Terbuka (UT) adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia yang diresmikan pada tanggal 4 September 1984, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1984. UT memiliki 4 Fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi (FEKON), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) untuk jenjang Diploma dan Sarjana. Sejak tahun 2004, UT membuka jenjang Magister pada Program Pascasarjana.

UT menerapkan sistem belajar jarak jauh dan terbuka. Istilah jarak jauh berarti pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) maupun non-cetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio, dan televisi). Makna terbuka adalah tidak ada pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, dan frekuensi mengikuti ujian. Batasan yang ada hanyalah bahwa setiap mahasiswa UT harus sudah menamatkan jenjang pendidikan menengah atas (SMA atau yang sederajat). (sumber dari sini )

 

Adanya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan sistem belajar jarak jauh dan terbuka memungkinkan guru menimba ilmu dan tetap memberikan pendidikan di kelasnya masing-masing. UT menjangkau hingga daerah-daerah. Terlebih,   pembelajaran UT semakin mudah dengan adanya aplikasi UT online yang dapat diunduh melalui playstore. Lewat aplikasi ini, mahasiswa dapat mengakses materi kuliah, perpustakaan digital, memeriksa nilai secara daring, mengenal teman sekelas dan ujian secara daring.

Melihat profil di atas, jelaslah  Universitas Terbuka berperan dalam membangun negri ini. Di usia NKRI yang ke-71, telah empat windu UT melahirkan generasi pembangun negeri.  Berusia 32 tahun,saya menjadi mahasiswa yang lulus tepat pada perayaan empat windu ini.

 

Pengalaman Saya Sebagai Mahasiswa UT

Saya seorang guru di sebuah sekolah dasar swasta yang terletak di daerah, tepatnya di Kelurahan Grabag, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Saya merasakan kemudahan sebagai seorang mahasiswa UT. Tuntutan kualifikasi akademik memaksa saya menempuh pendidikan lagi sebab gelar sarjana yang telah saya raih bukan dari bidang pendidikan.  Sementara itu, untuk menempuh pendidikan lagi, jarak dan waktu tidak memungkinkan saya duduk di ruang kelas perkuliahan.  Pilihan saya jatuh pada Universitas Terbuka. Untuk duduk di kelas di kampus UT pun tidak memungkinkan sebab saya tinggal jauh di daerah. Beruntung, ada Universitas Terbuka  yang  menerapkan sistem belajar jarak jauh dan membuka kelompok belajar di daerah saya. Sebenarnya, kelompok belajar yang saya ikuti letaknya di kecamatan yang berlainan dengan tempat saya mengajar, tepatnya di Kelurahan Payaman Kecamatan Secang.  Inilah fleksibilitas dari sistem yang diterapkan UT UPBJJ Yogyakarta tempat saya menginduk. Karena peserta di kecamatan tempat saya mengajar cukup banyak, dibukalah dua kelas dari kelompok belajar Payaman namun lokasi pembelajaran di Kelurahan Grabag.

Berbagai kemudahan dan kenyamanan belajar saya rasakan selama menjadi mahasiswa UT. Saya tidak pernah meninggalkan kewajiban mengajar di kelas untuk kuliah sebab perkuliahan di laksanakan di akhir pekan.  Sabtu siang dan Minggu adalah waktu kosong mengajar yang dijadwalkan untuk kuliah sistem jarak jauh.

Karena minimnya pertemuan, berbeda dengan mahasiswa regular yang bisa bertatap muka di kelas setiap hari, kami dituntut untuk belajar secara mandiri.  Dibimbing oleh seorang tutor di setiap mata kuliah dan ditunjang oleh buku-buku dari UT, kami tidak merasa kesulitan dalam belajar. Buku-buku yang diterbitkan UT selain menjadi sumber referensi dalam proses pembelajaran kelompok , materinya juga akan dipakai sepanjang mahasiswa tersebut menjadi guru.  Meski berisi banyak teori pendidikan dan pembelajaran yang diambil dari berbagai sumber, namun materinya aplikatif untuk dipakai oleh setiap guru.

IMG-20160814-WA0000[1]

Sistem tutorial yang berlangsung hanya dua hari setiap pekannya terasa efektif karena proses pembelajarannya lebih menitikberatkan pada keaktifan mahasiswa . Tutor yang datang lebih berperan sebagai fasilitator. Mahasiswa dituntut belajar mandiri lewat beragam tugas yang nantinya akan dipakai sebagai bekal mengajar di kelas. Tugas yang bersumber dari buku-buku UT menggiring mahasiswa menjadi kreatif dan aktif dalam setiap pertemuan.

Saya merasakan banyak manfaat dari beragam tugas yang diberikan. Membuat materi presentasi memaksa mahasiswa mencari dan membaca berbagai sumber referensi. Menampilkan materi yang diminta tutor melatih mahasiswa percaya diri tampil di depan, sebagaimana keseharian guru di depan kelas.  Kemampuan ini secara langsung juga menggiring guru untuk melakukan hal yang sama kepada siswa, membentuk karakter berani dan percaya diri tampil di depan.

 

Materi yang diberikan dalam proses perkuliahan jauh dari teori. Mahasiswa diajak praktik langsung menerapkan teori-teori pembelajaran yang ada dalam buku.  Sebab siswa harus memiliki pengalaman belajar yang menyenangkan, guru sebagai mahasiswa pun diajak melakukan praktik perkuliahan yang aplikatif dan menyenangkan.  Saya ambil contoh perkuliahan Pembelajaran IPA. Setiap pertemuan diisi dengan praktikum yang nantinya diterapkan guru di kelas.

Berikut adalah contoh pembelajaran IPA yang kami lakukan di luar kelas. Alam kami jadikan sebagai sumber belajar.

IMG_7707

IMG_7709

IMG_7710

IMG_7708

 

Mahasiswa memiliki pengalaman belajar yang nyata dan menyenangkan. Ada beragam ilmu yang didapatkan sekaligus melakukan refreshing dari rutinitas mengajar. Inilah potret kelompok belajar di UT yang kompak dan menyenangkan.  Keakraban antar mahasiswa dan tutor terjalin.

 

IMG_7943

Begitu nyata pengalaman belajar yang saya dapatkan di UT, sangat menyatu dengan keseharian saya sebagai guru sekolah dasar sehingga tak terasa ketika SKS demi SKS telah selesai saya tempuh. Ada jeda waktu antara selesai belajar dan proses kelulusan tidak menjadikan ini sebagai masalah berarti. Banyak ilmu dan pengalaman belajar yang aplikatif yang saya dapatkan dari UT.  Sistem pembelajaran UT pun secara langsung membentuk karakter  mahasiswa dalam hal ini guru menjadi guru yang kreatif, inovatif, percaya diri, berwawasan dengan tak lupa karakter spiritual yang turut ditularkan oleh tutor-tutor yang membimbing. Karakter inilah yang akan dimiliki oleh generasi penerus membangun bangsa.  Selama empat windu ini, UT telah berperan melahirkan generasi yang diharapkan mampu  membangun bangsa yang berkarakter.

 

Selamat merayakan Dies Natalis ke-32. Semoga UT terus melahirkan generasi-generasi pembangun bangsa yang berkualitas dan professional.

 

 

 

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-32. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”

 

 

*berterima kasih kepada pak Aat Ahmad untuk foto-foto praktikum di alam.

 

[Blog Competition] Mengumpulkan yang Terserak

Saya merindukan masa ketika bocah. Ketika menyambut lebaran dengan perasaan membuncah.  Setelah sebulan berpuasa, rasanya melambung ketika mendengar takbir  Hari Raya. Sekarang rasa yang muncul berbeda.   Semakin mendekati lebaran, rasa pilu merayapi. Rasa sedih menghantui. Ada rasa kehilangan terhadap bulan suci istimewa. Belum-belum sudah rindu Ramadhan lagi ketika bulan Syawal menjelang. Memang, sudut pandang terhadap Ramadhan dulu dan sekarang lain. ah, tapi sesedih apapun kita ditinggalkan Ramadhan, kita tetap harus mensyukuri datangnya Syawal. Mensyukuri usia yang diberikan Allah untuk  bertemu Syawal. Untuk memaknai moment lebaran dengan sebenar-benarnya.u

Hari Raya  Idul Fitri, sering kita maknai dengan salah. Sering kita dengar, dan kita mengikuti makna itu, bahwa Idul Fitri adalah kembali fitri, kembali suci. Saya kemudian mulai mencari makna sebenarnya.  Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama.  (sumber dari  sini)

Makna yang salah sering kita jumpai bahwa Idul Fitri diartikan kembali fitroh, kembali suci.  Yang terjadi, kita sering mengucapkan  mohon maaf lahir batin saja, kita meminta maaf karena anggapan di hari raya, kita akan kembali suci sehingga segala kesalahan sebaiknya kita bersihkan. Namun, tak jarang pula kita jumpai orang yang merayakan Idul Fitri dengan ucapan Taqobalallahu minna wa minkum.  Ini lah yang seharusnya kita pakai.

Pemaknaan itu sudah seharusnya kita perbaiki.  Ucapan yang seharusnya kita ucapkan hari raya seusai Ramadhan

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم

“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”

Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan bukan memastikan amal kita diterima. Ini pula yang saya terapkan ketika saya bersalaman bersilaturahmi dengan kerabat, tetangga, dan teman. Saya mulai dengan ucapan ini.

Untuk meminta maaf, seketika melakan kesalahan sebaiknya selalu dilakukan, tak perlu menunggu hari raya tiba. Namun, budaya silaturahmi,  saling meminta maaf ketika hari raya bukanlah budaya yang buruk menurut saya.  Justru  pada saat Idul fitri adalah moment yang tepat untuk bersilaturami karena biasanya sanak keluarga berkumpul merayakan Idul Fitri.  Kerabat yang jarang kita temui rela jauh-jauh datang untuk mudik. Di hari itu, kita tak hanya hanya bertemu bertatap muka namun bisa mengobrol mempererat tali silaturahmi.  Sebagaimana hadist Nabi:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Adapun manfaat silaturahmi menurut Nabi Muhammad antara lain faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi] (sumber dari sini )
Itu sebabnya moment lebaran kami benar-benar kami manfaatkan dengan bersilaturahmi. Kami utamakan mengunjungi kerabat-kerabat yang lebih tua. Tujuannya adalah untuk tetap menjaga persaudaraan, atau dalam bahasa Jawa disebut  agar tidak terjadi kepaten obor (obornya mati)            . Moment saya sebut sebagai mengumpulkan yang terserak.  Ya, dengan silatiurahmi saya akan bertemu kerabat handai taulan yang jauh, mendekatkan kembali hati yang sekian bulan jauh. Mengingat dan  mengingatkan kembali bahwa kita masih punya saudara. Kita masih punya keluarga. Kalau bukan kita yang mudah yang mendekat, bisa jadi hubungan kekerabatan itu akan terputus (kepaten obor) ketika pihak tua, saudara ayah ibu nenek kakek,  meninggal dunia. Tak ada lagi yang menerangkan kalau kita adalah kerabat dari ibu bapak nenek kakek mereka.

Yang paling menyenangkan dari kegiatan silaturahmi itu adalah traveling.  Traveling dalam rangka silaturahmi itu seru. Kita akan mengunjungi tempat-tempat atau kota yang mungkin hanya kita kunjungi setahun sekali. Dalam perjalanannya, akan ada hal menarik yang ditemui, termasuk kuliner yang bikin nagih.

Idul Fitri lalu, saya berkesempatan men gunjungi kerabat yang tinggal di gunung. Menarik bagi saya, tak hanya tempatnya yang berada di perengan gunung, tapi juga karena saya terakhir kali mengunjungi tempat itu dua puluhan tahun lalu. Tentu saja kedatangan kami menjadi kejutan bagi simbah kami. Kemudian saat blusukan ke dusun-dusun mengunjungki kakak sepupu kami menjumpai balon yang siap diterbangkan dalam rangka Syawal.

20160709_083820

 

Masih di hari yang sama dalam rangkaian silaturahmi saya menemukan potret budaya Indonesia. Wayang-wayang berjejer rapi siap dijual.

20160709_110541

 

Yang paling menarik adalah saat mengunjungi kerabat di Purworejo. Tak hanya menyaksikan bedug Pendowo, bedug terbesar di dunia yang terletak di Masjid Agung Purworejo, namun saya berkesempatan mencicipi kuliner khas Purworejo yang sekian lama membuat penasaran: dawet ireng. Dari Masjid Agung Purworejo mengitari alun-alun setengah putarana, akan dijumpai kantor pos. Di halaman kantor pos itu ada beberapa lapak kuliner yang ramai dikunjungi. Di lapak dawet ireng, hal unik saya temukan. Begitu ramainya, sampai-sampai untuk mendapatkan pelayanan kita harus mengambil nomer antrian. Waktu itu saya mendapatkan nomer 94. Bayangkan, sudah ada 93 rombongan atau perseorangan yang antri untuk mencicipi semangkuk kecil dawet ireng asli maupun campur. Rasanya memang segar dan nagih, pantaslah kalau lapak yang walaupun kecil itu menyediakan nomer antrian.

 

 

dawet ireng khas Purworejo

20160712_124455

IMG-20140810-00157

 

di depan bedug Pendowo

Lebaran dan Cerianya Masa Bocah

Salah satu episode lebaran adalah nostalgia masa kecil. Lewat putri kecil saya, saya diingatkan pada masa-masa ceria ketika bocah. Kembang api, adalah satu benda khas yang hanya kami nikmati saat lebaran. Benda langka bagi kami waktu itu. ketika Janitra, putri saya, menyalakan kembang api di suatu malam, kenangan masa kecil itu hadir di benak saya.

20160707_181608

 

Lebaran selalu menyisakan kisah-kisah seru dan ceria yang pasti kita rindukan. Apa moment lebaranmu?

Tulisan ini diikutkan dalam Diary Hijaber Blog Competition.

Oiya, ikutan juga event Diary Hijaber yaitu Hari Hijaber Nasional yang akan diselenggarakan:

waktu: 07—09 Agustus 2016

tempat: Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta