[Love Journey] Home

Kadangkala, dalam sebuah perjalanan ada semacam perasaan sia-sia menyergap. Pertanyaan-pertanyaan berbalut penyesalan mengusik,
“Kenapa aku harus datang ke tempat ini, jauh-jauh,tapi gak dapat apa-apa?”
“Kenapa Allah membiarkan aku melakukan perjalanan ke sini?”

Begitupun dalam perjalanan pulang dari Solo ketika memenuhi undangan pengumuman lomba cerpen yang diadakan salah satu radio di Solo pertengahan 2010. Pikiran ini sungguh berkebalikan dengan ketika berangkat pagi harinya, begitu bersemangat keluar rumah dalam udara segar pukul 05.00,” Traveling. inilah yang aku inginkan. Traveling dan bepergian karena menulis. Yah… meski aku datang belum tentu menyambut kemenangan.”

Semangat pagi itu luntur karena berbagai hal diantaranya ketidaklancaran transportasi ketika berangkat, serta perasaan asing yang tak nyaman—di lain pengalaman saya begitu menikmati keterasingan–. Kalau sudah begini, saya akan mengais-ais hikmah dari apa yang sedang saya jalani (jeleknya saya!). Saya akan mencari-cari, bukankah tak ada yang sia-sia dan Allah selalu memberikan hikmah? Apa yang Allah berikan kali ini? (jeleknya, selalu minta imbalan!)

Namun, bagaimanapun juga, sebuah perjalanan selalu menjadi ruang kontemplasi bagi saya. Ketika saya berjarak dengan rumah, dengan segala rutinitas di rumah dan pekerjaan sehari-hari, saya bisa memikirkan dan menguraikan banyak hal, termasuk kepenatan. Barangkali itu yang saya sukai dari sebuah perjalanan. Di bus dalam perjalanan berangkat atau pulang bepergian, ketika bertemu dengan banyak orang dengan ragamnya, ketika melewati berbagai tempat dengan segala keunikannya, banyak hal baru masuk di kepala dan hati, mengusik untuk di renungkan saat itu juga.

Merasa tak dapat apa-apa, nyatanya sejumput kecewa itu singgah, bukan hanya karena saya pulang tanpa hadiah di tangan, tapi lebih karena saya tak bisa kemana-mana, masih bingung dengan rute Solo sebab itu pertama kalinya saya ke Solo sendirian, sementara hari semakin beranjak sore. Rencana dari rumah, selesai acara saya ingin jalan-jalan dan pulang dengan ‘oleh-oleh’ sekalipun hanya buku. Di bus dalam perjalanan pulang saya melamun sementara percakapan di sekitar diam-diam masuk di telinga. Penumpang di sebelah tempat duduk asyik mengobrol tentang berbagai bencana di Indonesia. Mereka membahas keprihatinan terhadap para korban Merapi yang entah bagaimana nasibnya pascabencana. Penjaja makanan wira-wiri menawarkan makanan. Seorang anak seusia siswa SD menjajakan koran. Ah, tidak asing, anak sekecil itu sudah berjuang mencari uang?

Potret di perjalanan itu menghadirkan rasa syukur. Betapa beruntungnya saya masih punya orang tua yang memiliki rumah tempat saya pulang. Betapa bersyukur saya mempunyai orang tua yang menanti kedatangan saya di rumah. Betapa beruntung saya bisa beristirahat malam dengan nikmat, di atas kasur kapuk yang memberikan kehangatan, ‘bersembunyi’ di bawah selimut lawas dengan bau khasnya, berbantal beruang biru yang sedang hibernasi, lembut. Kangen rumah, rasa itu yang kemudian menyergap. Rasa kangen semacam itu selalu saya sukai. Pulang, menjadi hal yang selalu saya rindukan ketika jauh dari rumah (untuk perjalanan kali ini, padahal cuma di bus dari kota yang tak begitu jauh dari rumah). Yah, senikmat apapun perjalanan, seindah apapun pemandangan di depan mata, seenjoy apapun jalan-jalan itu, pulang pasti menjadi hal yang dirindukan. Saya semakin mencintai rumah dengan segala isinya.

Malam harinya, ketika sudah berbaring mengendapkan penat, betapa rasa syukur itu berlipat adanya, dengan kilasan-kilasan perjalanan di luar rumah yang berkelebatan. Ah, inilah saya, sudah berada di tempat aman itu. Sudah pulang! Berada di rumah, hangat!

#tulisan hasil daur ulang dari sini untuk meramaikan Lomba Love Journey yang diselenggarakan mas Fatah dan mbak Dee An

18 pemikiran pada “[Love Journey] Home

  1. wah, iya…terkadang saya juga merasa menyesal telah melakukan sesuatu, yang sepertinya hanya berbuah kesia-siaan. Bila begitu, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, utk menambat penat.Biasanya, esok hari sudah berasa biasa lagi

  2. saturindu said: wah, iya…terkadang saya juga merasa menyesal telah melakukan sesuatu, yang sepertinya hanya berbuah kesia-siaan. Bila begitu, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, utk menambat penat.Biasanya, esok hari sudah berasa biasa lagi

    memang begitu ya Mas… tempat tidur kita pelepas kepenatan dan kekecewaan karena kehangantannya…. :))

  3. jampang said: tetap untuk bersyukur

    setuju sama mbak nita. tulisannya indah dan manis..btw, paragraf terakhir sering saya alami. senyaman2nya, sebagus2nya, seasik2nya tempat lain, kasur dan rumah sendiri yang terindah 🙂

  4. jampang said: tetap untuk bersyukur

    @lovusa:terima kasih mb Gita. . .. Memang hangat setelah kembali ke rumah ya mbak,apa lagi buat mb Gita yg sering bepergian..Ngrasain banget home sweet home, meski bocor sanasini,hehe

Tinggalkan komentar