[Gowes #6] Jelajah Museum BPK RI

Ini salah satu cara mengisi liburan di rumah, ngeblog menuliskan catatan perjalanan yang sekian waktu tertunda. Mengubek-ubek foto lama yang tersimpan. Gowes ini sudah lama sekali,sekitar setahunan silam ketika club buku Janitra masih suka ngumpul melakukan kegiatan bersama.

Dimulai dari Tegalsari, kami menyusuri sungai hingga Kebonpolo, menyebrang hingga rindam. Di rindam berhenti sejenak menikmati car free day dari atas jembatan plengkung.

IMG_20170723_083413

IMG-20170728-WA0029

Jenak mengambil jeda kami lanjutkan perjalanan menyusuri dusun Boton dan sampailah di Museum BPK RI.

Museum BPK RI yang kami kunjungi kini berbeda jauh dengan musem yang terakhir saya kunjungi sendiri bertahun-tahun silam, sekitar 2008-an. Museum yang berlokasi di Kompleks Karisidenan Kedu, Jl. Diponegoro No.1 Magelang, Jawa Tengah ini sejak 2016 memperhatikan tren museum post-modern. Punya tagline “BPK Pengawal Harta Negara” museum ini awalnya merupakan kantor BPK RI.

IMG_20170723_091051

Merunut sejarah, penempatan kantor BPK RI di Magelang bukan tanpa alasan. Pasca proklamasi, kondisi ibu kota Jakarta tidak kondusif sehingga pada awal 1946 memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Kantor-kantor kementrian/lembaga pun tersebar di sekitar Yogyakarta. Magelang dipilih sebagai kantor BPK RI. Awalnya, kantor bertempat di perusahaan listrik umum Hindia Belanda, kemudian berpindah ke Gedung Bea Cukai Maglang dan berlanjut di Kompleks Karisidenan Kedu terakhir pindah ke Gedung Klooster.

Museum BPK diresmikan pada 4 Desember 1997. Dari tahun ke tahun museum mengalami perluasan hingga kini berpenampilan modern. Pengelola museum adalah Unit Pekaksana Teknis (UPT) Museum BPK dengan kepala museum pejabat eselon IV. Pengelolanya berada di bawah Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK.

Ruangan-ruangan BPK RI memiliki penamaan tersendiri. Dimulai dari lobi sebagai pintu masuk lanjut ke Ruang Audio Visual, Ruang Wajah BPK, Ruang Titik Nol, Ruang BPK, Ruang Rekam Jejak serta terdapat Kids Museum, ruang perpustakaan, storage dan konservasi, ruang temporary exhibition, toko suvenir, kafetaria, dan paling ujung adalah kantor pengawai penglola museum.

Bagaimana rupa dalamnya? Pengunjung akan dibuat berdecak kagum dengan konten museum yang edukatif, tertata rapi,  dan apik. Para penggemar selfi akan menemukan spot-spot yang indah untuk berfoto. Yuk kita intip isi dalamnya…

IMG_20170723_091741

ruang lobi

IMG_20170723_092023

dwi tunggal di balik berdirinya BPK

 

IMG_20170723_091947

filosofi tugas BPK yang digambarkan dalam lukisan batik

IMG_20170723_092831

Ruang wajah BPK RI menampilkan profil BPK dengan visualisasi desain panel yang interaktif, mudah dimengerti, dan paritisipatif.

IMG_20170723_092509

IMG_20170723_092906

dalam Ruang Wajah BPK pengunjung bisa belajar sembil bermain

IMG_20170723_093211

Ruang Titik Nol menampilkan perjalanan sejarah BPK dari titik awal

IMG_20170723_093414

IMG_20170723_094027

ruang BPK berisi profil badan berdasarkan periodisasi

IMG_20170723_093921

IMG_20170723_094513

IMG_20170723_094555

Ruang Rekam jejak menampilkan pengaruh hasil pemeriksaan BPK bagi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan. Kliping surat kabar tertata apik

IMG_20170723_094636

a bpk 2

a bpk 1

Kids Museum diusung ringan, edukatif, dan menyenangkan bagi anak. Selain konten visual ada konten audio visual lewat film animasi

IMG_20170723_095540

 

IMG_20170723_102506

 

IMG_20170723_101733

perpustakaan yang tak kalah menyenangkan

IMG_20170723_094935IMG_20170723_093037IMG_20170723_094238

Nah, menyenangkan bukan jelajah di museum BPK RI. Pengunjung mendapatkan banyak ilmu tanpa dipungut biaya sepeser pun sebab tidak ada tiket masuk menuju museum.

IMG_20170723_113124

Puas belajar sembari bermain, kami pun melanjutkan perjalanan menuju alun-alun kota kemudian pulang. Hati riang dan badan sehat.

 

 

 

 

 

 

Museum Karmawibhangga Borobudur

Mengunjungi Borobudur tanpa bertandang di museum ini tak akan lengkap. Museum berada dalam satu komplek dengan candi, berdekatan dengan Museum Kapal Samudraraksa. Kedua museum berada di bagian depan komplek setelah pintu masuk candi. Memasuki kawasan museum, di hadapan saya terbentang batu-batu yang berjejer rapi di kanan dan kiri.
Kemudian saya disambut langgam gending Jawa , komposisi yang dibawakan beberapa laki-laki berbeskap dan berblangkon. Tembang yang dibawakan nikmat sekali masuk kuping, entah tembang apa judulnya. Duduk lama-lama di pendopo itu krasan, nglaras, dan ingin berlama-lama kalau tidak ingat saya musti masuk museum sebab hari telah beranjak sore, nyesel juga saya terlalu lama berputar-putar di atas candi. Setelah merekam penampilan mereka via video hp, saya pun masuk ke museum.Museum Karmawibhangga diambil dari relief Maha Karmawibhangga yang berada di dinding lantai paling bawah yang tertutup oleh tatanan batu di monumen candi Borobudur. Naskah Maha Karmawibangga menggambarkan “karma” atau hukum sebab akibat, baik buruk yang dialami dan surga neraka sebagai akibat imbalan akibat kehidupan dalam re-inkarnasi. Bagaimana rangkaian cerita dan karma itu bisa dilihat di relief-relief—tiruan—yang terframe di sebuah ruangan. Jumlahnya ratusan dan bernomer sehingga pengunjung bisa menelusuri secara runut. Ada keterangan di bawah frame yang menggambarkan relief-relief itu.
Di museum Karmawibhangga terdapat banyak batu-batu lepas komponen penyusun candi Borobudur. Lepas maupun kerusakan candi bisa disebabkan oleh faktor alam seperti mahapralaya letusan gunung Merapi tahun 1006 maupun karena
faktor cuaca yang menyebabkan perkembangan jamur, juga karena faktor manusia seperti pencurian. Untuk mengembalikan batu-batu lepas ke dalam konstruksi bangunan Candi Borobudur diperlukan suatu penelitian menggunakan metode anastilosis. Anastilosis diartikan sebagai metode pemasangan kembali batu-batu candi setelah berhasil diyakinkan tempat aslinya melalui pencocokan berdasarkan kecocokan sistem ukuran, sambungan, keharmonisan, atau bentuk arsitektur secara keseluruhan.

sebuah guci di antara reruntuhan

satu contoh batu yang lepas, lihat lebih jeli, ada penyambun–skrup–
berbagai penyambungan batu
replika rekonstruksi Candi Borobudhur

sistem penomeran batu

Di dalam mesum itu terdapat sistem penomeran batu yang berangka dan berumus yang tidak saya mengerti. Mau tanya guide? Sepi, museum itu terlihat sepi di dalam. Lagipula, saya kurang merasa nyaman berl
ama-lama di museum itu, rasanya kok agak takut sendirian berada di dalam ruangan yang dipenuhi deretan relief dan di ruangan sesudahnya ada arca-arca. Sedikit merinding, entah… Suasana museum itu terasa kontras dengan keramain candi, hiruk pikuk oleh pengunjung maupun perayaan Waisak.

Tidak banyak yang bisa dijepret di dalam museum, ada pelarangan mengambil foto untuk arca-arca. Hal itu bisa saya mengerti,penyebaran foto dikhawatirkan bisa memancing hal-hal yang tidak diinginkan.

Terakhir adalah pendopo, saya bisa melihat seperangkat gamelan, lengkap. Ini dia:

Serba Tiga Ribu di Rawa Pening

Rabu, 15 September 2010, alhamdulillah cuaca sangat mendukung untuk jalan-jalan ke Ambarawa. Dua objek yang saya kunjungi adalah Rawa Pening dan museum kereta api [lagi].

Sebelumnya, saya masih rancu dengan tiga tempat: Rawa Pening, Bukit Cinta, dan Banyu Biru. Pengetahuan geografi saya payah banget sampai-sampai saya tak tahu kalau Banyu Biru adalah nama kecamatan di Ambarawa tempat Bukit Cinta dan Rawa Pening berada. Disebut Banyu Biru barangkali karena banyu membentang luas yang terlihat biru. Yang kedua, Bukit Cinta dan Rawa Pening saya pikir objek yang berlainan, ternyata satu obyek. Keduanya tercitrakan negatif di benak saya. Bukit Cinta, selama ini lebih dikenal sebagai tempat muda-mudi berpacaran. Rawa Pening yang saya tahu sebelumnya hanyalah sebuah rawa yang di benak begitu mengerikan sebab terkontaminasi dongeng yang lebih banyak kesan menakutkannya di masa kanak-kanak saya. Saya ingat, begitu sering dongeng itu saya dengar dan itu membawa imajinasi kami untuk memainkan permainan Baru Klinting. Kami suka menancapkan sebatang lidi dan bergantian mencabutnya, berkhayal ketika giliran saya mencabut ada air bah keluar dari bekas tancapan sebagaimana yang dilakukan Baru Klinting. Bagaimana legenda terjadinya Rawa Pening, simak cerita berikut ini:

Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.

Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.

Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.

Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.

Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.

Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.

Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.

Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.

Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.

Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.

Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.

Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting. (http://walet21.blogspot.com)

Travelinglah yang membuka cakrawala pandang dan pikir, tak hanya memperbaiki pengetahuan geografi yang parah,namun juga membuka pengetahuan tentang budaya dan sejarah. Itu sebabnya saya tertarik jalan-jalan,mengunjungi tempat wisata yang masih terjangkau, termasuk Rawa Pening. Komentar beberapa teman mengenai Rawa Pening kurang provokatif, ah paling cuma rawa kayak gitu. Sampai saya menemukan artikel “Eksotisme Rawa Pening” di Detik.com. Rawa pening terlihat begitu mempesona ketika matahari terbit. Pagi hari, nelayan pulang berlayar membawa ikan. Keindahan itu semakin mempesona dinikmati dengan berperahu menjelajah Rawa. Eksotis. Saya tertarik membuktikannya. Ketika saya sharekan dengan teman, dia juga tertarik.

Pagi itu kami naik bus ke Banyu Biru. Kami turun di tempat wisata Bukit Cinta. Bukit itu adalah tempat menikmati Rawa Pening dengan sudut pandang yang nyaman juga indah. Rawa Pening sebenarnya bisa dinikmati dari berbagai sisi dan tempat, sebab luasnya terbentang 2400 kilometer persegi.

Serba 3 Ribu

Tiket masuk ke obyek wisata ini seharga Rp.3.000. Pengunjung akan disambut oleh seekor naga raksasa,mulutnya menganga dengan lidah terpotong. Mulut itu tepat berhadapan dengan ekornya, sebab tubuh naga melilit bukit. Diantara mulut dan ekor, undakan beberapa trap menjadi akses utama ke atas Bukit Cinta. Bukit yang dimaksud sebenarnya hanyalah tempat yang beberapa meter agak tinggi dari daratan di sekitarnya, belum layak disebut bukit. Nama Bukit Cinta tersemat sejak tahun 1974. Tempat yang dulunya bernama Gardu Pandang Alam Rawa Pening itu banyak didatangi pasangan berpacaran. Itu sebabnya tempat itu kemudian populer sebagai Bukit Cinta. Tepat sekali kalau bukit itu pernah punya sebutan Gardu Pandang sebab luasnya rawa sangat indah dinikmati dari tempat itu. Beberapa bangku yang dinaungi pohon pinus tersedia sebagai tempat bersantai.

Tak puas menikmati rawa dari bukit, kami penasaran ingin mendekat lewat ‘dermaga’ buatan dari bentangan-bentangan bambu seperti jembatan bambu. Sebelum turun, kami dicegat oleh tulisan ‘masuk Rp. 3.000’ hah? Pungutan liar itu! Kami cuek saja turun namun baru beberapa langkah, seorang pemilik warung dekat situ memanggil untuk meminta uang dengan nominal yang tertulis. Spontan keluar celetukan saya, serba tiga ribu!, ketika melihat banyak perahu bersampan yang disewakan seharga 3 ribu rupiah. Murah meriah, tapi tanpa keahlian mendayung menyewa perahu itu sama saja tindakan nekat. Pemilik perahu tidak akan mendampingi. Bisa-bisa cuma terapung-apung di tengah rawa. Selain perahu yang berjejer, terlihat beberapa nelayan berseliweran. Merekalah penduduk setempat yang pekerjaannya mencari ikan di rawa itu. Yang terbanyak,menurut petugas di loket, adalah mujair. Adapula nila dan gurami.

Pemancing yang ingin membawa pulang ikan-ikan itu, tempat ini yang akan memanjakan mereka. Pecinta mancing bisa betah berlama-lama duduk di atas bentangan-bentangan bambu itu. Ada beberapa atap yang dipasang dibeberapa tempat sebagai penaung dari panas matahari.

Ingin menyisir rawa tapi tak berani bersampan, disediakan banyak speed boat seharga sewa Rp.30.000 dengan maksimal penumpang 8 orang. Seorang pengemudi akan menemani sehingga tak perlu takut tersesat atau terapung tak bergerak.

(1. deretan speedboat, 2. dangau di tengah rawa, 3. perahu nelayan di kejauhan)

Saya merasa dimanjakan dengan tour speed boat, puas menyusuri lekuk-lekuk rawa, bertemu nelayan bersampan, melewati beberapa dangau dan gerombolan tanaman enceng gondok di keluasan rawa. Tanaman itu dimanfaatkan sebagai suvenir beraneka ragam. Hamparan air sejuk berbatas cakrawala maupun pegunungan tak akan bosan dipandang sambil berkeliling. Di sebuah sudut, perkotaan di kaki gunung terlihat cantik di kejauhan.

Harga sewa itu sesuai dengan apa yang saya dapatkan, berkeling rawa selama 30 menit, cukup lama! Tak henti saya berdecak kagum, subhanallah.

Puas berspeed boat, es degan menjadi obat dahaga. Sayang, kurang begitu menggoyang lidah saya rasanya.

Deretan Akuarium di Mulut Naga

Penasaran dengan isi mulut naga, kami memasuki ‘gua’ belabel ‘ruang informasi’. Deretan akuarium dengan satu atau beberapa ikan tanpa identitas tertera tertata di atas meja di kedua sisi gua. Sayang, identitas yang dulunya ada untuk menunjukkan nama ikan-ikan itu lapuk digigis waktu sehingga musnah. Tempat wisata itu memang kurang perawatan karena kekurangan dana. Tempat wisata milik pemerintah memang lebih banyak yang lambat geliatnya, kalah oleh obyek-obyek wisata swasta. Gua di bagian ekor nagapun tanpa perawatan dan ditutup. Gua itu bisa dimanfaatkan sebagai pusat data dari rawa itu, pasti asyik.

Puas menyambangi tiap sisinya, kami beranjak meninggalkan tempat itu menuju museum kereta api dengan angkot.” Bener nek serba tiga ribu, nih angkotnya juga 3 ribu.” celetuk teman saya begitu turun angkot.

Menikmati Rawa dengan Berlori

Saya tetap antusias mengunjungi Museum Kereta Api meski pernah kesana. Sebabnya, tour lori harus saya coba! Kalau dulu tour kereta api kuno, kali ini cukup dengan lori.

Setelah menunggu satu jam-an dengan tiket hasil mengantri, tibalah lori itu membawa pulang penumpang tour lori. Pengunjung begitu ramai. Tiket tour diminati antrian yang selalu panjang tiap kali loket dibuka. Harga tiket 2x lebih mahal dari yang dulu ketika saya datang, kali ini 10 ribu rupiah.

Untuk sampai stasiun Toentang, lori itu melewati perkampungan, hamparan sawah yang menyegarkan dengan deretan perbukitan sebagai background, dan tentu saja: Rawa Pening. Luasnya rawa itu memungkinkan dinikmati dari berbagai tempat, tak hanya dari Bukit Cinta. Rawa itu bersambungan dengan persawahan. Beberapa tempat pemancingan dibangun di atas rawa, berbentuk panggung dengan warung makan bermenu utama ikan. Tempat-tempat itu tampak ramai, terlihat langsung di warung dan tempat mancingnya, serta deretan motor yang diparkir di sisi jalan.

Tour lori makin lengkap perjalanannya dengan melewati jembatan dan terowongan yang di atasnya terbentang jalan Ambarawa-Salatiga. Setelah sampai Toentang, lori berbalik lagi dengan rute sama.

*masih dengan foto burem hasil jepreten kamera VGA HP

Dari Museum Kereta Api Ambaraawa ke Stasiun Bedono: Naik Kereta Api Tuut…Tuut…

      

    Berbekal sedikit informasi mengenai lokasi museum Kereta Api, saya meninggalkan Palagan Ambarawa, berjalan menuju museum yang selalu membuat penasaran, terlebih sejak perjalanan ke Yogyakarta bareng seorang ibu di bus. Karena menurut informasi tidak begitu jauh di jangkau dengan jalan kaki, saya tak  berminat naik angkot. Nyatanya agak jauh juga. Ditambah lagi, dari jalan utama masih masuk beberapa meter, tapi Alhamdulillah lokasi mudah ditemukan. Selain plang yang memberi petunjuk arah, di pertigaan menuju museum ada lokomotif yang menandai jalan menuju lokasi.    Masuk museum, telinga dimanjakan oleh alunan music etnik, indah, mempesona. Sambil membayar tiket, saya memandang berkeliling. Di atas rel, saya melihat kereta kecil (lori) sarat penumpang, siap berangkat. Dari petugas tiket, saya mengetahui kalau mau naik lori itu, naik saja, pembayaran dilakukan di atas kereta. Saya tertarik.
           Dari loket, saya mencari sumber suara music. Ohhh…ada  pengamen  memainkan alat music tradisional dengan suara suaranya khas: seperangkat angklung dan perkusi di tengah stasiun ( jadi inget waktu jalan-jalan ke kawah Sikidang Dieng, ada musisi local juga). Oiya, museum itu saya sebut stasiun sebab museum itu memang labih mirip stasiun, atau dulunya memang stasiun?     Kereta-kereta tua tempo dulu  terpajang di sekitar stasiun, memanjang.
          Di stasiun sendiri saya memasuki 3 ruangan: ruang tunggu kereta( berbentuk  seperti ruang tamu dengan satu set meja kursi di tengah ruangan), ruang kepala stasiun dan ruang pamer. Ruang pamernya saya lupa, ada berapa ruang ya, sepertinya dua ruang, berbentuk memanjang. Di dinding nya tertempel berbagai foto dan gambar all about  station, tempoe doloe, tidak hanya di Ambarawa saja tetapi Semarang dan Yogyakarta juga. Di tengah ruangan, ada meja kaca memanjang berisi peralatan kereta api, telepon-telepon tempoe doeloe, mesin ketik, mesin hitung (sudah pernah melihatnya di museum BPK dan Bumiputera Magelang ) dan berbagai alat yang tak saya ketahui namanya karena tak ada label, tak ada guide juga.
           Begitu pula di keempat sisi ruangan ada almari dan rak pajangan.  Di bagian luar ruangan, dinding-dinding dipenuhi dengan pajangan gambar dan informasi mengenai stasiun (museum).    Selain pengamen yang memainkan music etnik, ada lagi pengamen yang menghibur pengunjung dengan tarian diiringi music tradisional dari kaset.
            Pengamen tersebut  beraksi di sisi yang berkebalikan dengan musisi stasiun itu (entah yang depan mana, yang belakang mana, sisi yang satu menghadap rel kereta api, tempat berangkat dan pulang kereta api, sisi sebaliknya menghadapa berbagai kereta tempoe doloe yang dipajang di sela-sela taman.
          Sambil menunggu kereta datang, menurut informasi dari ibu-ibu yang menunggu juga, kereta datang setelah 1 jam berangkat, saya berkeliling stasiun. Jujur, tidak begitu tenang berkeliling karena takut tiba-tiba kereta datang, penumpang bejubel dan saya tidak dapat tempat, tak nyaman dunk  Saya masuk ke ruang kepala stasiun untuk mendapatkan informasi all about stasiun itu. Di sana banyak pengunjung yang memsan tiket. Dugaan saya, mereka pesan tiket kereta api online. Di ruangan itu memang ada informasi daftar harga tiket kereta api  dan bisa beli dengan online. Di belakang meja kepala stasiun, di white board, tertulis jadwal tour kereta api, penasaran, tertarik!
           Segala pertanyaan saya tentang tour kereta api yang membuat penasaran dijawab oleh kepalas stasiun dengan sinis dan judes. Maklum orang penting, lagi terlihat sibuk pula. Saya bingung, kok informasi yang saya dapat dari bapak di belakang bilik tiket dan bapak kepala beda. Dari pak kepala, informasinaya kalau mau ikut tour harus beli tiket dulu. Bapak kepala sadis banget waktu saya menkroscekkan informasi dari bapak di belakang bilik tiket yang katanya kalau mau naik kereta tinggal naik saja.     “Ya nggak papa kalau mbak mau  saya turunkan di jalan. Apa nggak malu nanti. Itu kalau mbak nggak punya tiket.  Dan sekarang, tempatnya udah penuh!”    Ketika saya Tanya kapan ada tour lagi, jawabnya esok jam 8. Wah… saya  Cuma bengong, tak mungkin bisa ngrasain ikut tour kereta api deh, pasrah.
           “Maaf, saya sibuk,” jawab pak kepala saat saya ingin tahu informasi lebih lanjut.
    [belakangan baru tahu, tour yang diurusi di ruang ini beda dengan tour lori—kereta api kecil–. Kalau yang ini khusus tour kereta api rombongan, bayarnya 3 juta!]    Saya mencoba ngeyem-eyemi diri, yang penting sudah samapi stasiun—museum—ini, nggak bisa ikut tour taka pa, mau gimana lagi? Ketika kemudian kereta datang, pengunjung begitu berjubel, bergerombol di sekitar kereta api. Wah…banyak sekali. Saya hanya memandang mupeng. Pantes lah kalau saya tak bisa ikut, tahu info saja tidak, baru datang pula. Mereka yang di sana sudah menunggu dari tadi mungkin.
          Kereta api hampir berangkat. Dari mikrofon saya mendengar pengumuman, untuk para pengunjung yang tidak punya tiket bisa ikut tour dengan catatan berdiri.
          Berdiri? Tak masalah buat saya.  Saya dekati kepala stasiun yang tadinaya ‘sangar’ untuk mengkorfirmasi.     “Bayar 50 ribu di kereta,” jawab pak kepala yang kesangarannya mendadak lenyap, hehehe.    Cepat-cepat  saya meloncat ke kereta. Di gerbong paling belakang, berdiri! Tak apa.    Saya sendirian di tengah para pengujung yang ‘setil-setil’, bercengkrama bersama keluarga dan rombongan masing-masing. Dipastikan, hanya saya yang datang sendirian dan jalan kaki pula. Penampilan mereka cukup memperlihatkan dari kelas mana mereka be
rasal. Kalau meraka membawa peralatan dokumentasi mentereng, handycam, kamera digital merek  prestisius, ataupun kalau HP, kamerenya beresolusi tinggi, hanya saya yang paling  ‘expired’:  bermodalkan HP dengan kamera VGA.


          Seorang ibu yang sempat mengobrol dengan saya mengatakan saya kendel—berani–. Kendel? Ah, biasa saja, sudah biasa pergi naik kendaraan umum sendirian. Lagipula, jarak Ambarawa ke Grabag seberapa  jauh sih? Ibu dari Yogya itu bahkan mengomentari saya di depan rekannya—atau saudaranya–: mbake kendel. Barangkali mereka menganggap saya masih sekolah. Cihuyyy…penampilan yang menipu!
         Ternyata saya sangat diuntungkan dengan posisi saya.: berdiri di gerbong buntut. Saya leluasa bergerak untuk  mencatat rute perjalanan dengan segala keindahannya. Hamparan sawah dan gunung sebagai background. Sesekali kereta tenggelam di antara rimbun hutan kecil? Yang paling exited, saya bisa menyaksikan pemindahan lokomotif dari depan ke belakang. Pindah? Sebelumnya guide sudah menjelaskan di rute yang menanjak, lokomotif akan mendorong kereta api jadi harus pindah ke belakang. Heran, baru kali ini mendengar ada kereta api yang lokomotifnya mendorong, bukan menarik lagi.     Agak deg-degan kalau dibayangkan. Tapi pasti menarik. Saya leluasa melihatnya. Lokomotif bergerak mundur. Ketika sampai di cabang rel (sambungan) lokomotif bergerak maju kemudian disambungkan ke gerbong paling belakang—gerakannya lambat seperti slow motion—dengan suara gemeretak dan gludak, kereta terguncang sejenak.

            Momen special ke-2 yang tak biasa di jaman sekarang, yang bisa dilihat dengan jelas karena diuntungkan oleh posisi saya adalah kereta berhenti di pinggir sawah untuk mengisi air dari parit sebeleh sawah. Air itu diperlukan untuk  proses penguapan.

           
   Asal tahu saja, kereta yang saya tumpangi adalah kereta jadoel yang masih manual, kereta uap yang pembakarannaya memerlikan kayu—konon kayi jati khusus–. Kereta berhenti agak lama pada proses ini. Saya bisa menyaksikan asap yang berangsur-angsur menebal hitam saat tempo pembakaran cepat dan asap yang berangsur menipis.


           Saya menjadi satu-satunya perempuan yang nggak ‘anteng’. Ikut turun dengan para bapak-bapak dan mas-mas yang menyaksikan pengisian air. Mbak-mbak lebih suka menunggu atau melihat dengan tak jelas dari jendela kereta. Dengan alat seadanya saya bisa mendokumentasikan moment itu. Ah, yang lain gambarnya pasti kinclong-kinclong dengan alat-alat canggih.
          Selesai mengisi, kereta bergerak lagi sampai Bedono. [Ada yang pernah dengar Bedono–kabupaten Semarang–? Pasti sering saat Syeh Puji menjadi selebriti di beberapa berita soal poligami beberapa waktu lalu. Bedono adalah tempat di mana istana Syeh Puji berada]. Perjalanan ke Bedono melewati rel yang pada waktu PP Grabag—Ambarawa selalu saya lihat dari dalam bus. Kalau biasanya saya hanya ‘mbatin’ melihat rel yang saya pikir hanya rongsokan melintang saja, kali itu saya menyusuri kereta api dang anti melihat bus-bus dan berbagai kendaraan yang melintasi jalan antarpropinsi itu—Yogyakarta-Semarang–. Pengalaman yang luar biasa bagi saya,melewati rel-rel yang saya pikir hanya menjadi rongsokan saja. Di stasiun lama Bedono kereta rehat sebentar.

           Para penumpang turun dengan aktivitas yang khas di stasiun: jajan, makan, ngopi, dan ngobrol—saya mendengar beberapa kali nama Syeh Puji disebut-sebut. Si pembicara menunjuk-nun juk arah kediaman Syeh Puji–.
           Pulangnya, dari Bedono menuju Museum Kereta Api, posisi saya menjadi didepan, masih di gerbong yang sama. Saya tak lagi menikmati perjalanan dengan berdiri namun duduk di bangku panjang yang dilintangkan ditengah, diantara deretan tempat duduk.  Dengan begitu, saya punya kesempatan mencatat fakta-fakta kereta jadoel itu. Data itu tertulis didinding belakang gerbong.
    Kereta CR 56 I ( 3rd class rack track coach)
    First date in service: 14-09-1907
    Operasi: 60 tahun
    Rebuilt : 30-06-1973
    Next overhaul: 30-06-1976
    Panjang bodi: 9 m
    Weight coach: 7,6 tons
    Load: 2,5 tons
    Tempat duduk: 40
    Kecepatan: 45 km/jam (max)
    Diameter of oxle: 110m/m
    Brake system: hand brake
    Deflextion: blade spring
   
            Kereta sampai di museum lagi. Alunan music etnik masih menjadi iringan penyambutan, memanjakan telinga. Saya urung melanjutkan keliling-keliling karena hari sudah sore. Setelah membeli satu tas kecil di kios seberang stasiun, saya berjalan meninggalkan museum dengan hati bersyukur puas. Alhamdulillah…


Repost dari diary, Rabu pagi, 30 Desember 2009    

Tour d’ Museum: Palagan Ambarawa

Dengan atau tanpa teman, traveling must go on, begitu tekad saya Senin itu pagi itu, di penghujung tahun 2009. Hari ini harus berangkat traveling ke Ambarawa. Saya sengaja tidak sms saudara di Ambarawa dulu, tahu kalau dia pasti sibuk. Pulang jalan-jalan saja nanti mampir, pulang sore atau nginep tak masalah. Pagi, sambil berangkat, saya mampir Merbabu studio foto untuk cetak foto, memberi ruang untuk foto-foto nanti traveling, sempatnya juga baru sekarang. Mbak di Merbabu bilang kalau foto bias ditunggu, tidak terlalu lama katanya. Oke, saya menunggu sambil membaca koran SM di lobi. Coba tebak, berita apa yang menyita perhatian saya? Tewasnya pendaki gunung di Lawu! Wah, wah, baru pertama kali mau naik gunung besok tahun baru, nyali dipaksa menciut karena berita itu. Tapi, trekking must go on, tekad saya yang kedua kalinya. Semua takdir dari Allah: rejeki, kematian, musibah dating dan ditulis oleh Allah. Ya, memang jatah para pendaki itu memutus waktu hidupnya di gunung. Saya berharap emak tak tahu sehingga tidak khawatir melepas saya—harap-harap cemas, kalau-kalau sorenya berita itu muncul di TV. Bismillah, saya tetap pengen naik gunung (naik gunung yang sebenarnya, malam dan menginap, melihat sunrise dan sun –selama ini baru trekking siang dengan rute gunung-gunung kecil), belajar keberanian di luar rumah. Foto sudah selesai, ke pasar dulu beli oleh-oleh getuk–makanan khas Magelang– Alhamdulillah ada.

Keluar pasar nunggu bus… ternyata lama. Menunggu… untung nggak mati gaya karena ada barengan yang mau ke Salatiga. Kebetulan juga, saya pernah kenal dia waktu mau test masuk kerja pertama kali. Palagan Ambarawa jadi tujuan pertama. Dari terminal temapat saya turun dari bus, saya hanya perlu berjalan beberapa meter. Rasa penasaran pada tempat bersejarah itu ada sejak lewat di depannya belasan tahun lalu bersama bapak. Setelah membayar tiket masuk dan bertanya sepintas tentang museum kereta api—agenda ke-2–, saya masuk museum Isdiman yang bersebelahan dengan bilik tiket, beberapa langkah saja. Museum itu ruangannya kecil. Berhadapan dengan pintu masuk adalah sisi belakang sebuah rak besar tinggi yang memuat identifikasi museum itu, nama museum, tahun, dll. Tanpa rak atau lemari besar itu, pintu akan langsung berhadapan dengan dinding yang sepenuhnya tertutup lukisan proses pertempuran
Dari pintu, saya melangkah ke sebelah kiri. Jepret! Saya ambil foto 2 senjata yang berdiri di pojok-jenisnya tidak tertulis jadi saya tidak tahu—

Di sebelahnya rak pamer bertutupkan kaca/etalase rendah berisi berbagai pakaian , kemeja exs PETA dan HEIHO. Kemudian bergeser di bawah lukisan yang memenuhi dinding, satu tempat pajangan sebatas lutut yang bersekat-sekat berisikan berbagai senjata: klewang samurai Jepang, pistol 9mm vikers Inggris, Karabyn 6,5 mm Jepang, Karabyn 7,92 Jerman, Jarabyn 6,5 mm/95 Jerman, Senapan 6,5 ex Jepang, erbagai granat, ranjau, botol benzene dicampur karet untuk menembak tank, dan berbagai senapan seperti yang di pajang di pojok ruangan.
Di depan seberangnya, sisi depan almari yang belakangnya menghadap pintu masuk, dipajang berbagai perlengkapan tentara: pakaian, helm, tas , ada lagi botol-botol minuman. Ada satu tas exs tentara Jepang yang keren dan masih bagus:[saya langsung naksir tas itu. Di museum kereta api nanti, tas itu menginspirasi untuk membeli sebuah tas kecil…. ]
Sisi sebelah kanan ruangan juga diisi dengan senjata-senjata yang berdiri di lantai. Di sebelahnya masih ada almari pajangan.
Museum itu sepi, tanpa buku tamu, tanpa guide dan pengunjung yang bisa dihitung dengan sebelah tangan. Barengan saya hanya ada sebuah keluarga.
Keluar dari museum saya keluar berkeliling palagan, melihat beberapa koleksi alat transportasi jaman perang: sebuah kereta api dengan lokomotif tahun1902 buatan Jerman, beberapa truk seberat 4 ton merk Douge tahun 1914 buatan USA, dan tank.

Kompleks Palagan itu sempit, setelah melewati bebrapa mainan, saya sampai pada satu-satunya pesawat yang ada di Palagan: Pesawat Mustang P-51 cocor merah dengan kecepatan 735 km/jam, panjang 9,81 m, bentang sayap 7,720 m, berat 7.000 kg, dilengkapi persenjataan browning caliber 12,7, roket councher 8 buah, bom 2 buah, dan awaknya 1 orang saja.


Sisi depan Palagan, yang terlihat dari jalan raya diramaikan oleh arena bermain anak yang dilengkapi beberapa mainan seperti kereta api mini, mobil mini, ayunan, dan jungkat-jungkit. Ini adalah arena yang saya kunjungi terakhir.

Saya meninggalkan Palagan Ambarawa berbekal sedikit informasi mengenai letak museum kereta api. Siap-siap deh ke museum kereta api… hem…seperti apa ya…

*foto paling atas, halaman depan Palagan, sumber dari google, foto-foto berikutnya koleksi pribadi. Foto jauh dari kualitas cemerlang, harap maklum, masih kamera VGA HP*