Rabu, 15 September 2010, alhamdulillah cuaca sangat mendukung untuk jalan-jalan ke Ambarawa. Dua objek yang saya kunjungi adalah Rawa Pening dan museum kereta api [lagi].
Sebelumnya, saya masih rancu dengan tiga tempat: Rawa Pening, Bukit Cinta, dan Banyu Biru. Pengetahuan geografi saya payah banget sampai-sampai saya tak tahu kalau Banyu Biru adalah nama kecamatan di Ambarawa tempat Bukit Cinta dan Rawa Pening berada. Disebut Banyu Biru barangkali karena banyu membentang luas yang terlihat biru. Yang kedua, Bukit Cinta dan Rawa Pening saya pikir objek yang berlainan, ternyata satu obyek. Keduanya tercitrakan negatif di benak saya. Bukit Cinta, selama ini lebih dikenal sebagai tempat muda-mudi berpacaran. Rawa Pening yang saya tahu sebelumnya hanyalah sebuah rawa yang di benak begitu mengerikan sebab terkontaminasi dongeng yang lebih banyak kesan menakutkannya di masa kanak-kanak saya. Saya ingat, begitu sering dongeng itu saya dengar dan itu membawa imajinasi kami untuk memainkan permainan Baru Klinting. Kami suka menancapkan sebatang lidi dan bergantian mencabutnya, berkhayal ketika giliran saya mencabut ada air bah keluar dari bekas tancapan sebagaimana yang dilakukan Baru Klinting. Bagaimana legenda terjadinya Rawa Pening, simak cerita berikut ini:
Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.
Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting. (http://walet21.blogspot.com)
Travelinglah yang membuka cakrawala pandang dan pikir, tak hanya memperbaiki pengetahuan geografi yang parah,namun juga membuka pengetahuan tentang budaya dan sejarah. Itu sebabnya saya tertarik jalan-jalan,mengunjungi tempat wisata yang masih terjangkau, termasuk Rawa Pening. Komentar beberapa teman mengenai Rawa Pening kurang provokatif, ah paling cuma rawa kayak gitu. Sampai saya menemukan artikel “Eksotisme Rawa Pening” di Detik.com. Rawa pening terlihat begitu mempesona ketika matahari terbit. Pagi hari, nelayan pulang berlayar membawa ikan. Keindahan itu semakin mempesona dinikmati dengan berperahu menjelajah Rawa. Eksotis. Saya tertarik membuktikannya. Ketika saya sharekan dengan teman, dia juga tertarik.
Pagi itu kami naik bus ke Banyu Biru. Kami turun di tempat wisata Bukit Cinta. Bukit itu adalah tempat menikmati Rawa Pening dengan sudut pandang yang nyaman juga indah. Rawa Pening sebenarnya bisa dinikmati dari berbagai sisi dan tempat, sebab luasnya terbentang 2400 kilometer persegi.
Serba 3 Ribu
Tiket masuk ke obyek wisata ini seharga Rp.3.000. Pengunjung akan disambut oleh seekor naga raksasa,mulutnya menganga dengan lidah terpotong. Mulut itu tepat berhadapan dengan ekornya, sebab tubuh naga melilit bukit. Diantara mulut dan ekor, undakan beberapa trap menjadi akses utama ke atas Bukit Cinta. Bukit yang dimaksud sebenarnya hanyalah tempat yang beberapa meter agak tinggi dari daratan di sekitarnya, belum layak disebut bukit. Nama Bukit Cinta tersemat sejak tahun 1974. Tempat yang dulunya bernama Gardu Pandang Alam Rawa Pening itu banyak didatangi pasangan berpacaran. Itu sebabnya tempat itu kemudian populer sebagai Bukit Cinta. Tepat sekali kalau bukit itu pernah punya sebutan Gardu Pandang sebab luasnya rawa sangat indah dinikmati dari tempat itu. Beberapa bangku yang dinaungi pohon pinus tersedia sebagai tempat bersantai.
Tak puas menikmati rawa dari bukit, kami penasaran ingin mendekat lewat ‘dermaga’ buatan dari bentangan-bentangan bambu seperti jembatan bambu. Sebelum turun, kami dicegat oleh tulisan ‘masuk Rp. 3.000’ hah? Pungutan liar itu! Kami cuek saja turun namun baru beberapa langkah, seorang pemilik warung dekat situ memanggil untuk meminta uang dengan nominal yang tertulis. Spontan keluar celetukan saya, serba tiga ribu!, ketika melihat banyak perahu bersampan yang disewakan seharga 3 ribu rupiah. Murah meriah, tapi tanpa keahlian mendayung menyewa perahu itu sama saja tindakan nekat. Pemilik perahu tidak akan mendampingi. Bisa-bisa cuma terapung-apung di tengah rawa. Selain perahu yang berjejer, terlihat beberapa nelayan berseliweran. Merekalah penduduk setempat yang pekerjaannya mencari ikan di rawa itu. Yang terbanyak,menurut petugas di loket, adalah mujair. Adapula nila dan gurami.
Pemancing yang ingin membawa pulang ikan-ikan itu, tempat ini yang akan memanjakan mereka. Pecinta mancing bisa betah berlama-lama duduk di atas bentangan-bentangan bambu itu. Ada beberapa atap yang dipasang dibeberapa tempat sebagai penaung dari panas matahari.
Ingin menyisir rawa tapi tak berani bersampan, disediakan banyak speed boat seharga sewa Rp.30.000 dengan maksimal penumpang 8 orang. Seorang pengemudi akan menemani sehingga tak perlu takut tersesat atau terapung tak bergerak.
(1. deretan speedboat, 2. dangau di tengah rawa, 3. perahu nelayan di kejauhan)
Saya merasa dimanjakan dengan tour speed boat, puas menyusuri lekuk-lekuk rawa, bertemu nelayan bersampan, melewati beberapa dangau dan gerombolan tanaman enceng gondok di keluasan rawa. Tanaman itu dimanfaatkan sebagai suvenir beraneka ragam. Hamparan air sejuk berbatas cakrawala maupun pegunungan tak akan bosan dipandang sambil berkeliling. Di sebuah sudut, perkotaan di kaki gunung terlihat cantik di kejauhan.
Harga sewa itu sesuai dengan apa yang saya dapatkan, berkeling rawa selama 30 menit, cukup lama! Tak henti saya berdecak kagum, subhanallah.
Puas berspeed boat, es degan menjadi obat dahaga. Sayang, kurang begitu menggoyang lidah saya rasanya.
Deretan Akuarium di Mulut Naga
Penasaran dengan isi mulut naga, kami memasuki ‘gua’ belabel ‘ruang informasi’. Deretan akuarium dengan satu atau beberapa ikan tanpa identitas tertera tertata di atas meja di kedua sisi gua. Sayang, identitas yang dulunya ada untuk menunjukkan nama ikan-ikan itu lapuk digigis waktu sehingga musnah. Tempat wisata itu memang kurang perawatan karena kekurangan dana. Tempat wisata milik pemerintah memang lebih banyak yang lambat geliatnya, kalah oleh obyek-obyek wisata swasta. Gua di bagian ekor nagapun tanpa perawatan dan ditutup. Gua itu bisa dimanfaatkan sebagai pusat data dari rawa itu, pasti asyik.
Puas menyambangi tiap sisinya, kami beranjak meninggalkan tempat itu menuju museum kereta api dengan angkot.” Bener nek serba tiga ribu, nih angkotnya juga 3 ribu.” celetuk teman saya begitu turun angkot.
Menikmati Rawa dengan Berlori
Saya tetap antusias mengunjungi Museum Kereta Api meski pernah kesana. Sebabnya, tour lori harus saya coba! Kalau dulu tour kereta api kuno, kali ini cukup dengan lori.
Setelah menunggu satu jam-an dengan tiket hasil mengantri, tibalah lori itu membawa pulang penumpang tour lori. Pengunjung begitu ramai. Tiket tour diminati antrian yang selalu panjang tiap kali loket dibuka. Harga tiket 2x lebih mahal dari yang dulu ketika saya datang, kali ini 10 ribu rupiah.
Untuk sampai stasiun Toentang, lori itu melewati perkampungan, hamparan sawah yang menyegarkan dengan deretan perbukitan sebagai background, dan tentu saja: Rawa Pening. Luasnya rawa itu memungkinkan dinikmati dari berbagai tempat, tak hanya dari Bukit Cinta. Rawa itu bersambungan dengan persawahan. Beberapa tempat pemancingan dibangun di atas rawa, berbentuk panggung dengan warung makan bermenu utama ikan. Tempat-tempat itu tampak ramai, terlihat langsung di warung dan tempat mancingnya, serta deretan motor yang diparkir di sisi jalan.
Tour lori makin lengkap perjalanannya dengan melewati jembatan dan terowongan yang di atasnya terbentang jalan Ambarawa-Salatiga. Setelah sampai Toentang, lori berbalik lagi dengan rute sama.
*masih dengan foto burem hasil jepreten kamera VGA HP