Waktu Demi Waktu

the hoursKalau baca The Hours karya Michael Cunningham pasti tak mau berhenti,pengen lanjut lanjut dan lanjut. Yang pernah nonton filmnya pasti tahu [hiks,belum nonton!]. Film yang dibintangi oleh Nicole Kidman,Meryl Streep,dan Julianne Moore itu meraih Piala Oscar (Academy Award) dan Golden Globe. Sedangkan novelnya sendiri memenangkan Pulitzer Prize untuk fiksi 1999 dan PEN/Faulkner Award 1999, dan GLBT Award.

Novel itu berbicara tentang suara 3 wanita 3 zaman,waktu demi waktu:Virginia Wolf,Laura Brown,dan Clarissa Vaughan(Mrs.Dalloway). Cunningham menggambarkan ketiga tokoh itu seakurat mungkin. Tak main-main sebab ia mengambil sejumlah sumber diantaranya biografi dan diary Virginia Wolf.

Penerjemahan novel itu memuaskan sebab bahasanya indah,mengajak pembaca menjelajahi pikiran dan perasaan wanita,yang paling pribadi sekalipun. Saya mendapati berbagai lintasan pikiran dan perasaan tiga wanita itu sering saya alami. Apakah memang seperti itu perempuan berpikir? Apakah memang seperti itu perempuan merasa?

*foto dari google

Menikmati 3 Cangkir Teh dari Korphe, Yukkkk…

[Catatan ini boleh dibilang sudah usang. Buku yang saya bicarakan pun bukan buku keluaran anyar, meskipun saya menulis catatan ini begitu selesai membacanya Agustus tahun lalu, hanya saja tersimpan tak tersentuh-daripada mubazir saya posting aja sekarang-. Nggak papalah, semoga tetap bermanfaat, syukur-syukur bisa jadi bahan pertimbangan teman-teman seandainya nemu buku ini di toko buku atau perpustakaan. Selamat menikmati 3 cangkir teh…]

Judul buku : Three Cups of Tea
Penulis : Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Penerjemah : Dian Guci
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Cetakan : September 2008 (cet.1)
Tebal : 630 hlm.

“Di Pakistan dan Afganistan, kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis;pada cangkir pertama engkau masih orang asing, cangkir kedua engkau teman;dan cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap berbuat apapun-bahkan untuk mati-“ ungkap Haji Ali, kepala desa Korphe, pegunungan Karakoram, Pakistan.

Greg Mortenson meskipun seorang angrezi, orang kulit putih asing, namun ia sudah termasuk yang terakhir di mata keluarga Haji Ali, bahkan di lingkungan warga desa. Pendaki gunung asal Amerika itu pada mulanya gagal ketika menaklukan puncak gunung tertinggi ke-2 sedunia di Himalaya. Setelah tersesat, mengalami keletiahan luar biasa, dan berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama 7 hari, ia sampai di desa Korphe. Di rumah Haji Ali, Mortenson dirawat dengan penuh perhatian dan diperlakukan teramat istimewa.
Selama tinggal di Korphe, ia mendapati bagaimana anak-anak bersekolah. Begitu memprihatinkan. Karenanya, timbul niat di hatinya untuk mendirikan sekolah. Janjinya ia ungkapkan kepada Haji Ali. Bagaimana ‘petualangan’ Mortenson dalam memenuhi janji tersebut disajikan dengan gamblang dalam buku ini. Tak hanya di Korphe, selama dekade berikutnya Mortenson membangun puluhan sekolah, terutama untuk anak-anak perempuan di Pakistan dan Afganistan. Usahanya mengharuskan ia bolak-balik Amerika—Pakistan&Afganistan dan rela meninggalkan keluarganya.

Dalam perjalanannya, Mortenson punya alasan lebih untuk mendirikan sekolah di daerah lahirnya Taliban tersebut, terlebih setelah peristiwa 11/9: tidak saja memerangi kebodahan tapi juga terorisme. Menurutnya, terorisme tidak terjadi lantaran segelintir orang di suatu tempat seperti Pakistan dan Afganistan tahu-tahu memutuskan membenci Amerika. Hal ini terjadi karena anak-anak tidak ditawari masa depan yang cukup baik agar mereka memilki alasan untuk hidup daripada mati.
Selain alasan tersebut, Greg Mortenson merasa sangat gelisah dengan pembangunan masdrasah-madrasah Wahabi. Dalam buku berjudul Taliban yang ditulis Ahmed Rashid,wartawan yang berbasis di Lahore, dipaparkan bahwa murid-murid dari madrasah ini adalah mereka yang tidak memiliki akar dan gelisah, pengangguran, serta secara ekonomi kekurangan, dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki pengetahuan umum. Mereka menyukai perang karena perang adalah satu-satunya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka. (hal 455—456)

Kerja keras selama satu dekade, membuat tercengang seorang mantan editor majalah Outside, Kevin Fedarko, suatu pagi. Fedarko datang bersama Mortenson ke Korphe untuk melaporkan sebuah cerita yang ingin diterbitkannya dalam Outside berjudul “The Coldest War”. Suatu yang jauh di luar kebiasaan terjadi di desa Korphe. Seorang gadis penuh rasa percaya diri menyeruak masuk ke arena rapat desa. Dia langung bergabung,melewati sekitar 30 pria yang tengah bersila di atas bantal seraya menyerutup the, menghadap Greg Moretenson. Jehan, gadis cantik itu menginterupsi rapat tetua desa dan langsung berbicara kepada Mortenson untuk menagih sebuah janji, janji untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Sangat beralasan bila jurnalis itu menganggap kejadian yang dilihatnya sangat luar biasa. Di sebuah kampong Islam konservatif, gadis itu telah mendobrak 16 lapis tradisi sekaligus. Dia telah lulus sekolah, merupakan wanita terdidik pertama di lembah Braldu berpenghuni tiga ribu jiwa. Ia tanpa takut-takut masuk di tengah-tengah lingkaran pria, duduk di hadapan Greg Mortenson dan memberikan hasil pelajarannya yang paling revolusioner: sebuah proposal yang ditulis dalam bahasa Inggris, untuk memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat desanya.

Greg Mortenson dan kisahnya memberikan inspirasi bagi misi kemanusiaan. Buku ini menjadi buku terlaris New York Times. Petualangan di pekarangan Taliban itu dipaparkan dengan detail sehingga pembaca bisa memperoleh wawasan mengenai kebudayaan dua negara tersebut. Gambaran mengenai tokoh-tokoh pendukung misi Mortenson semakin nyata dengan sisipan beberapa foto. Hanya satu hal yang kadang membuat saya terganggu ketika membaca yaitu perpindahan situasi dalam ruang dan waktu yang sangat tiba-tiba sehingga seperti dipaksa meloncat begitu jauh. Namun selebihnya, Three Cup of Tea is inspiring book.

Mgl, 23 Agustus 2009. 23:00.

Hadiah Mozaik Blog Competition Sekaligus Hadiah Milad

Ahad, 1 Juli paket itu tiba di rumah, tepat di hari milad saya. Sayangnya, saya tidak bisa menerima paket hadiah itu langsung. Kemarin, posisi saya berada di rumah suami di Sambung sedang hadiah tiba di rumah emak di Grabag. Waw, exited ketika kemarin siang saya mendapat sms dari pihak JNE menanyakan posisi rumah saya sebab ia membawa paket untuk saya. Pas banget dengan hari milad saya. Maka, sejak menerima sms itu, rasa penasaran akan hadiah mengganggu hingga tadi siang akhirnya saya bisa membuka buntelan coklat dari Malang.

Hadiah juara harapan 2 Mozaik Blog Competition: Arti Buku Buatku berupa 2 buah buku itu sekaligus menjadi hadiah milad saya tahun ini. Oia, tak hanya buku, paket itu dilampiri selembar ucapan selamat dan motivasi untuk terus berkarya.


Alhamdulillah. Terima kasih buat Mozaik Indie Publisher (buat mas Ihwan dan mbak Ivone), tim, serta juri yang terlibat dalam kompetisi ini.

Maaf, Uang Saja!

Menjumpai kembalian sejumlah seratus atau dua ratus rupiah yang diwujudkan dalam bentuk permen sudah sering saya jumpai di supermarket-supermarket, bahkan toko kecil. Beberapa kali saya mengalami. Dalihnya pasti tak ada receh. Ah, tahu kalau mengembalikan uang kecil itu hal yang biasa dalam transaksi kenapa mereka tidak mau menyediakan receh? Saya pernah bilang pada mas fotokopian yang menukar receh dengan permen,”mas, berarti besok saya boleh bayar dengan permen?”
Eh, dia begitu enteng menjawab, “boleh tapi permennya se-truk.”

Itu baru permen untuk sekeping 200 atau 100 rupiah. Siang ini, saya dibuat mengernyit ketika menjumpai kasir salah satu swalayan berjenis ‘mart’ di Jalan Pahlawan Magelang memberikan Fulo. Hah? Untuk lima ratus rupiah kasir itu pun tak mau mengembalikannya? Ibu di depan saya mau saja menerima wafer itu. Tiba giliran saya yang hanya membeli air mineral dan 2 snack ringan sejumlah Rp 8.400, kasir itu menawarkan hal yang sama. Dia hendak mengambil wafer sejenis Fulo dengan merk yang berbeda sembari berkata, “kembaliannya enam ratus rupiah ini saja Mbak?”
Dengan tegas saya tolak, “Emm. . .uang saja mbak!”
Dia pun memberikan enam ratus rupiah dan struk belanjanya. Enak saja memaksakan transaksi,pikir saya. Toh mereka juga menyediakan uang receh. Berapapun uang kembalian, itu hak konsumen dan mereka harus mengembalikannya. Tak perlu gengsi untuk memintanya. Kendati hanya receh kecil, toh ia juga menggenapi uang kita manakala kita membutuhkan sejumlah tertentu dan terjadi kekurangan.

Saya kemudian berpikir, kalau setiap konsumen seperti ibu di depan saya, berapa konsumen saja yang telah dipaksa membeli barang yang tidak mereka butuhkan? Pemborosan. Di mata kasir, itu cara mengambil keuntungan dengan pemaksaan yang halus.

Saya pernah membaca tulisan semacam ini di rumah mbak Nesia. Siang ini, saya begitu geram dan ingin menumpahkannya juga di sini.

[FF Ninelights] Cinta Satu Malam, Oh!

“Cinta satu malam oh …,” bapak sumingrah bersenandung meski dini hari ia baru pulang dan capek.
“Deu… dulu yang anti, sekarang…, dangdutan mlulu,” ibu menggoda. Minggu pagi seperti sekarang, kumpul keluarga menjadi saat langka.
” Ingat dulu Bapak alergi dangdut, rasanya pengen ngeledekin waktu kampanye. Pakai joget-joget segala, enjoy banget nyanyi bareng sama…, “ sambung Radit.
“Eh iya, sekarang sombong banget tuh biduan, udah nggak mau manggung lagi,” sela Rani.
“Ngapain lagi nyanyi kalo kebutuhan sekarang sudah terpenuhi,“ sambar bapak spontan, namun cepat –cepat ia menyibukkan diri dengan koran di depannya.
“Ada klien EO yang ngotot pengen ngundang biduan Mela buat kampanye. Tuh, kampanye bapak jadi inspirasi,” cerocos Rani.
“Bener kamu dulu, bagi duit nggak efektif, rakyat sekarang butuh hiburan.” Bapak mendongak. “Dangdut membawa berkah.”
“Dan bencana! “ seru Radit. Bapak terperangah.
“Pak Bupati makin sibuk, jarang pulang! Kapan dong waktu buat kita.“ Radit protes.
“Bapak sudah jadi milik rakyat, ibumu saja nggak protes, malah kamu yang protes. Ya kan Bu?” kilah Bapak
Ibu mengangguk penuh pengertian meski ia membenarkan perkataan Radit.

***
Calon walikota yang diceritakan Rani tempo hari begitu ngotot ingin menghadirkan Mela si ‘Cinta Satu Malam’ dalam kampanyenya. Ia tak mau tahu kalau Mela sudah berhenti manggung. Apa boleh buat, mereka mendatangi rumahnya, bahkan calon walikota itu diajaknya serta.

Mela terlihat kaget melihat kedatangan Rani c.s
“Silakan masuk,” katanya canggung.
Rani yang pertama kali masuk terlonjak tak kalah kaget, dari ruang tamu, ia melihat siluet yang begitu dikenalnya sedang duduk santai di depan TV.
“Bapak?!!!!!”

jumlah kata : 248
terinspirasi dari berita ini untuk diikutkan dalam Lomba FF Ninelights

[Love Journey] Home

Kadangkala, dalam sebuah perjalanan ada semacam perasaan sia-sia menyergap. Pertanyaan-pertanyaan berbalut penyesalan mengusik,
“Kenapa aku harus datang ke tempat ini, jauh-jauh,tapi gak dapat apa-apa?”
“Kenapa Allah membiarkan aku melakukan perjalanan ke sini?”

Begitupun dalam perjalanan pulang dari Solo ketika memenuhi undangan pengumuman lomba cerpen yang diadakan salah satu radio di Solo pertengahan 2010. Pikiran ini sungguh berkebalikan dengan ketika berangkat pagi harinya, begitu bersemangat keluar rumah dalam udara segar pukul 05.00,” Traveling. inilah yang aku inginkan. Traveling dan bepergian karena menulis. Yah… meski aku datang belum tentu menyambut kemenangan.”

Semangat pagi itu luntur karena berbagai hal diantaranya ketidaklancaran transportasi ketika berangkat, serta perasaan asing yang tak nyaman—di lain pengalaman saya begitu menikmati keterasingan–. Kalau sudah begini, saya akan mengais-ais hikmah dari apa yang sedang saya jalani (jeleknya saya!). Saya akan mencari-cari, bukankah tak ada yang sia-sia dan Allah selalu memberikan hikmah? Apa yang Allah berikan kali ini? (jeleknya, selalu minta imbalan!)

Namun, bagaimanapun juga, sebuah perjalanan selalu menjadi ruang kontemplasi bagi saya. Ketika saya berjarak dengan rumah, dengan segala rutinitas di rumah dan pekerjaan sehari-hari, saya bisa memikirkan dan menguraikan banyak hal, termasuk kepenatan. Barangkali itu yang saya sukai dari sebuah perjalanan. Di bus dalam perjalanan berangkat atau pulang bepergian, ketika bertemu dengan banyak orang dengan ragamnya, ketika melewati berbagai tempat dengan segala keunikannya, banyak hal baru masuk di kepala dan hati, mengusik untuk di renungkan saat itu juga.

Merasa tak dapat apa-apa, nyatanya sejumput kecewa itu singgah, bukan hanya karena saya pulang tanpa hadiah di tangan, tapi lebih karena saya tak bisa kemana-mana, masih bingung dengan rute Solo sebab itu pertama kalinya saya ke Solo sendirian, sementara hari semakin beranjak sore. Rencana dari rumah, selesai acara saya ingin jalan-jalan dan pulang dengan ‘oleh-oleh’ sekalipun hanya buku. Di bus dalam perjalanan pulang saya melamun sementara percakapan di sekitar diam-diam masuk di telinga. Penumpang di sebelah tempat duduk asyik mengobrol tentang berbagai bencana di Indonesia. Mereka membahas keprihatinan terhadap para korban Merapi yang entah bagaimana nasibnya pascabencana. Penjaja makanan wira-wiri menawarkan makanan. Seorang anak seusia siswa SD menjajakan koran. Ah, tidak asing, anak sekecil itu sudah berjuang mencari uang?

Potret di perjalanan itu menghadirkan rasa syukur. Betapa beruntungnya saya masih punya orang tua yang memiliki rumah tempat saya pulang. Betapa bersyukur saya mempunyai orang tua yang menanti kedatangan saya di rumah. Betapa beruntung saya bisa beristirahat malam dengan nikmat, di atas kasur kapuk yang memberikan kehangatan, ‘bersembunyi’ di bawah selimut lawas dengan bau khasnya, berbantal beruang biru yang sedang hibernasi, lembut. Kangen rumah, rasa itu yang kemudian menyergap. Rasa kangen semacam itu selalu saya sukai. Pulang, menjadi hal yang selalu saya rindukan ketika jauh dari rumah (untuk perjalanan kali ini, padahal cuma di bus dari kota yang tak begitu jauh dari rumah). Yah, senikmat apapun perjalanan, seindah apapun pemandangan di depan mata, seenjoy apapun jalan-jalan itu, pulang pasti menjadi hal yang dirindukan. Saya semakin mencintai rumah dengan segala isinya.

Malam harinya, ketika sudah berbaring mengendapkan penat, betapa rasa syukur itu berlipat adanya, dengan kilasan-kilasan perjalanan di luar rumah yang berkelebatan. Ah, inilah saya, sudah berada di tempat aman itu. Sudah pulang! Berada di rumah, hangat!

#tulisan hasil daur ulang dari sini untuk meramaikan Lomba Love Journey yang diselenggarakan mas Fatah dan mbak Dee An

[Mozaik Blog Competition] Sebermula Membaca, Kemudian Karya

April , 2006

Di UPT Perpustakaan Pusat siang itu, setelah mencatat beberapa kalimat dari buku Pak Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern (2002), saya membaca buku kumpulan cerpen Radhar Panca Dahana berjudul Masa Depan Kesunyian. Hanya satu cerpen yang sempat saya baca. Sebelum membaca cerpen yang berjudul “Menjadi Djaka”, saya membaca pengantar buku yang ditulis oleh pengarangnya sendiri. Baru membaca kalimat pertama, tiba-tiba melesat sebuah ide. Ide itu juga datang karena kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah puisi Faiz–penyair cilik favorit saya, putra dari Helvy Tiana Rosa– yang pernah saya baca di blognya. Sudah lama saya tidak menulis puisi. Alhamdullilah, melesat sebuah ide untuk dijadikan puisi. Nggak puitis sih, tapi saya besyukur bisa menulisnya:

aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari kata-kata yang berlari
dari angan dan mimpi
semesta kujaring lewat pendengaran, penglihatan, dan hati
aku ingin mencipta sebuah dunia
dengan kertas dan pena
dari limpahan rasa
sebutir keyakinan
yang Ia tiup dan berdenyut
dalam qalbu

Puisi itu tidak selesai dalam sekali buat. Saya menambah di sana-sini disela-sela membaca buku Sastra Baru Sastra Indonesia I oleh Teeuw. Asyik juga membaca kritik sastra atas karya-karya Pramoedya( bab ini yang sempat saya baca). Buku lain yang saya baca adalah buku Taufik Ismail Dalam Konstelasi Pendidikan Sastra karya Suminto A Sayuti ( buku ini juga saya baca selektif). Puisi-puisi Taufik yang dikutip dalam buku itu, subhanallah, bagus-bagus dan menambah inspirasi.

***
Saya tidak mahir dan jarang menulis puisi. Beruntung sekali kalau saya bisa membuat puisi yang benar-benar jadi. Bahkan setelah puisi itu jadi, saya malah merasa heran, kok bisa membuat puisi seperti itu? Seperti juga puisi di atas, ada peran buku yang membangkitkan inspirasi dan memberi masukan bagi saya ketika menulis. Saya ingat, ada bebarapa puisi yang saya buat karena pada waktu itu saya sedang membaca sebuah buku. Pertama, puisi yang saya buat tatkala membaca buku Aku karya Sumandjaya (bukan karena ikut-ikutkan Rangga dan Cinta lho, yang karena membaca buku itu trus bikin puisi). Saya suka pada puisi-puisi Chairil Anwar dalam buku itu. Asyik: kata-katanya singkat, padat jelas, terkesan bahasa percakapan, dan jauh dari kiasan yang kadang susah dimengerti.

“Coba aku bisa bikin puisi seperti Chairil,” pikir saya waktu itu. Lalu saya mencari-cari, pengalaman apa yang bisa saya tulis dalam bentuk puisi? Saya terus berpikir dan mengingat-ingat. Entah kenapa, saya lupa, tba-tiba saya menghadirkan kembali pengalaman jatuh cinta ketika duduk di bangku sekolah menengah. Yang saya ingat dari pengalaman itu, saya tidak punya keberanian untuk menatap mata teman yang saya suka. Bahkan saya takut menatap guru yang memberikan pelajaran di depan kelas. Saya takut guru favorit saya yang memang terkenal care itu mengetahui ada yang bergejolak dalam hati saya lewat mata. Pengalaman jatuh cinta itu seperti benar-benar hadir di depan saya. Maka setelah coret sana coret sini, edit sana edit sini, sambil terus membaca puisi-puisi Chairil, jadilah puisi itu:

jatuh cinta I

takut rahasia batinku tercuri
menatap maanya kutak berani
sebab ia pun akan terlonjak sendiri
menyaksikan dirinya telah menjadi ombak dalam bahtera jiwa ini
deburannya sungguh kunikmati
meriakkan airnya menjadi:
buih-buih kangen
buih-buih angan

Beberapa bulan kemudian, saat saya membaca buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono, timbul rasa iri dan keinginan untuk membuat puisi. Saya kembali berpikir dan mencari. Yang hadir kemudian lagi-lagi pengalaman jatuh cinta. Puisi yang saya tulis hampir sama dengan puisi jatuh cinta pertama, bedanya saya tidak menulis/berbicara sebagai orang pertama.

jatuh cinta II

telah terbit bintang di sepasang telaga beningnya
yang padanya kejujuran bisa berkaca
adanya ia di tepi telaga
adalah energi yang membuatnya berpijar senantiasa

Dari buku yang sama, buku Sapardi, saya mendapatkan ide untuk membuat satu lagi puisi. Hari itu teman duduk SMU saya berulang tahun. Saya ingin memberinya kado sebuah puisi (sayangnya, saat itu puisi tersebut belum saya kirimkan karena subuah alasan, puisi itu kemudian saya hadiahkan pada teman saya yang lain.) Saat keinginan itu muncul, segera saya ambil buku Perahu Kertas dan saya baca beberapa puisinya sambil terus berpikir. Kata-kata apa yang akan saya pilih ? Alhamdulillah, setelah corat-coret, jadilah puisi itu

sajak hari lahir

waktu kembali memetik satu daun
dari pohon kehidupanmu
akankah ke bumi ia kembali?
menjadi pupuk bagi hidup
mendewasakan diri
ataukah hanya melayang sebagai daun kering?
terbang bersama angin
hilang bersama debu

***
Di sela-sela meng-entry buku di perpustakaan fakultas sebagai tenaga freelance, seringkali saya membuka-buka buku dan membaca sekilas buku yang menarik perhatian. Suatu waktu, ada buku yang membuat keingintahuan saya bangkit. Buku itu berjudul Sastra Melawan Slogan karya Abdul Wahid BS. Saya buka-buka secara acak untuk mengetahui isi buku itu. Tiba pada suatu dengan sub judul “Ritus Bahasa”, saya tersenyum membaca dua paragraf dari sub judul itu. Baiklah, saya salin dua paragraf itu:

Syahdan, Dylon Thomas, tatkala akan menulis sajak, dijajarkannya sajak karya Charles Boudelaire, Arthur Rimboud, Paul Verlaine, John Done dan sajak lain yang ia gandrungi. Dia melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap sajak dihadapannya itu, seakan ia seorang ahli kimia kata-kata, campur ini campur itu. Begitulah upacara penemuan bahasa atau ritus bahasa ia jalani, sampai sajak ia hasilkan.

Apakah ia melakukan penyontekan? Mulanya iya, tapi ritus itu menadi proses, dalam menjalani ritus bahasa ia leka (hanyut) kediriannya, tatkala sajak jadi, ia tersentak, “dalam sajak, aku ada.” Sejarah mencatat, ia salah seorang sastrawan penting Inggris dengan hasil sastra yang diperhitungkan dunia, tanpa kritikus harus menilainya sebagai plagiat Boudelaire.

Ah, ternyata bukan hanya saya yang ketika belajar bagaimana menulis puisi harus membuka-buka dan membaca buku-buku puisi karya sastrawan favorit. Bahkan sastrawan sekaliber Dylon Thomas melakukan apa yang disebut ritus bahasa. Saya memang belum kenal siapa Dylon Thomas, tapi paling tidak saya belajar darinya dari dua paragraf yang saya kutip tadi.

***

Agustus 2010

Multiply heboh! Lomba flash fiction yang diadakan mbak Intan berhasil menyedot perhatian ratusan MPers, saya salah satunya! Penasaran sekali dengan lomba dengan 3 tema itu: ayah dan anak, Ramadhan, dan 17 Agustus. Rasanya tertantang ingin menaklukan lomba itu: bukan kemenangan akan juara, tapi kemenangan berhasil eksis! Ikut saja.

Setelah melewati fase cenat-cenut dan perjuangan rasa malas serta ketidaksabaran dalam proses menulis, Alhamdulillah 3 FF berhasil saya ikutkan,meski ketiganya tidak masuk nominasi,. Buku dan kegiatan membaca tak bisa saya lepaskan dari proses itu. Saya bisa menulis ketiganya dengan sebelumnya menemukan ide dari membaca. Ketiga FF yang saya tulis punya sumber rujukan sendiri-sendiri:

FF #1 : “Andaikan Aku di Palestina”

Judul itu saya tulis dengan ingatan akan sajak Goenawan Mohamad yang populer: “Andaikan Aku di Sarajevo”. Sajak itu bertahun-tahun lalu pernah saya baca, isinya lupa tapi judulnya teramat lekat dalam ingatan. FF yang bercerita tentang maraknya petasan di bulan Ramadhan dikontraskan dengan bom jihad di Palestina itu saya lengkapi dengan cuplikan puisi dari note di Facebook Abdul Hadi WM.

FF #2: “Kukirimkan Padamu”

Lagi-lagi puisi, kali ini puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kukirimkan Padamu” dari buku Perahu Kertas—lagi!–. Puisi tersebut bercerita tentang kartu pos yang dikirim seseorang kepada istrinya. Di FF saya, puisi yang ditulis dalam kartu pos itu dikirim ayah kepada anaknya. Sang ayah adalah wartawan yang kerap bertugas ke luar (negeri). Si anak selalu meminta cerita dari ayahnya. Sang ayah yang tidak punya waktu banyak memakai cara jitu: kartu pos.
Di bagian ending–maksa sih– si anak menunggu kartu pos dari ayahnya. Ayahnya berada di Kabul, Afganistan yang rawan. Tak mendapatkan kabar dari ayahnya, dia search berita dari internet dan mengklik sebuah video peledakan bom. Ada sepotong tangan dengan arloji dan tanda lahir yang dikenalnya, menggenggam selembar kartu pos. Bagaimana gambaran peledakan dan situasi Kabul saya dapatkan dari buku Selimut Debu tulisan Agustinus Wibowo.

FF #3: “Di Balik Kaca Merdeka”

Ini FF terakhir yang saya buat. Saya tidak bisa tenang sebelum menulis tema 17 Agustus. Saya ingin menyampaikan makna merdeka. Berkali-kali coret-coret namun tidak selesai, pusing. Tapi saya ingin sekali menaklukan tantangan itu. Maka saya ambil Catatan Pinggir 2 punya Goenawan Mohamad untuk mendapatkan referensi mengenai makna merdeka atau percikan-percikan cerita Proklamasi. Barangkali ada.

Saya mulai membaca dengan menelusuri dari indeks Soekarno. Tak mendapatkan apa yang saya harapkan, saya kemudian membuka-buka buku itu acak. Ada bab Kemerdekaan. Mantabs! Saya mendapatkannya! Di banyak negara, termasuk Indonesia tentu, pelarangan maupun sensor itu selalu ada. Lalu ingatan saya melayang pada Gurita Cikeas, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan majalah Tempo yang pernah dibredel. Dari situ kemudian saya mulai menulis. Ada buku yang terbit di hari 17 Agustus sebagai bentuk perayaan-bagi penulis buku itu-, namun di hari itu juga bukunya ditarik. Ketika selesai menuliskan cerita itu, saya belum memiliki judul. Judul buku rekaan dalam cerita itu pun belum- sekaligus akan menjadi judul FF-. Judul itu harus mewakili fatamorgana sebuah kemerdekaan. Pikiran seketika melesat pada buku karya Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Akhirnya jadilah judul FF di atas. Merdeka hanya di balik kaca, benarkah kita sudah merdeka?

Tak bisa dielakkan, buku menjadi inspirasi besar untuk karya-karya kecil saya, karya pribadi yang belum dikenal pembaca di luar. Sebab begitu besarnya insiprasi dari buku-buku yang berjejer di rak, akan saya tambah seiring dengan harapan akan karya-karya kecil lain yang terus tumbuh. Tak peduli dengan karya-karya kecil belum ada yang go public, saya akan terus menulis beriringan dengan menyapa aksara dalam buku-buku.

#Ikut serta meramaikan Mozaik Blog Competition: Arti Buku Buatku

Catatan:
Tulisan di bagian April 2006 hasil daur ulang dari tulisan di blog lama: http://boemisayekti.blog.friendster.com/2006/04/buku-dan-inspirasi/

[Diari Bumil] Berganti Nama

Bangun tidur pagi tadi, suami komentar kalau saya nampak lebih ceria, aura ceria begitu terlihat. Kenapa? Ehm… keceriaan itu awalnya saya rasakan sejak semalam. Rasanya ingin tersenyum terus begitu keluar dari ruang periksa. Perasaan lega,bahagia, dan berjuta syukur menjadi senandung hati mengetahui hasil USG. Bukan untuk mengetahui apa jenis kelamin si kecil, hanya ingin memastikan kalau dia baik-baik saja di dalam perut ini.

Selesai di-USG begitu saya duduk, Dr. Adi langsung membaca hasil USG. Saya maupun suami belum sempat bilang apa-apa, bahkan kalau kami tidak ingin mengetahui jenis kelamin si kecil. Beliau mengatakan, bagus, sehat, posis normal, organ lengkap, plasenta bagus, ketuban bagus, dan jenis kelamin…. Degh, seketika hati ini mencelos mendengar jenis kelamin yang berkebalikan dengan harapan. Yah… sebenarnya saya memang menduga kalau si kecil berjenis kelamin seperti yang dokter katakan kalau menilik dari pola makan saya sebelum menikah—sebelum hamil—, tapi namanya punya harapan boleh kan?

Apapun itu, yang pasti kami tetap bersyukur… berjuta syukur untuk kesehatan anak kami, kebahagiaan yang tak ternilai bagi saya mengingat saya selama ini begitu khawatir dan deg-degan mengalami beberapa keluhan-keluhan kecil yang sebenarnya wajar dan normal dialami bumil. Kalau bercakap-cakap dengan para ibu yang sehat dan mudah menjalani kehamilan saya sangat termotivasi. Sebaliknya, ketika ingat dua sahabat saya yang mengalami masalah kehamilan, satunya menderita kista di rahim dan satu lagi plasenta bermasalah, saya jadi takut.
Alhamdulillah keluhan-keluhan kecil itu tidak berefek pada si kecil.

Selanjutnya, setelah tahu–prediksi saja sih, Allah Maha Berkehendak dan USG belum tentu benar—jenis kelamin si kecil, sejak semalam kami mengganti nama panggilan si kecil. Kami sudah siapkan dua nama, namun nama yang selama ini kami panggil adalah nama dengan jenis kelamin yang [sedikit] kami harapkan. Dalam doa sih laki perempuan sama saja yang penting sehat, sempurna, sholih/shalihah, amin…

Ia yang Enggan Menyandang Gelar

Meskipun peringatan maupun perayaan hari Kartini sudah lewat, dalam upacara tadi pagi pembina upacara merefleksi peringatan hari Kartini. Refleksi peran Kartini dalam ‘amanat pembina upacara’ tersebut baru tadi pagi dilaksanakan sebab Sabtu lalu sekolah kami tidak mengadakan acara peringatan. Dalam menyebut nama Kartini, pembina upacara menyebutnya lengkap beserta gelar kebangsawanannya, Raden Ajeng. Berkali-kali mendengar nama beserta gelar itu, telinga saya kok rasanya ‘keri’. (Padanan kata keri untuk Bahasa Indonesia apa ya yang paling tepat? Geli buat saya belum mewakili :D).

Saya teringat buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, juga cuplikan surat Kartini yang pernah saya baca. Dalam surat kepada Stella, tertanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis:
“Aku seorang pekerja biasa, Stella. Pekerja biasa. Ya, namaku hanya Kartini. Sebab itu, panggilah aku Kartini saja, tanpa gelar, tanpa jabatan.”
Kartini menentang segala bentuk feodalisme, itu sebabnya ia hanya mau dipanggil Kartini saja. Panggil Aku Kartini Saja, dari ucapan Kartini sendiri kemudian dipilih Pram untuk judul buku biografi Kartini sebab penulis itu sama-sama menentang feodalisme.

Siulannya Ingatkan pada Masa Kecil

“Ngiiiingggg… ” siulan panjang dibarengi aroma yang meruap itu begitu khas. Aroma dan suara itu membawa saya ke masa kecil, pada masa ketika pikulan yang membawanya begitu sering wira-wiri. Sekarang, saya jarang menemuinya, entah karena sayanya yang nggak tahu kalau putu –begitu sebutan untuk makanan kecil terbuat dari tepung beras ketan, kelapa dan gula Jawa— masih eksis atau memang sudah jarang beredar. Itu sebabnya ketika di suatu sore saya mendengar suaranya lewat depan rumah, saya tertarik membelinya.Aromanya memang masih sama, tapi bentuknya, beda! Putu jaman saya masih kecil lebih besar dari yang sekarang. Meski begitu, cukuplah mengobati rasa kangen pada jajanan murah meriah berasa manis gurih itu. Dulu ketika kecil, siulan yang keluar dari bilah bambu itu teramat menarik. Kalau sekarang, saya tertarik dengan proses pembuatannya yang alamiah sehingga aroma dan rasanya khas: semua bahan dimasukkan ke dalam bilah bambu.

Saya kembali menjumpainya kemarin sore, sepulang dari acara selapanan di jemput suami. Sepanjang jalan berangan-angan pengen beli yang anget-anget, pada mulanya pilihan jatuh pada gorengan. Ketika melihat pikulan itu mangkal di pinggir jalan, saya tawarkan pada suami, “pengen?”
Akhirnya kami berhenti. Hemmm… membaui aromnya saja terasa nikmat.




Sembari menunggu putu selesai diracik, saya sempatkan ngobrol. Saya terkejut ketika bapak yang asli dari Wonogiri itu menyebut dusun Mantenan sebagai tempat kostnya. Waw… dunia begitu sempit. Bapak itu masih satu dusun dengan tempat tinggal emak, bahkan tempat kostnya masih terbilang famili dengan saya. Katanya, ia telah bertahun-tahun kost di sana. Saya yang kuper atau…? Ah, sedikit malu juga, ternyata si bapak malah tahu kalau saya baru saja menikah dan bertanya sekarang saya tinggal di mana? kakak saya tinggal di mana?
Rasa heran saya ungkapkan, “Kok saya nggak tahu ya bapak kost di kediaman mbak Tari? Saya memang pernah tahu kalau ada penjual putu kost di tempat mbak Tari, namun tidak tahu kalau sekarang masih di sana. Jarang saya temui putu beredar.”
“Sekarang saya memang sering pulang kok mbak, satu bulanan saya di rumah lalu ke sini lagi, trus pulang lagi.”
Jadi, bukan karena saya yang kuper kan?

Jajanan tradisonal itu sekarang memang semakin sulit ditemui, barangkali di Grabag hanya satu bapak itu yang masih berkeliling. Terlebih, daerah yang dijelajahnyanya pun tidak begitu jauh. Dusun-dusun yang disebutnya masih terbilang satu kelurahan dengan dusun tempat tinggal kami, bisa dikatakan masih dekat. Hasinya …? Lumayan, menurut pengakuannya, dagangannya sering habis.

Begitu sampai rumah dan dicicipi, lontaran-lontaran komentar keluar,
“Rasanya kaya pethosan ya..,” ujar suami setelah satu gigitan.
“Kalau ini sudah dicampuri, bukan lagi asli beras ketan, tapi dicampur beras cempo,” emak urun komentar.
Tak urun suara, saya ikut menghabiskan saja deh….
Apapun komentarnya, yang penting bisa mengisi kehangatan di sore hari dan ludes!

*sekedar mengobati kangen ngempi :))