[#TributeToPram] Membaca Pram, Menembus Lorong Waktu Sejarah

Membaca karya-karya Pram seperti menempuh sebuah perjalanan, menembus lorong waktu. Melintasi ruang waktu yang berbeda jauh dengan posisi saya sekarang. Pram  mengajak saya melihat bagaimana sepak terjang para nasionalis pioner seperti Wardi, Tjipto, Douwager, Siti Soendari, Mas Marco, dan akhir tragis seorang Raden Mas Minke.

Di suatu jarak, saya terguncang antara mundur dan maju dalam rentang waktu yang berbeda. Perjalanan bersama beliau di masa lalu membawa saya maju, pada masa ketika saya duduk di kelas berseragam putih abu-abu.

“Tidak benar kalau Budi Utomo adalah organisasi nasional yang pertama,” ujar guru sejarah SMU saya, tegas.

“Budi utomo belum bersifat nasionalis. Anggota-anggotanya belum menembus batas segala suku bangsa, para priyayi Jawa.”
Tiada komentar. Yang kami tahu, buku-buku sejarah yang kami baca menuliskan yang sebaliknya. Kami tak bisa membantah karena memang kami belum tahu apa-apa,manggut-manggut saja menerima ‘dongeng’ dari guru sejarah kami.

“Oo…jadi, buku sejarah yang kami baca salah ya?” itu saja yang ada di benak, selain kagum. Kok Bapak tahu sih?

“Lha, lalu organisasi nasional pertama itu apa?” tanya saya waktu itu dalam benak. Tanpa kronologi cerita yang lengkap-maklum Sejarah hanya dijatah 2 jam pelajaran dalam satu minggu-, guru sejarah menjawab pertanyaan saya, yang pasti juga menjadi pertanyaan teman-teman. Saya belum percaya 100% ketika pak Herman,guru saya, menyebutkan organisasi itu.

Setahun dua tahun kemudian, saya baru percaya sepenuhnya cerita guru saya ketika duduk di bangku kuliah. Ada sesal dan pengandaian, kenapa saya baru mengenal Pram sekarang? Tidak dulu ketika pak Herman berbicara tentang bapak-bapak para perintis bangsa itu. Saya mempercayai sepenuhnya dongeng itu ketika beliau mengajak saya menjelajah Bumi Manusia, mengenalkan saya pada Anak Semua Bangsa, menyusuri Jejak Langkah, dan bertahun-tahun kemudian,cukup lama jaraknya, malam-malam belakangan ini hingga tuntas tadi sore, memasuki Rumah Kaca.

Tentang rasa sesal itu, dan perkenalan saya dengan organisasi pertama itu, saya pernah menulisnya di buku harian,

31 Agustus 2006, Kamis malam

Biru langit, membaca buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer aku jadi tahu sejarah pendirian organisasi pada masa kolonial, bagaimana awal terbentuknya organisasi yang pertama di Indonesia, terutama organisasi Budi Utomo yang dalam sejarah disebut sebagai organisasi pertama di Indonesia.
Ada sedikit sesal dan pengandaian:coba aku baca buku-bukunya Pram sejak SMP, aku akan mengerti sejarah Indonesia sejak awal. Aku akan lebih tahu perjuangan anak bangsa pada masa kolonial, dan bagaimana organisasi Budi Utomo itu. Organisasi Budi Utomo bukan organisasi pertama yang didirikan oleh pribumi dan memiliki banyak kelemahan. Organisasi itu belum mengatasi semua golongan yang ada di Hindia sebab organisasi itu hanya untuk orang Jawa. Ironisnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan sentuhan kebudayaan Jawa sama sekali tidak ada dalam organisasi itu. Hal ini seperti yang diutarakan pak Herman, guru sejarah SMUku.

Apa yang saya catat di buku harian, saya temukan kembali di Rumah Kaca,
“Boedi Moeljo sebagai pendiri sekolah-sekolah dasar dengan nama yang sama, katanya adalah sebuah organisasi orang-orang Jawa tapi justru tidak memasukkan bahasa Jawa dalam kurikulumnya. Sebaliknya sejak kelas satu sampai tujuh murid-muridnya diajar menggunakan bahasa Belanda, sebagaimana berlaku pada H.I.S., E.L.S. dan H.S.C. Gubermen telah membangun H.C.S untuk anak-anak Tionghoa. Tapi apakah yang telah dilakukannya untuk Pribumi? Tak ada! Padahal itulah justru menjadi kewajiban Gubermen untuk mendirikannya. Tapi mengapa sejak 1909 yang membangunkan sekolah dasar gaya Eropa untuk Pribumi justru Boedi Moeljo? Mengapa Boedi Moeljo mengambil alih kewajiban yang sebenarnya harus dilakukan Gubermen?” (hal.451)
“Kasihan itu anggota-anggota yang telah membayar uang pangkal seringgit dan iuran setiap bulan. Anak-anak mereka tidak dituntun ke arah cinta pada bangsa,tapi pada kantor-kantor Gubermen! Kasihan! Sungguh-sungguh kasihan.” (
hal 451–452).

***

Minke. Saya mengenal nama itu ketika Pram  mengajak saya menjelajah Bumi Manusia. Saya bertanya-tanya, sangat penasaran, siapakah sosok Minke sebenarnya, sosok yang dalam Rumah Kaca diceritakan seperti ini: “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Bukankah dia sendiri pernah menulis:jangan sepelekan kemampuan satu pribadi? Tak berlebih-lebihan bila aku katakan:pribadi di sampingku ini juga punya kekuatan dahsyat seperti samudra,seperti gunung berapi. Sekiranya ia bukan manusia alam, sekiranya ia menyadari kekuatannya, mungkin juga Hindia akan memiliki seorang presiden bangsa Asia sesudah Sun Yat Sen dan Aquinaldo.( hal 549).

Separuh rasa penasaran saya terjawab di suatu sore ketika menyimak siaran Seputar Indonesia di RCTI. Ya, saya begitu bahagia menyimak berita itu sampai-sampai segera mencatatnya di buku harian. Sayang sekali, belakangan ngubek-ubek semua buku harian catatan itu tidak saya temukan (jadi berandai-andai, coba buku harian saya dilengkapi mesin pencari semacam google,hehe). Seputar Indonesia memberikan sebuah laporan tentang tokoh pers pertama di Indonesia, seorang jurnalis yang tidak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, kalau boleh dibilang dilupakan! Nama itu sebenarnya tak begitu asing, Tirto Adi Suryo. Nama surat kabar yang dipimpinnya, Medan Prijaji- nama belakangnya mohon maaf kalau salah karena cat ga ketemu- seketika mengingatkan saya pada Minke! Dialah pendiri Sarekat Priyayi  dan penerbitan Medan. Cocok sekali. Feel saya mengatakan, Minke adalah Tirto Adi Suryo. Raden Mas Tirto Adi Suryo adalah Raden Mas Minke.

Mulai saat itu, saya menganggap dua orang itu adalah satu sosok. Tapi, tanpa bukti otentik, saya tak berani bilang dengan keyakinan penuh. Sampai beberapa bulan lalu, dengan teman kantor yang juga penggemar Pram, saya mengobrol tentang beliau, sekaligus waktu itu akhirnya PD pinjam Rumah Kaca,hehe. Teman saya yang memang pelahap buku itu membenarkan anggapan saya. Di Rumah Kaca ini pula, saya temukan kebenaran itu. Beliau yang tak pernah menyebut nama asli Raden Mas Minke di 3 buku sebelumya, di tetralogi terakhir ini beliau menyebutnya, hanya saja dengan inisial: T.A.S!

T.A.S yang di  buku sebelumnya diceritakan dengan begitu berjaya-  di Rumah Kaca ia temui segala keironisan dari bangsanya. Terbuang dan ketika kembali, ia tak lagi menemukan bangsanya sebagai ‘rumahnya’. Tangan seorang pribumi yang mengabdi pada kolonial tidak saja merumahkacan segala gerak-geriknya tetapi semua aktivis pergerakan penerusnya. Sayang, ketika kembali kesunyian yang menyergapnya.
“Tentulah pada malam seorang diri di sebuah dangau itu ia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Dan betapa kedekut Tanah Air dan bangsanya pada dirinya. Ia yang begitu terkenal lima tahun yang lalu, kini sudah terlupakan, terlempar seperti sepotong gombal di pojokan. Ia yang hidup dan bisa hidup hanya dari memimpin domba-dombanya. Sekarang tak seekor domba pun akan dipimpinnya.”(hal 576)

Ia yang merupakan tokoh pers pertama, di masa akhir hidupnya justru tak tercatat: “Bahwa kepulangannya ke Jawa tidak pernah diketahui oleh pers adalah berkat pengekanganku yang cukup ketat. Ia tak boleh menarik perhatian umum lagi. Ia harus tetap terpisah dari anak-sulungnya, dunia jurnalistik. Sungguh satu ironi, seorang pelopor pers pribumi yang tidak mendapatkan tempat dalam pers pada salah satu bagian terpenting dalam hidupnya. Oetosan Hindia, koran Syarikat yang terbit di Surabaya sama sekali tidak tahu menahu tentang kedatangannya.“(hal 589)

Hampir menangis saya menyimak akhir hidup R.M. Minke. Berpuluh tahun lalu R.M Minke wafat tapi rasa kehilangan itu saya rasakan begitu dalam. Tercekat dan tidak siap saya membaca bagian akhir hidupnya: “Begitulah akhir hidup guruku, meninggalkan pada dunia hanya bekas-bekas jejak dan langkahnya. Ia pergi dalam kesepian–ia yang sudah dilupakan, dilupakan sudah sejak hidupnya. Ia seorang pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Tak pernah terjadi yang demikian di Eropa. Mungkin bisa terjadi dan telah terjadi hanya di Hindia, di mana tulang belukang pun dengan cepatnya dihancurkan oleh kelembaban. Bagaimana pun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut.“(hal.594)

Biar dunia melupakanmu, tapi saya telah mencatat namamu dalam hidup saya! Terima kasih kepada Pramoedya Ananta Toer yang memperkenalkan saya pada sosok luar biasa itu, memperkenalkan saya pada sejarah bangsa, membukakan cakrawala berpikir dan menambah wawasan kebangsaan.

tulisan ini diikutkan dalam Giveaway #IWritetoInspire

[Mozaik Blog Competition] Sebermula Membaca, Kemudian Karya

April , 2006

Di UPT Perpustakaan Pusat siang itu, setelah mencatat beberapa kalimat dari buku Pak Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern (2002), saya membaca buku kumpulan cerpen Radhar Panca Dahana berjudul Masa Depan Kesunyian. Hanya satu cerpen yang sempat saya baca. Sebelum membaca cerpen yang berjudul “Menjadi Djaka”, saya membaca pengantar buku yang ditulis oleh pengarangnya sendiri. Baru membaca kalimat pertama, tiba-tiba melesat sebuah ide. Ide itu juga datang karena kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah puisi Faiz–penyair cilik favorit saya, putra dari Helvy Tiana Rosa– yang pernah saya baca di blognya. Sudah lama saya tidak menulis puisi. Alhamdullilah, melesat sebuah ide untuk dijadikan puisi. Nggak puitis sih, tapi saya besyukur bisa menulisnya:

aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari kata-kata yang berlari
dari angan dan mimpi
semesta kujaring lewat pendengaran, penglihatan, dan hati
aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari limpahan rasa
sebutir keyakinan
yang Ia tiup dan berdenyut
dalam qalbu

Puisi itu tidak selesai dalam sekali buat. Saya menambah di sana-sini disela-sela membaca buku Sastra Baru Sastra Indonesia I oleh Teeuw. Asyik juga membaca kritik sastra atas karya-karya Pramoedya( bab ini yang sempat saya baca). Buku lain yang saya baca adalah buku Taufik Ismail Dalam Konstelasi Pendidikan Sastra karya Suminto A Sayuti ( buku ini juga saya baca selektif). Puisi-puisi Taufik yang dikutip dalam buku itu, subhanallah, bagus-bagus dan menambah inspirasi.

***
Saya tidak mahir dan jarang menulis puisi. Beruntung sekali kalau saya bisa membuat puisi yang benar-benar jadi. Bahkan setelah puisi itu jadi, saya malah merasa heran, kok bisa membuat puisi seperti itu? Seperti juga puisi di atas, ada peran buku yang membangkitkan inspirasi dan memberi masukan bagi saya ketika menulis. Saya ingat, ada bebarapa puisi yang saya buat karena pada waktu itu saya sedang membaca sebuah buku. Pertama, puisi yang saya buat tatkala membaca buku Aku karya Sumandjaya (bukan karena ikut-ikutkan Rangga dan Cinta lho, yang karena membaca buku itu trus bikin puisi). Saya suka pada puisi-puisi Chairil Anwar dalam buku itu. Asyik: kata-katanya singkat, padat jelas, terkesan bahasa percakapan, dan jauh dari kiasan yang kadang susah dimengerti.

“Coba aku bisa bikin puisi seperti Chairil,” pikir saya waktu itu. Lalu saya mencari-cari, pengalaman apa yang bisa saya tulis dalam bentuk puisi? Saya terus berpikir dan mengingat-ingat. Entah kenapa, saya lupa, tba-tiba saya menghadirkan kembali pengalaman jatuh cinta ketika duduk di bangku sekolah menengah. Yang saya ingat dari pengalaman itu, saya tidak punya keberanian untuk menatap mata teman yang saya suka. Bahkan saya takut menatap guru yang memberikan pelajaran di depan kelas. Saya takut guru favorit saya yang memang terkenal care itu mengetahui ada yang bergejolak dalam hati saya lewat mata. Pengalaman jatuh cinta itu seperti benar-benar hadir di depan saya. Maka setelah coret sana coret sini, edit sana edit sini, sambil terus membaca puisi-puisi Chairil, jadilah puisi itu:

jatuh cinta I

takut rahasia batinku tercuri
menatap maanya kutak berani
sebab ia pun akan terlonjak sendiri
menyaksikan dirinya telah menjadi ombak dalam bahtera jiwa ini
deburannya sungguh kunikmati
meriakkan airnya menjadi:
buih-buih kangen
buih-buih angan

Beberapa bulan kemudian, saat saya membaca buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono, timbul rasa iri dan keinginan untuk membuat puisi. Saya kembali berpikir dan mencari. Yang hadir kemudian lagi-lagi pengalaman jatuh cinta. Puisi yang saya tulis hampir sama dengan puisi jatuh cinta pertama, bedanya saya tidak menulis/berbicara sebagai orang pertama.

jatuh cinta II

telah terbit bintang di sepasang telaga beningnya
yang padanya kejujuran bisa berkaca
adanya ia di tepi telaga
adalah energi yang membuatnya berpijar senantiasa

Dari buku yang sama, buku Sapardi, saya mendapatkan ide untuk membuat satu lagi puisi. Hari itu teman duduk SMU saya berulang tahun. Saya ingin memberinya kado sebuah puisi (sayangnya, saat itu puisi tersebut belum saya kirimkan karena subuah alasan, puisi itu kemudian saya hadiahkan pada teman saya yang lain.) Saat keinginan itu muncul, segera saya ambil buku Perahu Kertas dan saya baca beberapa puisinya sambil terus berpikir. Kata-kata apa yang akan saya pilih ? Alhamdulillah, setelah corat-coret, jadilah puisi itu

sajak hari lahir

waktu kembali memetik satu daun
dari pohon kehidupanmu
akankah ke bumi ia kembali?
menjadi pupuk bagi hidup
mendewasakan diri
ataukah hanya melayang sebagai daun kering?
terbang bersama angin
hilang bersama debu

***
Di sela-sela meng-entry buku di perpustakaan fakultas sebagai tenaga freelance, seringkali saya membuka-buka buku dan membaca sekilas buku yang menarik perhatian. Suatu waktu, ada buku yang membuat keingintahuan saya bangkit. Buku itu berjudul Sastra Melawan Slogan karya Abdul Wahid BS. Saya buka-buka secara acak untuk mengetahui isi buku itu. Tiba pada suatu dengan sub judul “Ritus Bahasa”, saya tersenyum membaca dua paragraf dari sub judul itu. Baiklah, saya salin dua paragraf itu:

Syahdan, Dylon Thomas, tatkala akan menulis sajak, dijajarkannya sajak karya Charles Boudelaire, Arthur Rimboud, Paul Verlaine, John Done dan sajak lain yang ia gandrungi. Dia melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap sajak dihadapannya itu, seakan ia seorang ahli kimia kata-kata, campur ini campur itu. Begitulah upacara penemuan bahasa atau ritus bahasa ia jalani, sampai sajak ia hasilkan.

Apakah ia melakukan penyontekan? Mulanya iya, tapi ritus itu menadi proses, dalam menjalani ritus bahasa ia leka (hanyut) kediriannya, tatkala sajak jadi, ia tersentak, “dalam sajak, aku ada.” Sejarah mencatat, ia salah seorang sastrawan penting Inggris dengan hasil sastra yang diperhitungkan dunia, tanpa kritikus harus menilainya sebagai plagiat Boudelaire.

Ah, ternyata bukan hanya saya yang ketika belajar bagaimana menulis puisi harus membuka-buka dan membaca buku-buku puisi karya sastrawan favorit. Bahkan sastrawan sekaliber Dylon Thomas melakukan apa yang disebut ritus bahasa. Saya memang belum kenal siapa Dylon Thomas, tapi paling tidak saya belajar darinya dari dua paragraf yang saya kutip tadi.

***

Agustus 2010

Multiply heboh! Lomba flash fiction yang diadakan mbak Intan berhasil menyedot perhatian ratusan MPers, saya salah satunya! Penasaran sekali dengan lomba dengan 3 tema itu: ayah dan anak, Ramadhan, dan 17 Agustus. Rasanya tertantang ingin menaklukan lomba itu: bukan kemenangan akan juara, tapi kemenangan berhasil eksis! Ikut saja.

Setelah melewati fase cenat-cenut dan perjuangan rasa malas serta ketidaksabaran dalam proses menulis, Alhamdulillah 3 FF berhasil saya ikutkan,meski ketiganya tidak masuk nominasi,. Buku dan kegiatan membaca tak bisa saya lepaskan dari proses itu. Saya bisa menulis ketiganya dengan sebelumnya menemukan ide dari membaca. Ketiga FF yang saya tulis punya sumber rujukan sendiri-sendiri:

FF #1 : “Andaikan Aku di Palestina”

Judul itu saya tulis dengan ingatan akan sajak Goenawan Mohamad yang populer: “Andaikan Aku di Sarajevo”. Sajak itu bertahun-tahun lalu pernah saya baca, isinya lupa tapi judulnya teramat lekat dalam ingatan. FF yang bercerita tentang maraknya petasan di bulan Ramadhan dikontraskan dengan bom jihad di Palestina itu saya lengkapi dengan cuplikan puisi dari note di Facebook Abdul Hadi WM.

FF #2: “Kukirimkan Padamu”

Lagi-lagi puisi, kali ini puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kukirimkan Padamu” dari buku Perahu Kertas—lagi!–. Puisi tersebut bercerita tentang kartu pos yang dikirim seseorang kepada istrinya. Di FF saya, puisi yang ditulis dalam kartu pos itu dikirim ayah kepada anaknya. Sang ayah adalah wartawan yang kerap bertugas ke luar (negeri). Si anak selalu meminta cerita dari ayahnya. Sang ayah yang tidak punya waktu banyak memakai cara jitu: kartu pos.
Di bagian ending–maksa sih– si anak menunggu kartu pos dari ayahnya. Ayahnya berada di Kabul, Afganistan yang rawan. Tak mendapatkan kabar dari ayahnya, dia search berita dari internet dan mengklik sebuah video peledakan bom. Ada sepotong tangan dengan arloji dan tanda lahir yang dikenalnya, menggenggam selembar kartu pos. Bagaimana gambaran peledakan dan situasi Kabul saya dapatkan dari buku Selimut Debu tulisan Agustinus Wibowo.

FF #3: “Di Balik Kaca Merdeka”

Ini FF terakhir yang saya buat. Saya tidak bisa tenang sebelum menulis tema 17 Agustus. Saya ingin menyampaikan makna merdeka. Berkali-kali coret-coret namun tidak selesai, pusing. Tapi saya ingin sekali menaklukan tantangan itu. Maka saya ambil Catatan Pinggir 2 punya Goenawan Mohamad untuk mendapatkan referensi mengenai makna merdeka atau percikan-percikan cerita Proklamasi. Barangkali ada.

Saya mulai membaca dengan menelusuri dari indeks Soekarno. Tak mendapatkan apa yang saya harapkan, saya kemudian membuka-buka buku itu acak. Ada bab Kemerdekaan. Mantabs! Saya mendapatkannya! Di banyak negara, termasuk Indonesia tentu, pelarangan maupun sensor itu selalu ada. Lalu ingatan saya melayang pada Gurita Cikeas, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan majalah Tempo yang pernah dibredel. Dari situ kemudian saya mulai menulis. Ada buku yang terbit di hari 17 Agustus sebagai bentuk perayaan-bagi penulis buku itu-, namun di hari itu juga bukunya ditarik. Ketika selesai menuliskan cerita itu, saya belum memiliki judul. Judul buku rekaan dalam cerita itu pun belum- sekaligus akan menjadi judul FF-. Judul itu harus mewakili fatamorgana sebuah kemerdekaan. Pikiran seketika melesat pada buku karya Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Akhirnya jadilah judul FF di atas. Merdeka hanya di balik kaca, benarkah kita sudah merdeka?

Tak bisa dielakkan, buku menjadi inspirasi besar untuk karya-karya kecil saya, karya pribadi yang belum dikenal pembaca di luar. Sebab begitu besarnya insiprasi dari buku-buku yang berjejer di rak, akan saya tambah seiring dengan harapan akan karya-karya kecil lain yang terus tumbuh. Tak peduli dengan karya-karya kecil belum ada yang go public, saya akan terus menulis beriringan dengan menyapa aksara dalam buku-buku.

#Ikut serta meramaikan Mozaik Blog Competition: Arti Buku Buatku

Catatan:
Tulisan di bagian April 2006 hasil daur ulang dari tulisan di blog lama: http://boemisayekti.blog.friendster.com/2006/04/buku-dan-inspirasi/

Ia yang Enggan Menyandang Gelar

Meskipun peringatan maupun perayaan hari Kartini sudah lewat, dalam upacara tadi pagi pembina upacara merefleksi peringatan hari Kartini. Refleksi peran Kartini dalam ‘amanat pembina upacara’ tersebut baru tadi pagi dilaksanakan sebab Sabtu lalu sekolah kami tidak mengadakan acara peringatan. Dalam menyebut nama Kartini, pembina upacara menyebutnya lengkap beserta gelar kebangsawanannya, Raden Ajeng. Berkali-kali mendengar nama beserta gelar itu, telinga saya kok rasanya ‘keri’. (Padanan kata keri untuk Bahasa Indonesia apa ya yang paling tepat? Geli buat saya belum mewakili :D).

Saya teringat buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, juga cuplikan surat Kartini yang pernah saya baca. Dalam surat kepada Stella, tertanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis:
“Aku seorang pekerja biasa, Stella. Pekerja biasa. Ya, namaku hanya Kartini. Sebab itu, panggilah aku Kartini saja, tanpa gelar, tanpa jabatan.”
Kartini menentang segala bentuk feodalisme, itu sebabnya ia hanya mau dipanggil Kartini saja. Panggil Aku Kartini Saja, dari ucapan Kartini sendiri kemudian dipilih Pram untuk judul buku biografi Kartini sebab penulis itu sama-sama menentang feodalisme.

[repost] Dalam Rumah Kaca

Karena [ternyata] semalam postingan yang niatnya satu tulisan terpecah karena keterbatasan karakter dalam hp, maka 2 tulisan itu saya satukan

Rumah Kaca: Akhir Tragis Seorang Minke

Perjalanan sejauh 675 km itu seperti menembus lorong waktu. Melintasi ruang waktu yang berbeda jauh dengan posisi saya sekarang. Beliau mengajak saya melihat bagaimana sepak terjang para nasionalis pioner seperti Wardi, Tjipto, Douwager, Siti Soendari, Mas Marco, dan akhir tragis seorang Raden Mas Minke.

Di suatu jarak, saya terguncang antara mundur dan maju dalam rentang waktu yang berbeda. Perjalanan bersama beliau di masa lalu membawa saya maju, pada masa ketika saya duduk di kelas berseragam putih abu-abu.
“Tidak benar kalau Budi Utomo adalah organisasi nasional yang pertama,” ujar guru sejarah SMU saya, tegas.
“Budi utomo belum bersifat nasionalis. Anggota-anggotanya belum menembus batas segala suku bangsa, para priyayi Jawa.”
Tiada komentar. Yang kami tahu, buku-buku sejarah yang kami baca menuliskan yang sebaliknya. Kami tak bisa membantah karena memang kami belum tahu apa-apa,manggut-manggut saja menerima ‘dongeng’ dari guru sejarah kami.
“Oo…jadi, buku sejarah yang kami baca salah ya?” itu saja yang ada di benak, selain kagum. Kok Bapak tahu sih?
“Lha, lalu organisasi nasional pertama itu apa?” tanya saya waktu itu dalam benak. Tanpa kronologi cerita yang lengkap-maklum Sejarah hanya dijatah 2 jam pelajaran dalam satu minggu-, guru sejarah menjawab pertanyaan saya, yang pasti juga menjadi pertanyaan teman-teman. Saya belum percaya 100% ketika pak Herman,guru saya, menyebutkan organisasi itu.


Setahun dua tahun kemudian, saya baru percaya sepenuhnya cerita guru saya ketika duduk di bangku kuliah. Ada sesal dan pengandaian, kenapa saya baru mengenal Pram sekarang? Tidak dulu ketika pak Herman berbicara tentang bapak-bapak para perintis bangsa itu. Saya mempercayai sepenuhnya dongeng itu ketika beliau mengajak saya menjelajah Bumi Manusia, mengenalkan saya pada Anak Semua Bangsa, menyusuri Jejak Langkah, dan bertahun-tahun kemudian,cukup lama jaraknya, malam-malam belakangan ini hingga tuntas tadi sore, memasuki Rumah Kaca.

Tentang rasa sesal itu, dan perkenalan saya dengan organisasi pertama itu, saya pernah menulisnya di buku harian,

31 Agustus 2006, Kamis malam

Biru langit, membaca buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer aku jadi tahu sejarah pendirian organisasi pada masa kolonial, bagaimana awal terbentuknya organisasi yang pertama di Indonesia, terutama organisasi Budi Utomo yang dalam sejarah disebut sebagai organisasi pertama di Indonesia.
Ada sedikit sesal dan pengandaian:coba aku baca buku-bukunya Pram sejak SMP, aku akan mengerti sejarah Indonesia sejak awal. Aku akan lebih tahu perjuangan anak bangsa pada masa kolonial, dan bagaimana organisasi Budi Utomo itu. Organisasi Budi Utomo bukan organisasi pertama yang didirikan oleh pribumi dan memiliki banyak kelemahan. Organisasi itu belum mengatasi semua golongan yang ada di Hindia sebab organisasi itu hanya untuk orang Jawa. Ironisnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan sentuhan kebudayaan Jawa sama sekali tidak ada dalam organisasi itu. Hal ini seperti yang diutarakan pak Herman, guru sejarah SMUku.

Apa yang saya catat di buku harian, saya temukan kembali di Rumah Kaca,
“Boedi Moeljo sebagai pendiri sekolah-sekolah dasar dengan nama yang sama, katanya adalah sebuah organisasi orang-orang Jawa tapi justru tidak memasukkan bahasa Jawa dalam kurikulumnya. Sebaliknya sejak kelas satu sampai tujuh murid-muridnya diajar menggunakan bahasa Belanda, sebagaimana berlaku pada H.I.S., E.L.S. dan H.S.C. Gubermen telah membangun H.C.S untuk anak-anak Tionghoa. Tapi apakah yang telah dilakukannya untuk Pribumi? Tak ada! Padahal itulah justru menjadi kewajiban Gubermen untuk mendirikannya. Tapi mengapa sejak 1909 yang membangunkan sekolah dasar gaya Eropa untuk Pribumi justru Boedi Moeljo? Mengapa Boedi Moeljo mengambil alih kewajiban yang sebenarnya harus dilakukan Gubermen?” (hal.451)
“Kasihan itu anggota-anggota yang telah membayar uang pangkal seringgit dan iuran setiap bulan. Anak-anak mereka tidak dituntun ke arah cinta pada bangsa,tapi pada kantor-kantor Gubermen! Kasihan! Sungguh-sungguh kasihan.” (hal 451–452).

***

Minke. Saya mengenal nama itu ketika beliau mengajak saya menjelajah Bumi Manusia. Saya bertanya-tanya, sangat penasaran, siapakah sosok Minke sebenarnya, sosok yang dalam Rumah Kaca diceritakan seperti ini: “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Bukankah dia sendiri pernah menulis:jangan sepelekan kemampuan satu pribadi? Tak berlebih-lebihan bila aku katakan:pribadi di sampingku ini juga punya kekuatan dahsyat seperti samudra,seperti gunung berapi. Sekiranya ia bukan manusia alam, sekiranya ia menyadari kekuatannya, mungkin juga Hindia akan memiliki seorang presiden bangsa Asia sesudah Sun Yat Sen dan Aquinaldo.( hal 549).

Separuh rasa penasaran saya terjawab di suatu sore ketika menyimak siaran Seputar Indonesia di RCTI. Ya, saya begitu bahagia menyimak berita itu sampai-sampai segera mencatatnya di buku harian. Sayang sekali, belakangan ngubek-ubek semua buku harian catatan itu tidak saya temukan (jadi berandai-andai, coba buku harian saya dilengkapi mesin pencari semacam google,hehe). Seputar Indonesia memberikan sebuah laporan tentang tokoh pers pertama di Indonesia, seorang jurnalis yang tidak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, kalau boleh dibilang dilupakan! Nama itu sebenarnya tak begitu asing, Tirto Adi Suryo. Nama surat kabar yang dipimpinnya, Medan Prijaji- nama belakangnya mohon maaf kalau salah karena cat ga ketemu- seketika mengingatkan saya pada Minke! Dialah pendiri Syarikat Islam dan penerbitan Medan. Cocok sekali. Feel saya mengatakan, Minke adalah Tirto Adi Suryo. Raden Mas Tirto Adi Suryo adalah Raden Mas Minke.

Mulai saat itu, saya menganggap dua orang itu adalah satu sosok. Tapi, tanpa bukti otentik, saya tak berani bilang dengan keyakinan penuh. Sampai beberapa bulan lalu, dengan teman kantor yang juga penggemar Pram, saya mengobrol tentang beliau, sekaligus waktu itu akhirnya PD pinjam Rumah Kaca,hehe. Teman saya yang memang pelahap buku itu membenarkan anggapan saya. Di Rumah Kaca ini pula, saya temukan kebenaran itu. Beliau yang tak pernah menyebut nama asli Raden Mas Minke di 3 buku sebelumya, di tetralogi terakhir ini belia
u menyebutnya, hanya saja dengan inisial: T.A.S!

T.A.S yang di tiga buku sebelumnya diceritakan dengan begitu berjaya- 2 yang pertama atau tiga ya? Sudah lama dan sayang tak tercatat jadi lupa-, di Rumah Kaca ia temui segala keironisan dari bangsanya. Terbuang dan ketika kembali, ia tak lagi menemukan bangsanya sebagai ‘rumahnya’. Tangan seorang pribumi yang mengabdi pada kolonial tidak saja merumahkacan segala gerak-geriknya tetapi semua aktivis pergerakan penerusnya. Sayang, ketika kembali kesunyian yang menyergapnya.
“Tentulah pada malam seorang diri di sebuah dangau itu ia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Dan betapa kedekut Tanah Air dan bangsanya pada dirinya. Ia yang begitu terkenal lima tahun yang lalu, kini sudah terlupakan, terlempar seperti sepotong gombal di pojokan. Ia yang hidup dan bisa hidup hanya dari memimpin domba-dombanya. Sekarang tak seekor domba pun akan dipimpinnya.”(hal 576)

Ia yang merupakan tokoh pers pertama, di masa akhir hidupnya justru tak tercatat: “Bahwa kepulangannya ke Jawa tidak pernah diketahui oleh pers adalah berkat pengekanganku yang cukup ketat. Ia tak boleh menarik perhatian umum lagi. Ia harus tetap terpisah dari anak-sulungnya, dunia jurnalistik. Sungguh satu ironi, seorang pelopor pers pribumi yang tidak mendapatkan tempat dalam pers pada salah satu bagian terpenting dalam hidupnya. Oetosan Hindia, koran Syarikat yang terbit di Surabaya sama sekali tidak tahu menahu tentang kedatangannya.“(hal 589)

Hampir menangis saya menyimak akhir hidup R.M. Minke. Berpuluh tahun lalu R.M Minke wafat tapi rasa kehilangan itu saya rasakan begitu dalam. Tercekat dan tidak siap saya membaca bagian akhir hidupnya: “Begitulah akhir hidup guruku, meninggalkan pada dunia hanya bekas-bekas jejak dan langkahnya. Ia pergi dalam kesepian–ia yang sudah dilupakan, dilupakan sudah sejak hidupnya. Ia seorang pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Tak pernah terjadi yang demikian di Eropa. Mungkin bisa terjadi dan telah terjadi hanya di Hindia, di mana tulang belukang pun dengan cepatnya dihancurkan oleh kelembaban. Bagaimana pun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut.“(hal.594)

Biar dunia melupakanmu, tapi saya telah mencatat namamu dalam hidup saya! Terima kasih kepada Pramoedya Ananta Toer yang memperkenalkan saya pada sosok luar biasa itu. Tak terlupakan juga, guru sejarah SMU 2 Magelang, bapak Herman.

Kamis, 20 Mei 2010, 22:10.

foto dari : http://khatulistiwa.net/allrecomend.php?c=92&p=1298

Dalam Rumah Kaca: Akhir Tragis Seorang Minke

Ya, saya begitu bahagia menyimak berita itu sampai-sampai segera mencatatnya di buku harian. Sayang sekali, belakangan ngubek-ubek semua buku harian catatan itu tidak saya temukan (jadi berandai-andai, coba buku harian saya dilengkapi mesin pencari semacam google,hehe). Seputar Indonesia memberikan sebuah laporan tentang tokoh pers pertama di Indonesia, seorang jurnalis yang tidak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, kalau boleh dibilang dilupakan! Nama itu sebenarnya tak begitu asing, Tirto Adi Suryo. Nama surat kabar yang dipimpinnya, Medan Prijaji- nama belakangnya mohon maaf kalau salah karena cat ga ketemu- seketika mengingatkan saya pada Minke! Dialah pendiri Syarikat Islam dan penerbitan Medan. Cocok sekali. Feel saya mengatakan, Minke adalah Tirto Adi Suryo. Raden Mas Tirto Adi Suryo adalah Raden Mas Minke.

Mulai saat itu, saya menganggap dua orang itu adalah satu sosok. Tapi, tanpa bukti otentik, saya tak berani bilang dengan keyakinan penuh. Sampai beberapa bulan lalu, dengan teman kantor yang juga penggemar Pram, saya mengobrol tentang beliau, sekaligus waktu itu akhirnya PD pinjam Rumah Kaca,hehe. Teman saya yang memang pelahap buku itu membenarkan anggapan saya. Di Rumah Kaca ini pula, saya temukan kebenaran itu. Beliau yang tak pernah menyebut nama asli Raden Mas Minke di 3 buku sebelumya, di tetralogi terakhir ini beliau menyebutnya, hanya saja dengan inisial: T.A.S!

T.A.S yang di tiga buku sebelumnya diceritakan dengan begitu berjaya- 2 yang pertama atau tiga ya? Sudah lama dan sayang tak tercatat jadi lupa-, di Rumah Kaca ia temui segala keironisan dari bangsanya. Terbuang dan ketika kembali, ia tak lagi menemukan bangsanya sebagai ‘rumahnya’. Tangan seorang pribumi yang mengabdi pada kolonial tidak saja merumahkacan segala gerak-geriknya tetapi semua aktivis pergerakan penerusnya. Sayang, ketika kembali kesunyian yang menyergapnya.
“Tentulah pada malam seorang diri di sebuah dangau itu ia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Dan betapa kedekut Tanah Air dan bangsanya pada dirinya. Ia yang begitu terkenal lima tahun yang lalu, kini sudah terlupakan, terlempar seperti sepotong gombal di pojokan. Ia yang hidup dan bisa hidup hanya dari memimpin domba-dombanya. Sekarang tak seekor domba pun akan dipimpinnya.”(hal 576)

Ia yang merupakan tokoh pers pertama, di masa akhir hidupnya justru tak tercatat: “Bahwa kepulangannya ke Jawa tidak pernah diketahui oleh pers adalah berkat pengekanganku yang cukup ketat. Ia tak boleh menarik perhatian umum lagi. Ia harus tetap terpisah dari anak-sulungnya, dunia jurnalistik. Sungguh satu ironi, seorang pelopor pers pribumi yang tidak mendapatkan tempat dalam pers pada salah satu bagian terpenting dalam hidupnya. Oetosan Hindia, koran Syarikat yang terbit di Surabaya sama sekali tidak tahu menahu tentang kedatangannya.”(hal 589)

Hampir menangis saya menyimak akhir hidup R.M. Minke. Berpuluh tahun lalu R.M Minke wafat tapi rasa kehilangan itu saya rasakan begitu dalam. Tercekat dan tidak siap saya membaca bagian akhir hidupnya: “Begitulah akhir hidup guruku, meninggalkan pada dunia hanya bekas-bekas jejak dan langkahnya. Ia pergi dalam kesepian–ia yang sudah dilupakan, dilupakan sudah sejak hidupnya. Ia seorang pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Tak pernah terjadi yang demikian di Eropa. Mungkin bisa terjadi dan telah terjadi hanya di Hindia, di mana tulang belukang pun dengan cepatnya dihancurkan oleh kelembaban. Bagaimana pun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut.”(hal.594)

Biar dunia melupakanmu, tapi saya telah mencatat namamu dalam hidup saya! Terima kasih kepada Pramoedya Ananta Toer yang memperkenalkan saya pada sosok luar biasa itu. Tak terlupakan juga, guru sejarah SMU 2 Magelang, bapak Herman.

Kamis, 20 Mei 2010, 22:10.

Dalam Rumah Kaca. . .

Perjalanan sejauh 675 km itu seperti menembus lorong waktu. Melintasi ruang waktu yang berbeda jauh dengan posisi saya sekarang. Beliau mengajak saya melihat bagaimana sepak terjang para nasionalis pioner seperti Wardi, Tjipto, Douwager, Siti Soendari, Mas Marco, dan akhir tragis seorang Raden Mas Minke.

Di suatu jarak, saya terguncang antara mundur dan maju dalam rentang waktu yang berbeda. Perjalanan bersama beliau di masa lalu membawa saya maju, pada masa ketika saya duduk di kelas berseragam putih abu-abu.
“Tidak benar kalau Budi Utomo adalah organisasi nasional yang pertama,” ujar guru sejarah SMU saya, tegas.
“Budi utomo belum bersifat nasionalis. Anggota-anggotanya belum menembus batas segala suku bangsa, para priyayi Jawa.”
Tiada komentar. Yang kami tahu, buku-buku sejarah yang kami baca menuliskan yang sebaliknya. Kami tak bisa membantah karena memang kami belum tahu apa-apa,manggut-manggut saja menerima ‘dongeng’ dari guru sejarah kami.
“Oo…jadi, buku sejarah yang kami baca salah ya?” itu saja yang ada di benak, selain kagum. Kok Bapak tahu sih?
“Lha, lalu organisasi nasional pertama itu apa?” tanya saya waktu itu dalam benak. Tanpa kronologi cerita yang lengkap-maklum Sejarah hanya dijatah 2 jam pelajaran dalam satu minggu-, guru sejarah menjawab pertanyaan saya, yang pasti juga menjadi pertanyaan teman-teman. Saya belum percaya 100% ketika pak Herman,guru saya, menyebutkan organisasi itu.

Setahun dua tahun kemudian, saya baru percaya sepenuhnya cerita guru saya ketika duduk di bangku kuliah. Ada sesal dan pengandaian, kenapa saya baru mengenal Pram sekarang? Tidak dulu ketika pak Herman berbicara tentang bapak-bapak para perintis bangsa itu. Saya mempercayai sepenuhnya dongeng itu ketika beliau mengajak saya menjelajah Bumi Manusia, mengenalkan saya pada Anak Semua Bangsa, menyusuri Jejak Langkah, dan bertahun-tahun kemudian,cukup lama jaraknya, malam-malam belakangan ini hingga tuntas tadi sore, memasuki Rumah Kaca.

Tentang rasa sesal itu, dan perkenalan saya dengan organisasi pertama itu, saya pernah menulisnya di buku harian,

31 Agustus 2006, Kamis malam

Biru langit, membaca buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer aku jadi tahu sejarah pendirian organisasi pada masa kolonial, bagaimana awal terbentuknya organisasi yang pertama di Indonesia, terutama organisasi Budi Utomo yang dalam sejarah disebut sebagai organisasi pertama di Indonesia.
Ada sedikit sesal dan pengandaian:coba aku baca buku-bukunya Pram sejak SMP, aku akan mengerti sejarah Indonesia sejak awal. Aku akan lebih tahu perjuangan anak bangsa pada masa kolonial, dan bagaimana organisasi Budi Utomo itu. Organisasi Budi Utomo bukan organisasi pertama yang didirikan oleh pribumi dan memiliki banyak kelemahan. Organisasi itu belum mengatasi semua golongan yang ada di Hindia sebab organisasi itu hanya untuk orang Jawa. Ironisnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan sentuhan kebudayaan Jawa sama sekali tidak ada dalam organisasi itu. Hal ini seperti yang diutarakan pak Herman, guru sejarah SMUku.

Apa yang saya catat di buku harian, saya temukan kembali di Rumah Kaca,
“Boedi Moeljo sebagai pendiri sekolah-sekolah dasar dengan nama yang sama, katanya adalah sebuah organisasi orang-orang Jawa tapi justru tidak memasukkan bahasa Jawa dalam kurikulumnya. Sebaliknya sejak kelas satu sampai tujuh murid-muridnya diajar menggunakan bahasa Belanda, sebagaimana berlaku pada H.I.S., E.L.S. dan H.S.C. Gubermen telah membangun H.C.S untuk anak-anak Tionghoa. Tapi apakah yang telah dilakukannya untuk Pribumi? Tak ada! Padahal itulah justru menjadi kewajiban Gubermen untuk mendirikannya. Tapi mengapa sejak 1909 yang membangunkan sekolah dasar gaya Eropa untuk Pribumi justru Boedi Moeljo? Mengapa Boedi Moeljo mengambil alih kewajiban yang sebenarnya harus dilakukan Gubermen?” (hal.451)
“Kasihan itu anggota-anggota yang telah membayar uang pangkal seringgit dan iuran setiap bulan. Anak-anak mereka tidak dituntun ke arah cinta pada bangsa,tapi pada kantor-kantor Gubermen! Kasihan! Sungguh-sungguh kasihan.” (hal 451–452).

***

Minke. Saya mengenal nama itu ketika beliau mengajak saya menjelajah Bumi Manusia. Saya bertanya-tanya, sangat penasaran, siapakah sosok Minke sebenarnya, sosok yang dalam Rumah Kaca diceritakan seperti ini: “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Bukankah dia sendiri pernah menulis:jangan sepelekan kemampuan satu pribadi? Tak berlebih-lebihan bila aku katakan:pribadi di sampingku ini juga punya kekuatan dahsyat seperti samudra,seperti gunung berapi. Sekiranya ia bukan manusia alam, sekiranya ia menyadari kekuatannya, mungkin juga Hindia akan memiliki seorang presiden bangsa Asia sesudah Sun Yat Sen dan Aquinaldo.( hal 549).

Separuh rasa penasaran saya terjawab di suatu sore ketika menyimak siaran Seputar Indonesia di RCTI. ( bersambung karena karakter sudah habiz,hiks).