Sebagai referensi tempat-tempat menarik di sekitar, saya suka stalking IG yang memajang tempat-tempat wisata. Dari IG Magelang misalnya, ada jembatan gantung yang kelihatan apik di foto. Maka, kami merencanakan gowes rute ke sana.
Waktu itu senin pagi, bertetapan dengan hari Maulud Nabi, 13 Desember 2016 dari Tegalsari Jambewangi Secang sepeda kami kayuh menuju Mbugel kemudian Klontong. Dua dusun itu masih berada di desa yang sama dengan tempat tinggal kami. Sepeda mulai masuk kota ketika memasuki kawasan perumahan Depkes. Jembatan sudah dekat tatkala daerah Ngembik Kramat Selatan, Kota Magelang.
Sampailah di jembatan itu. Jembatan yang panjangnya sekitar 100 meter dengan lebar 1,5 meter itu ternyata rame dilintasi penduduk dari dua desa di sekitar. Tinggi jembatan dari permukaan sekitar 20 meter. Kebayang kan tingginya?
Untuk menyebrang, kami harus bergantian sesuai kuota yang ditulis di ujung jembatan. Kuota itu tentu saja untuk menjaga keselamatan pelintas. Ada kejadian di bulan November 2011 yang menelan korban jiwa dan kendaraan ketika jembatan itu putus.
Ada sensasi tersendiri ketika melintasi. Ketika berpapasan, saya harus menunggu yang lain lewat duluan. Goyangannya itu… serong kanan serong kiri. Menyebrang kali Progo di atas jembatan sepanjang itu merupakan pengalaman pertama bagi saya. Sebelumnya, saya hanya pernah menyebrang jembatan kali Manggis yang panjangnya kira-kira sepertiganya.
Sampai di seberang, yang berarti saya telah sampai di Desa Rejosari, Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang, saya merasa terkejut mendapati ternyata ada pos. Yang terlintas di benak adalah pengalaman Agustinus Wibowo ketika melintasi batas negara.’ Kantor’ imigrasi seadanya yang dijaga oleh tentara. Hihihi…jauh banget yang ngebayanginnya. Pos itu dijaga seorang petugas.
Para penduduk yang melintas dikenai biaya untuk kas perawatan jembatan. Mereka adalah penduduk sekitar yang melintas dari kabupaten ke kota Magelang atau sebaliknya.
“Satu orang lima juta rupiah,” kata lelaki necis tinggi besar itu kepada saya. Ahahaha, memang bapak lima anak itu penuh humor. Maka, saya bayarkan 1500 rupiah untuk saya, Janitra, dan bapaknya. Kami tak langsung meninggalkan tempat itu. Menyempatkan diri ngobrol dengan bapak di sela-sela membuka tutup plang , saya mendapatkan semangat pada dirinya.
“Saya ini, nggak bisa ngaji. Nggak mau anak-anak saya seperti saya makanya saya saya masukan anak saya ke pesantren.”
Sambil istirahat, kami melihat-lihat susanan berkeliling. Sungai Progo di bawah jembatan nyatanya memang apik. Beberapa anak terlihat bermain di tepi sungai yang berbatu kecil-kecil,semacam pantai yang berkerikil berpasir hitam. Matahari pagi menimbulkan kilau pada air sungai.
Puas menikmati Progo, kami lanjutkan perjalanan. Karena memang pengalaman pertama menyusuri daerah itu, kami main blusukan saja. Mengandalkan plang petunjuk atau bertanya penduduk sekitar adakalanya kami kesasar. Tapi, pengalaman blusukan dan kesasar itu menjadi seni tersendiri ketika gowes. Kalau nggak paknda Janitra, bukan blusukan namanya, kata suami suatu ketika saat saya protes karena melintasi gang yang sempit.
Ada pengalaman mentok ketika kami mencari penyebrangan Progo menuju Mbugel, Kec. Secang Kab Magelang . Menyusuri kebun sawah, ternyata kami bertemu jalan buntu di sawah. Untunglah ada seorang kakek baik hati yang mengantar kami dan menunjukkan jalan. Berbalik dari sawah kami kemudian memasuki dusun.
Kakek mengajak kami melintasi rumah-rumah penduduk dan menuju papringan lanjut ke sawah di belakang kampung. Kakek itu menunjukkan agar kami melintasi sawah lalu menyusuri kali. Blusukan kebun lagi, kami akhirnya sampai di tepi kali Progo. Terus saja kami melintasi kali sesuai petunjuk, akhirnya kami sampai di anak Sungai Progo yang kecil.
Tak ada jembatan di kali itu. My trip my adventure. Kami harus turun kali dan menyebrang bersama sepeda kami. Terlebih dahulu saya dan Janitra yang menyebrang. Secara bergantian paknda Janitra menyebrangkan sepeda kami. Wah…seru….
Sejenak Janitra bermain di kali. Anak-anak ketika bertemu air tidak afdol kalau tidak bermain. Mentas dari kali, saya melihat beberapa tumbuhan yang menarik untuk dikenalkan kepada anak. Belajar di alam, saya perkenalkan tumbuhan putri malu yang di mata anak-anak pasti mengasyikan ketika menyentuhnya.
Menyusuri sawah lagi, sampailah kami di jalan bercor. Sepeda kami kayuh, akhirnya tiba di jembatan gantung lagi. Goyang lagi, kali ini tidak seseru di Jembatan Kramat. Tak ada petugas di sana. Pos penjagaan tanpa penghuni. Dari jembatan, sudah terlihat kawasan pemecah batu.
Masuk ke Kelurahan Jambewangi lagi, dusun yang kami lewat adalah Mbugel kemudian masuk komplek Armed lanjut Sambung. Menyebrang jalan raya Yogya-Semarang, melewati perumahan sampailah kami di rumah lagi.
Pengalaman yang seru. Moment Maulud Nabi membuat trip gowes kami tambah berkesan. Perjalanan kami diringi syair syair khas Maulud Nabi yang bergema dari desa ke desa.
Assalamualaikum…
Sy menghabiskan masa kecil di Ngembik kok malah tidak tahu ada trek menantang dari jembatan Ngembik sampai jembatan Sampang (pabrik pemecah batu) ya?
Maksudnya jalan blusukan yg dianter kakek petani itu lho..
Emang tidak bahaya Mbak nyebrang kali Progo? Apalagi buat si kecil?
coba saja mas…eksplore daerah sana…
yang kami lintasi bukan kali Progonya, tapi anak sungainya yang mengalir langsung Progo, jadi kayak cabang gitu 🙂
Udah sih eksplore beberapa kali ke sana, baik yg jembatan Ngembik atau Sampang. Cuman kok ya belum pernah blas lewat anak sungai tsb, jyan kurang PITnik tenan je mbak..
kalau saya mergo le blusukan dan keblusuk hehe karena sebenarnya ada jalan yang bagus ya tpi kita salah ambil jurusan jadi keblusuk 🙂
mungkin karena anda melewati desa kajoran-sampang.yang notabene nya melewati anak sungai .memang jalannya dari dulu melintasi sungai,blum ada jembatan permanen..
maaf ikut komen.karena saya tahu jalan yang dimaksud.