Kelas Matahari

Kalau semasa kuliah, Soe Hok Gie punya tiga dunia yaitu buku, cinta, dan pesta, saya punya dua dunia dari tiga yang disebut Soe Hok Gie dalam Catatan Demonstrannya. Buku dan cinta.  Tapi bukan di bangku kuliah seperti Gie. Ini cerita di bangku SMU.

Cinta pertama saya pada sastra Indonesia bermula dari bangku abu-abu putih. Pak Widi, guru Bahasa Indonesia saya yang membuat saya jatuh cinta pada sastra Indonesia lewat karya-karya besar sastrawan Indonesia yang sering disebut-sebut pada jam pelajaran Bahasa Indonesia. Ada Belenggu karya Arjmin Pane, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Kemarau dan Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka, Atheis karya  Achdiat Kartamihardja, karya-karya Balai Pustaka yang lain, juga majalah sastra Horison. Majalah Horison  pula yang membuat saya selalu tergesa ke perpustakaan ketika bel istirahat berbunyi karena mengejar serial Area-X karya siswi Taruna Nusantara. Perpustakaan yang kecil di sudut sekolah itu akan selalu saya kenang, bersama ‘cinta’ di kelas yang saya punya. Cinta pertama itu seperti titik pertama. Titik yang memulai sebuah garis sehingga saya menjadi seperti sekarang. Kalau tidak karena cinta itu, mungkin saya tidak akan pernah belajar menulis, sekedar menuliskan uneg-uneg di blog ini, bahkan mengisi beberapa antologi buku yang terbit secara indie.

Cinta dan persahabatan di kelas 3 IPS 1 pernah mewarnai saya. Selepas SMU,di buku harian  saya menuliskan kenangan tentang kelas itu dengan sebutan kelas matahari. Kelas matahari pernah membiaskan warna-warni pelangi di hati saya. Sinar-sinar dari wajah teman-teman saya lewat senyum, canda, dan tawa pernah membuat hari-hari saya terasa hangat.

Pacaran, tidak ada dalam kamus hidup saya. Namun di kelas itu saya merasakan banyak cinta dari teman-teman saya, dari teman-teman terdekat yang selalu membuat dunia abu-abu putih itu tak pernah kelabu. Membahas lagu yang diputar di stasiun radio favorit, bercanda di sela-sela jam kosong, atau sekedar membahas adik kelas yang jadi gebetan teman-teman dekat adalah hal yang membuat waktu tak pernah jemu.

Salah satu warna pelangi itu lagi-lagi juga bertautan dengan buku. Selain memiliki sahabat, teman sebangku,  yang hingga kini masih tetap terjalin silaturahminya, saya juga menemukan teman yang seru ketika mengobrol soal buku. D, sebut saja begitu, ia yang memperkenalkan saya pada sastrawan yang saya kagumi larik-lariknya: Sapardi Djoko Damono.  Perkenalan saya dengan Dewi Lestari lewat Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh pun bermula  oleh sebab D yang membawa buku bersampul biru itu di kelas. Menerbitkan rasa iri terhadap sohib sebangku adalah perasaan bangga tersendiri ketika D meminjamkan buku itu kepada saya. Merasa disepesialkan karena buku baru itu bisa jatuh ke tangan saya, ehm…ehmmm…Saya bisa terbahak-bahak di depan sohib saya sebab buku incaran itu jatuh ke tangan saya :D. “Aku yang dipinjami, bukan kamu!” Perasaan bangga yang remeh temeh dan norak itu nyatanya memberi warna tersendiri bagi kami.

Juga ketika remaja dihebohkan film Ada Apa dengan Cinta. Sekedar membahas gantengnya Nicolas Saputra atau cakepnya Dian Sastro yang diidolakan D adalah kelaziman masa remaja yang saya alami. Kelas saya turut heboh. Lagi-lagi, membuat iri sohib itu begitu menyenangkan ketika kaset soundtrack itu jatuh ke tangan saya untuk dipinjamkan. Hehehehe. Ya, perasaan iri namun tetap berbagi itu yang membuat perasaan kami justru dinamis. Perasaan itu pula yang membuat hubungan kami selalu awet. Nyatanya, dari remeh-temeh seperti itu persahabatan saya dengan teman sebangku tak lekang oleh waktu. Kami disatukan oleh ketertarikan yang sama. Hingga kini kami menjadi sama-sama berstatus sebagai emak, persahabatan itu tetap terawat di hati. Cinta yang tumbuh dari bangku abu-abu putih bersama buku itu selalu terjaga.

*sekedar catatan kilat yang ditulis untuk mengikuti Giveaway Nostalgia Putih-Abu

a ga smu

8 pemikiran pada “Kelas Matahari

Tinggalkan komentar